Menuju konten utama

Mengapa Waktu Perjalanan Pulang Terasa Lebih Cepat?

Anda barangkali termasuk yang merasakan melakukan perjalanan dengan sensasi waktu pulang yang lebih singkat dari saat berangkat. Para ilmuwan mencoba memberikan jawabannya.

Mengapa Waktu Perjalanan Pulang Terasa Lebih Cepat?
Ilustrasi return trip effect. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pada 1969 Alan Bean didaulat menjadi pilot modul lunar di Apollo 12 untuk melakukan perjalanan ke luar angkasa. Ia sebagai astronot keempat yang mampu menginjakkan kaki di Bulan dan pulang dengan selamat ke Bumi. Uniknya, meski menempuh jarak yang sama, komentarnya kepada awak media ialah “perjalanan pulang dari bulan tampaknya berlangsung lebih cepat.”

Waktu sesungguhnya terasa relatif dalam kehidupan sehari-hari manusia, meski bisa diukur secara matematis. Manusia kebanyakan tak mampu mengukur waktu-waktu singkat dan terperinci seperti detik, menit, atau jam dengan tepat walaupun punya otak yang kompleks. Sehingga penilaian setiap individu terhadap waktu selalu subjektif, mudah bias oleh hal lain yang terjadi di sekitar, tergantung suasana hati, dan terkait yang sedang dilakukan seseorang.

Dampak lain yang kemudian menjadi sebuah fenomena umum, termasuk yang menimpa Alan Bean dikenal dengan istilah “return trip effect” atau efek perjalanan pulang. Efek perjalanan pulang adalah sensasi di mana seseorang merasa waktu tempuh perjalanan pulang berlangsung lebih pendek ketimbang waktu tempuh saat berangkat.

Barangkali Anda pernah mengalaminya, misalkan dalam perjalanan mudik ke kampung halaman dan balik lagi ke rumah pada sesi Lebaran. Jalur yang belum pernah dilewati sebelumnya perjalanan berangkat terasa lebih lama tapi saat pulang justru sebaliknya.

Sejumlah peneliti telah mecoba untuk menjelaskan sensasi ini secara ilmiah. Pada 2011, misalnya, seorang psikolog Universitas Tilburg, Belanda, Niels van de Ven mengunggah hasil penelitian ihwal faktor-faktor yang menyebabkan efek perjalanan pulang bisa terjadi. Kepada NPRNiels mengatakan bahwa pada awalnya ia menyandarkan diri pada teori familiaritas dengan penjelasan bahwa perjalanan berangkat terasa lebih panjang karena seseorang masih asing dengan rute, termasuk ikon-ikon penanda selama perjalanan seperti pohon atau gedung, sehingga tak ada yang berkesan di ingatan.

Saat perjalanan pulang, kondisi telah berbeda, dalam arti titik-titik yang telah dilewati sebelumnya sudah bisa diprediksi dan perjalanan terasa lebih cepat. Familiaritas adalah penjelasan tertua atas fenomena efek perjalanan pulang dan sesungguhnya telah beredar di kalangan ilmuwan psikologi sejak era 1950-an. Niels segera meragukan teori ini karena merasakan efek perjalanan pulang saat menaiki pesawat tak berlaku bagi teori ini. “Tentu saja aku tak mengenali rute perjalanan. Saat aku melihat ke luar jendela, aku tak melihat apapun kecuali hamparan awan,” katanya.

Niels kemudian memutuskan bereksperimen atas sensasi tersebut dengan melibatkan sejumlah orang yang berencana akan berangkat ke sebuah pekan raya. Ia membagi menjadi dua grup, yang pertama diminta kembali ke rumah melalui rute yang sama, sementara yang kedua melalui rute yang berbeda tapi dengan jarak yang sama.

Bila penjelasan teori familiaritas benar adanya, maka grup yang melewati rute yang sama akan merasakan perjalanan pulang yang lebih singkat ketimbang yang melewati rute lain. Hasilnya Niels menemukan bahwa persoalan bukan pada rute. Kedua grup ternyata merasakan efek perjalanan pulang yang sama.

Infografik Return Trip Effect

Berujung Pada Ekspektasi

Setelah menganalisis ulang dan fokus pada wawancara para responden, Neils mengistilahkan faktor penyebab penemuannya dengan istilah A violation of expectation atau sebuah pelanggaran harapan. Seringkali orang-orang terlalu optimistis saat memulai perjalanan, sehingga saat menyelesaikannya, mereka merasa perjalanan itu memakan waktu yang lebih lama ketimbang perkiraan.

Rasa pesimistis kemudian hadir ketika yang bersangkutan akan memulai perjalanan pulang, dikiranya perjalanan yang berat saat berangkat akan mereka rasakan kembali sepanjang jalan pulang. Rasa pesimistis inilah yang kemudian membuat sensasi waktu perjalanan yang seharusnya sama dengan saat berangkat menjadi terlalu dilebih-lebihkan, dan saat dijalani ternyata tak seburuk yang dikira, alias justru terasa lebih pendek waktu yang ditempuh.

“Ini semua adalah soal ekspektasi, tentang apa yang kau pikir akan dilalui,” kata Michael Roy, psikolog asal Elizabethown College dan rekan penelitian Neils yang turut membantu menerbitkan penelitian asli mereka di Psychonomic Bulletin and Review.

Roy menyatakan bahwa tak semua psikolog akan setuju dengan hasil temuan ini, bahwa ekspektasi adalah faktor penyebab utama dari efek perjalanan pulang. “Kami tak mengklaim ini satu-satunya penyebab. Jelas ada faktor lainnya,” katanya.

Psikolog Dan Zakay pernah menulis di The Psychologist bahwa penyebab lain dari efek perjalanan pulang adalah persoalan tenggat waktu. Seseorang kerap melaksanakan perjalanan berangkat dengan disiplin atau bahkan terburu-buru agar tiba di tujuan sampai tepat waktu. Dalam kondisi yang demikian, otak dalam kondisi untuk fokus, dan hasilnya ada hambatan di jalan maupun tidak akan membuat perjalanan terasa panjang.

“Sementara kembali ke titik awal alias pulang, meski dalam jarak tempuh yang sama, akan terasa lebih pendek sebab waktu bukan lagi perkara yang penting untuk ditaati atau lebih fleksibel. Perhatian kita alihkan untuk hal-hal lain selama perjalanan baik aktivitas sendiri maupun memperhatikan hal-hal yang terlewati, sehingga tak sadar sudah kembali ke titik awal,” katanya.

Sebuah kondisi yang unik ada dalam penelitian Ryosuke Ozawa dan dua rekan peneliti lain asal Jepang yang diunggah pada Jurnal PLOS ONE pada dua tahun silam. Partisipan riset diminta melakukan perjalanan virtual dengan cara melihat tayangan langsung berdurasi selama 20 menit berasal dari hasil rekaman seseorang yang membawa kamera keliling kota melalui rute yang telah ditentukan.

Para partisipan dibagi menjadi dua grup. Grup satu melakukan perjalanan virtual bolak-balik. Grup kedua, mereka yang melakukan dua perjalanan satu arah dengan jarak yang sama. Keduanya sama-sama menempuh perjalanan selama tiga menit. Hasil akhir menunjukkan efek perjalanan pulang memang benar-benar ada dan dirasakan kuat oleh grup pertama selama perjalanan pulang.

Hal menarik diungkapkan partisipan grup pertama--yang mengalami efek perjalanan pulang, setelah mereka diminta untuk mengingat-ingat kembali dan dibantu dengan penjelasan dari Ryosuke, ternyata mereka kembali sadar bahwa waktu tempuh dari perjalanan bolak-balik itu sama saja yakni tiga menit.

Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam menyadarkan diri atas efek perjalanan pulang saat seseorang mengalaminya, otak memiliki dua cara kerja. Pertama, otak mencatat waktu secara matematis melalui kerja neuron. Kedua bermodalkan narasi bahasa yang diterima partisipan alias cerita-cerita yang kembali mengingatkan para partisipan tentang apa yang sebenarnya terjadi, tentang berapa lama sesungguhnya waktu yang mereka tempuh.

Baca juga artikel terkait PSIKOLOGI atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Akhmad Muawal Hasan
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Suhendra