tirto.id - Seren Taun merupakan upacara adat pasca panen yang dilakukan oleh masyarakat suku Sunda.
Kata “Seren” dalam bahasa Sunda artinya adalah serah atau menyerahkan, sementara “taun” artinya adalah tahun. Jika disimpulkan arti kedua kata tersebut adalah serah terima tahun lalu ke tahun berikutnya.
Upacara adat ini digelar sebagai rasa syukur masyarakat Sunda khususnya para petani kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala hasil pertanian yang didapat, sembari berdoa dan berharap hasil panen di tahun yang akan datang dapat meningkat, demikian disarikan dari laman Warisan Budaya Tak Benda Indonesia Kemendikbud.
Sebelum melaksanakan upacara Seren Taun, terlebih dahulu akan digelar penetapan hari untuk prosesi upacara Seren Taun. Penetapan tanggal ini dinamakan dengan prosesi ritual Neteupken.
Ritual Neteupken dihadiri oleh pemuka adat dan tetua kampung serta masyarakat setempat. Neteupkeun biasanya dilakukan pada malam hari dengan cara berdoa dan bermusyawarah.
Setelah didapati mufakat penetapan hari untuk melakukan Seren Taun, keesokan harinya pemuka adat dan tetua kampung akan melakukan Ngembang atau ziarah ke makam para leluhur.
Ziarah ini dilakukan untuk menyampaikan kepada leluhur bahwa dalam waktu yang telah disepakati akan diadakan upacara Seren Taun.
Prosesi Upacara Seren Taun
Subiantoro dalam studinya berjudul Pergelaran Ritual Seren Taun di Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat menjelaskan bahwa perayaan syukur Seren Taun dilaksanakan dalam empat ritual selama tujuh hari.
- Penanggalan pelaksanaan riual mulai dari tanggal 18 Rayagung, yaitu ritual pembuka disebut dengan damar sewn yang memiliki arti seribu lentera, sebagai penerang jiwa;
- Ritual kedua tanggal 19 Rayagung yaitu pesta dadung, adalah ungkapan aktivitas kecintaan petani dalam bekerja dan berdoa, dalam mengelola sawah dan temak dari segala macam gangguan (hama);
- Ritual ketiga tanggal 21 Rayagung yaitu malam kidung spiritual sebagai aktivitas spiritual berbagai agama, adat, dan kepercayaan.
- Ritual keempat, atau prosesi puncak Seren Taun dilaksanakan pada tanggal 22 Rayagung, terdiri atas persembahan kesenian, ngajayak sebagai persembahan hasil bumi (berbagai buah-buahan dan biji-bijian), babarit sebagai sebuah rangkaian tembang rohani dan doa atau mantra yang disebut dengan rajah pwahaci.
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Yulaika Ramadhani