Menuju konten utama

Mengapa RUU PKS Penting untuk Melindungi Korban?

Tahun lalu, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan mengungkap terjadi 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Mengapa RUU PKS Penting untuk Melindungi Korban?
Aktivis dari berbagai komunitas perempuan anti kekerasan seksual di aceh menggelar aksi solidaritas di bundaran simpang lima, Banda Aceh, Rabu (11/5). antara foto/ampelsa/foc/16.

tirto.id - Penyandang disabilitas fisik dan sensorik, ON, 19 tahun, diperkosa berulang kali hingga hamil oleh seorang pria dengan iming-iming mi instan. Keterangan korban yang diperiksa tanpa didampingi penerjemah maupun psikolog diragukan lantaran berubah-ubah. Pada 2016, proses hukum kasus warga Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, ini kemudian dihentikan karena alat bukti dinilai tak cukup.

CSW, 8 tahun, menjadi korban pelecehan seksual ayahnya. Ibu korban yang melihat sang suami menciumi telinga serta meraba payudara dan kelamin buah hatinya melaporkan kejadian tersebut ke Polrestabes Semarang. Namun kasus terbentur alat bukti—harus menghadirkan 2 saksi dan ahli penerjemah foto. Psikolog yang menangani kasus ini justru menganjurkan untuk berdamai.

Ada pula kasus yang selama 3 tahun ini masih dalam penyidikan, yaitu eksploitasi seksual terhadap peserta didik perempuan, 20 tahun, yang dilakukan oleh anak pimpinan lembaga pendidikan keagamaan di Jombang. Setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 12 November 2019, pelaku tak kunjung ditahan. Korban malah dikeluarkan dari institusi tersebut dengan tuduhan melakukan fitnah dan pencemaran nama baik.

Kisah-kisah pilu ini hanyalah serepih dari sekian banyak kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

Ikhtiar Melindungi Perempuan dari Kekerasan

Tahun lalu, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan mengungkap terjadi 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasus yang ditangani oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama sebanyak 291.677, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sebanyak 8.234, kemudian Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus (meningkat 60% dibandingkan tahun 2019).

Jumlah yang dirangkum ini hanya berasal dari 120 lembaga, menurun drastis bila dibandingkan dengan data tahun lalu sebanyak 239 lembaga. Namun 34 persen lembaga tersebut menyatakan adanya peningkatan pengaduan kasus sepanjang pandemi.

Dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, paling menonjol—79 persen—berasal dari ranah personal: kekerasan terhadap istri, dalam pacaran, terhadap anak perempuan, dan sisanya oleh mantan pacar, mantan suami, hingga terhadap pekerja rumah tangga. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kekerasan fisik menempati peringkat pertama, disusul oleh kekerasan seksual, psikis, dan ekonomi.

Kekerasan terhadap perempuan juga banyak terjadi di ranah publik atau komunitas, termasuk di tempat kerja. Kasusnya didominasi oleh kekerasan seksual yang tidak disebutkan secara spesifik, perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual, persetubuhan, dan percobaan perkosaan.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, “[…] kasus yang mencuat itu ada perkosaan, ada pencabulan, ada pelecehan seksual, ada penyiksaan seksual, macam-macam bentuknya. Tapi kok ternyata susah sekali diangkat ke dalam proses hukum? Ada apa ini sebetulnya? Jadi kami memeriksa ulang, ternyata tidak semua bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan itu dipahami atau dikenali di dalam pidana kita.”

Rupanya masih banyak bentuk kekerasan seksual yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

“Atau kita juga lihat nih, ternyata selama 10 tahun masalah yang berat itu juga soal pemulihan korban karena nggak ada aturan yang bilang bahwa korban wajib dipulihkan oleh negara. Yang ada dia harus berjuang sendiri.”

Karena itulah, Komnas Perempuan merasa perlu ada UU yang bisa mengidentifikasi secara detail berbagai jenis kekerasan seksual dan, tentunya, bisa memberikan perlindungan bagi para korban kekerasan seksual. Pada 2012, Komnas Perempuan resmi menggagas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yang dikenal sebagai RUU PKS, dan terus mengawal pengesahannya. RUU ini mencakup mulai dari pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga mengatur tentang penanganan selama proses hukum.

“Sebenarnya sangat mendasar sekali, kita ingin memastikan berbagai pengalaman kekerasan terhadap perempuan itu diakui, bisa diproses secara hukum, dan terutama upaya pemulihan korban menjadi lebih kuat. Tentunya kita tidak boleh melupakan aspek dari pencegahan serta juga untuk melakukan pemantauan, ya. Dari waktu ke waktu kita perlu melihat penanganannya jadi lebih baik atau tidak,” tambah Andy.

Kendala-kendala yang Dihadapi Korban Kekerasan Seksual

Sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tercantum dalam draf RUU PKS, antara lain, pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan perkawinan.

Veni Siregar, Koordinator Seknas Forum Pengada Layanan, mengungkapkan, “Keterbatasan unsur dalam kekerasan seksual masih sangat rendah, hanya dilihat penetrasi di pemerkosaan, tapi unsur tipu muslihat, bujuk rayu, relasi kuasa belum dikenali.”

Pendampingan korban dalam pemeriksaan perkara pun tak disyaratkan. Ini yang menyebabkan hasil penyidikan kasus kekerasan seksual menjadi bias seperti dalam kasus ON.

“Itulah kenapa kita dorong RUU PKS,” kata Veni. Ia kemudian mengungkap sejumlah kendala yang dihadapi korban kekerasan seksual.

Sampai hari ini, baru Undang-Undang PKDRT yang mensyaratkan korban-korban mendapatkan hak pemulihan, sebaliknya dengan kasus kekerasan seksual. Korban pun dibebankan sejumlah jasa berbayar: psikolog, psikiater, kesehatan reproduksi, hingga visum.

“Ditambah lagi sikap aparat penegak hukum, belum ada pelatihan khusus untuk para polisi yang mendampingi kasus kekerasan seksual. Korban diminta cerita, mengingat lagi kasusnya, walau pendamping sudah memberikan berkas lampiran kronologis. Alasan kurang alat bukti sudah sering kita dengar, seringkali menjadi alat agar kasus tidak berjalan.”

Korban kekerasan seksual juga kerap tidak didukung, tetapi justru dirundung, menjadi bahan gunjingan, mendapat stigma, persekusi di beberapa wilayah. Rape culture dalam masyarakat cenderung menyalahkan perempuan korban (reviktimisasi) sebagai penyebab kekerasan. Tak jarang pula kasus pemerkosaan berakhir dengan pernikahan, atau korban justru dikeluarkan dari sekolah atau kampus.

“RUU PKS sudah menjadi kebutuhan yang sangat, bukan lagi kita berdebat soal isinya, tapi sudah sesuatu yang harus disahkan. Kalau tidak, kasus-kasus seperti tadi disampaikan oleh mbak Veni pasti akan selalu terjadi, karena kita belum punya payung hukum yang tegas terkait dengan kekerasan seksual,” tutup Hindun Anisah, Staf Khusus Menaker bidang perlindungan Perempuan dan Anak.

Bincang-bincang dengan tema mengapa RUU PKS penting untuk melindungi korban ini merupakan bagian dari program Virtual Bootcamp “Saatnya Kita Menghapus Kekerasan Seksual” yang digagas oleh Komnas Perempuan dan Grab Indonesia bersama Tirto.id.

Program ini untuk mendukung pengesahan RUU PKS yang sudah masuk ke dalam prioritas DPR pada tahun ini, sekaligus memfasilitasi proses edukasi masyarakat di masa pandemi ini. Seperti yang kita tahu, pengesahan RUU PKS merupakan agenda penting yang turut menjadi perhatian Grab Indonesia.

“Di dalam SOP Grab pun kami sudah secara progresif mengadopsi unsur-unsur dari Rancangan Undang-Undang ini, tentunya dari hasil kolaborasi dan diskusi kami bersama Komnas Perempuan. Pengesahan RUU PKS ini merupakan agenda penting. Tadi saya sudah bilang bahwa kita melakukannya secara progresif, tapi bukan itu saja. Sebagai super-app terkemuka di Asia Tenggara, Grab memiliki zero tolerance terhadap semua bentuk kekerasan, karena memberikan pengalaman yang aman dan nyaman bagi seluruh pengguna aplikasi Grab, baik mitra pengemudi maupun penumpang, adalah bagian dari komitmen berkelanjutan kami,” kata President of Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata.

Program ini diadakan tiap Jumat pekan pertama selama Juli hingga Desember 2021. Sesi I yang diadakan Jumat, 2 Juli, menghadirkan 3 pembicara, yakni Andy Yetriyani, Veni Siregar, dan Hindun Anisah. Pada sesi berikutnya, tema yang akan dibahas adalah "Mengapa RUU PKS Sampai Sekarang Belum Disahkan".

Untuk mendapatkan informasi lengkap sekaligus melakukan pendaftaran pada sesi berikutnya, silakan klik https://bit.ly/KuMauJoin2. #SahkanRUUPKS #HapusKekerasan

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis