tirto.id - Keberadaan pasal-pasal Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi polemik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak pasal Tipikor masuk RKUHP dan sudah menyatakan hal itu melalui surat kepada Presiden Joko Widodo.
Jokowi membenarkan sudah menerima surat itu. Dia mengaku masih menunggu kajian Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) sebelum bersikap.
"Intinya kita tetap harus memperkuat KPK. Sudah intinya ke sana. Tapi poin-poinnya secara detail saya belum bisa saya sampaikan karena memang baru kemarin saya terima [surat KPK]," kata Jokowi usai acara buka bersama di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Selasa malam kemarin (5/6/2018).
Sementara Menkopolhukam Wiranto menyatakan akan menggelar Rapat Koordinasi Terbatas untuk membahas polemik Pasal Tipikor dalam RKUHP. Menurut Wiranto, rapat itu akan melibatkan KPK, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Kepolisian dan sejumlah pakar hukum.
"Saya akan undang, duduk bersama, enggak usah diskursus melalui media sosial, tapi duduk bersama melihat secara jernih, apakah ini merugikan atau mempunyai manfaat," kata dia pada Rabu (6/6/2018).
Alasan Pasal Tipikor Masuk KUHP Ditolak
Polemik mengenai pasal Tipikor di RKUHP sebenarnya telah mencuat sejak 2014 silam. Pada tahun itu, ahli hukum senior Profesor J.E Sahetapy pernah mendesak delik korupsi dikeluarkan dari RUU KUHP. Menurut dia, hingga saat itu, lembaga yang memiliki kinerja baik dalam pemberantasan korupsi hanya KPK.
“Jika delik korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP, maka pertanyaan saya, apakah KPK yang ada sekarang ini nanti dibubarkan atau tidak? Kalau tidak, bagaimana dengan hukum acaranya?” Demikian pernyataan Sahetapy dalam sebuah diskusi pada Maret 2014 seperti dikutip Hukum Online.
Berdasar draf RKUHP versi 28 Mei 2018, Pasal Tipikor masuk dalam Bagian Ketiga tentang Tindak Pidana Korupsi. Bagian itu memuat 9 pasal, yakni pasal 687-696.
Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif sudah menjelaskan persoalan yang bisa muncul akibat pasal-pasal Tipikor masuk KUHP. Persoalan pertama, menurut Laode, pasal Tipikor dalam RKHUP memunculkan pertanyaan soal nasib kewenangan KPK usai UU itu disahkan. Dia menyatakan hal itu sebab RKUHP belum memuat penjelasan mengenai kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi.
"Kalau nanti [pasal tipikor] masuk di dalam KUHP, Undang-Undang KPK apakah masih berlaku atau tidak? Apakah bisa KPK menyelidik, menyidik, dan menuntut kasus-kasus korupsi karena itu bukan Undang-Undang Tipikor lagi tetapi undang-undang dalam KUHP," kata Laode di Gedung KPK, pada Rabu (30/5/2018) seperti dikutip Antara.
Persoalan kedua, kata Laode, di dalam RKUHP diwacanakan ada aturan-aturan baru yang diadopsi dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), misalnya korupsi di sektor swasta. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai bagaimana kewenangan KPK dalam mengusut korupsi di sektor swasta. Sementara di negara lain, seperti Malaysia dan Singapura, lembaga sejenis KPK sudah diberi kewenangan untuk mengusut korupsi di sektor swasta.
Persoalan ketiga, Laode melanjutkan, dalam RKUHP belum ada aturan tentang tindak pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti. "Padahal, ini penting. Karena kalau [pidana] denda itu biasanya terlalu sedikit," ujar dia.
Keempat, Laode menyoroti ketentuan di RKUHP yang mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi. "Di UU Tipikor dianggap sama saja melakukan percobaan dengan melakukan tindak pidana korupsi," kata dia.
Persoalan kelima, kata Laode, beberapa tindak pidana korupsi yang sudah diatur dalam UU Tipikor justru masuk dalam Bab Tindak Pidana Umum di RKUHP. "Kalau masuk tindak pidana umum, berarti relevansi KPK sebagai lembaga khusus dipertanyakan lagi. Bisa menimbulkan kendala hukum yang akan lebih susah untuk diselesaikan," kata Laode.
Bantahan Tim Perumus RKUHP Soal Penolakan Pasal Tipikor
Salah satu anggota Tim perumus RKUHP Profesor Eddy Hiariej justru menyatakan tidak ada masalah serius akibat RKUHP memuat pasal-pasal Tipikor.
"Tidak ada masalah ketika misalnya kejahatan yang diatur dalam KUHP juga diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [UU Tipikor], dalam praktek selama ini tidak pernah menimbulkan kebingungan," kata Eddy kepada media di kantor Kemenkumham, Jakarta, Rabu (6/6/2018) seperti dilansir Antara.
Pakar hukum UGM itu mencatat UU Tipikor memuat 30 perbuatan yang masuk kategori tindak pidana korupsi. Dia berpendapat 30 perbuatan itu bisa dikelompokkan dalam 7 jenis yang termasuk dalam klasifikasi core crime atau pidana pokok. RKUHP, menurut dia, hanya mengatur 7 pidana pokok itu.
"Jadi, tidak mungkin ada spesialis kalau tidak ada generalis. Jadi generalisnya itu ada di dalam KUHP core crime-nya itu ada, lex specialis-nya itu Undang-Undang yang sudah ada [UU Tipikor]," kata dia.
Ketua Tim Perumus RKUHP Muladi menambahkan pasal 729 RKUHP telah mengatur bahwa penanganan tindak pidana khusus tetap dilaksanakan berdasar kewenangan lembaga masing-masing. Lembaga-lembaga itu seperti KPK, BNN, PPATK, Komnas HAM dan sebagainya.
"Tidak akan menganggu dan mengurangi kewenangan KPK," kata Muladi.
Editor: Addi M Idhom