tirto.id - “Huuuuuu…!”
Ridwan Kamil berkali-kali disoraki oleh sebagian pengunjung Balai Asri Pusdai, Jawa Barat, Bandung, pada Senin (10/6).
Merujuk video berdurasi 1,5 jam yang diunggah akun Atalia Kamil (istri Ridwan Kamil) di YouTube, gubernur Jawa Barat itu sedang menjelaskan bahwa desain berbentuk segitiga (dikoreksinya sebagai trapesium) di Masjid Al-Safar, Jalan Tol Purbaleunyi km 88, bukan simbol Illuminati.
Tuduhan itu menjadi viral sebab Illuminati dihubungkan sebagai organisasi rahasia elite yang punya kekuatan serta kehendak mendominasi dunia.
Umat Islam diklaim sebagai target, dan strategi Illuminati antara lain meletakkan simbol mirip lambang perkumpulan mereka di masjid dan gedung-gedung lain.
Lambang Illuminati yang paling umum adalah segitiga yang berpuncak ilustrasi satu mata. Lambang diyakini tidak hanya membentuk interior Masjid Al-Safar, tapi juga eksteriornya: sekumpulan segitiga yang secara abstrak membentuk dinding bangunan.
Ridwan dan timnya adalah perancang masjid tersebut. Ia memanfaatkan diskusi untuk menjelaskan visi pembangunan masjid sekaligus membantah fitnah.
“Terinspirasi dari alam,” katanya. Ia lalu mencontohkan masjid-masjid lain di Jakarta sampai Madinah yang mengandung bentuk segitiga tapi tidak dipermasalahkan sebagai simbol Illuminati.
Di samping Ridwan ada dua orang lain. Di sebelah kanannya ada Ketua MUI Jawa Barat Rahmat Syafei selaku penggagas acara. Di samping kiri duduk Rahmat Baequni, ustaz yang memulai kontroversi.
Rahmat Baequni diberi giliran pertama untuk menjelaskan mengapa ia mengasosiasikan bentuk segitiga di interior masjid sebagai simbol "Illuminati".
Judul presentasinya "Paganisme Modern". Ia menjelaskan perkembangan sejarah terbentuknya simbol-simbol terkait zionisme, Dajjal, Illuminati, sampai keberadaannya di berbagai elemen pada masa kini.
Rahmat sering mengutip hadist. Ia sesekali meneriakkan takbir yang dibalas pengunjung secara bersemangat. Beberapa kali topik penjelasannya melebar hingga kritik terhadap keturunan raja Saudi, kegagalan demokrasi, atau naiknya rezim yang dipimpin oleh pengkhianat yang disepakati pengunjung sudah terjadi di Indonesia.
Analisis bahaya simbol yang dikaitkan dengan organisasi-elite-global-nan-rahasia-tapi-amat-berkuasa sudah sering diungkapkan Rahmat Baequni saat mengisi kajian-kajian Islami. Kontennya bisa diakses di berbagai akun YouTube, Twitter dan platform media sosial lain.
Pisau bedahnya serupa dengan pegiat teori konspirasi lain, yakni upaya menghubungkan beberapa objek yang berkaitan dengan hal-hal konspiratif secara serampangan. Lingkar akademisi menegaskan metode ini tidak saintifik. Meski demikian, tetap ada orang yang mempercayainya.
Sejumlah pihak membisniskannya melalui penerbitan literatur dengan tema-tema tak jauh berbeda dengan yang disinggung Rahmat: Illuminati, zionisme, dajjal, kiamat, amerika, yang manifestasinya diklaim ada pada simbol-simbol yang ada di sekitar manusia serta mengapa umat Islam perlu mewaspadainya.
Sosiolog UNY Amika Wardhana melihat kasus Ridwan Kamil bernuansa politis. Ia melihat mantan arsitek itu sudah ditarget kelompok oposisi karena dekat dengan Joko Widodo. Kelompok ini tinggal menunggu Ridwan seakan bikin kekeliruan, lalu mengeksploitasinya.
Amika kemudian membahas analisis Rahmat dan pegiat teori konspirasi lain sebagai ilmu cocoklogi. “Bahasa Jawanya othak-athik gathuk. Ini sebenarnya bukan hal baru, ada di tiap masyarakat dalam sepanjang lintasan sejarah” katanya melalui sambungan telepon, Selasa (11/6).
Amika menjelaskan ada tiga penyebab utama. Pertama, kemunculan internet sebagai kanal orang-orang mencari keterkenalan tapi dengan memproduksi serta menyebarkan hal-hal konspiratif. Dulu teori konspirasi berkembang melalui media cetak, lalu kini bertemu dunia maya sebagai kanal baru yang lebih masif.
“Seperti fake news, hal-hal kontroversial itu kebanyakan ditangkap, dipercayai oleh orang-orang yang tidak siap bermain internet. Teori konspirasi di YouTube bikin geleng-geleng kepala. Ada yang menyebut Stonehenge (situs bersejarah di Inggris) tak asli sampai percaya situs-situs sejarah bikinan alien.”
Kedua, harapan atas self-fulfiling prophecy atau prediksi tentang kebenaran ramalan. Skenario teori konspirasi selalu mengacu ke teori yang Amika sebut standar, yakni saat sesuatu yang keliru dianggap menjadi benar jika banyak dibicarakan serta diyakini banyak orang.
Jumlah para penganut teori konspirasi Amika tengarai tidak terlalu banyak di negara dengan tradisi ilmiah yang kuat karena masyarakatnya lebih rasional dan kritis. Negara dengan tradisi ilmiah lemah memiliki penganut teori konspirasi yang lebih besar. Persamaannya: sama-sama jadi bahan tertawaan.
Ketiga, psikologi ancaman. Amika melihat perkembangan teori konspirasi serupa Brexit yang digerakkan fake news soal ancaman imigrasi bagi pekerja informal asli Inggris sampai isu perihal dominasi Uni Eropa yang dianggap tidak menguntungkan institusi publik di negara Ratu Elizabeth.
"Orang Indonesia sama, selalu merasa terancam, baik secara ekonomi, budaya, apalagi agama. Maka narasi konspirasi akarnya selalu soal ancaman dari sesuatu di luar sana yang dominan, elite, rahasia, yang diyakini sedang menjalankan tujuan jahat melawan mereka.”
Isu Illuminati pun Amika pandang sepadan dengan isu ancaman PKI, Aseng (Cina), Yahudi, dan sebarisannya. Sama-sama tidak memiliki bukti kuat, tapi sering dipakai untuk menakut-nakuti khalayak dengan beragam motif.
“Saya curiga gara-gara film kayak The Da Vinci Code (2006). Hahaha… Orang yang menyebarkan kisah konspiratif itu tidak perlu memberikan bukti yang sifatnya ilmiah. Klaim dan cocok-cocokan saja. Paling biar dapat rating.”
Sembilan Tahun untuk Selamanya
Rata-rata sejarawan pengulik teori konspirasi mengambil kesimpulan bahwa Illuminati pada era modern memperoleh reputasi yang jauh dilebih-lebihkan ketimbang fakta sebenarnya. Meski mengacu pada beberapa organisasi, Illuminati yang populer dalam narasi teori konspirasi paling sering merujuk pada Bavarian Illuminati.
Phill Edward menjelaskan melalui kanal Vox, Bavarian Illuminati dibentuk pada 1776. Perkumpulan rahasia ini diinisiasi oleh filsuf Jerman Adam Weishaupt yang amat mempercayai nilai-nilai pencerahan.
Weishaupt dan pengikutnya giat mempromosikan ide-idenya ke lingkaran elite Jerman dan Eropa, terutama elite politik, agar bisa menjalarkan pengaruhnya saat target benar-benar berkuasa. Mereka berkeyakinan pada pemikiran rasional hingga kemandirian pribadi (atau masyarakat).
Para pendiri hanya berjumlah enam hingga sembilan orang, tapi anggota berkembang hingga kisaran seribu. Cara meluaskan organisasi tergolong cerdik, yakni menjadi sel tidur di organisasi lain. Salah satunya dengan menyusup ke Freemansory, organisasi persaudaraan yang juga bersifat tertutup tapi berumur lebih panjang.
Apakah Illuminati mengontrol dunia sebagaimana klaim Rahmat Baequni dan lain-lain? Sejarawan menilainya sebagai kekeliruan fatal. Beberapa berujung klaim belaka, seperti keyakinan bahwa Illuminati menginspirasi Revolusi Perancis.
Faktanya, Bavarian Illuminati hanya berusia sembilan tahun. Tepatnya pada 1785, ketika Adipati penguasa Bavaria melarang perkumpulan rahasia dan menerapkan hukuman serius bagi orang yang membuat organisasi rahasia baru atau mengikuti yang lama.
Phill merujuk artikelnya pada beberapa buku tentang Illuminati untuk menjawab mengapa perkumpulan itu menjadi organisasi bayangan paling disegani di dunia konspirasi. Salah satu jawabannya adalah karena George Washington dan beberapa pendiri Amerika pernah menyatakan kekhawatiran terhadap ancaman Illuminati.
Illuminati serta hal-hal konspiratif di sekitarnya kemudian menjadi tema yang mulai digarap oleh industri hiburan pada 1970-an. Sejak itu produk budaya pop sesekali menampilkan simbolnya, mulai dari AS lalu meluas ke berbagai negara, mulai dari bacaan hingga film layar lebar.
Melalui sikap kritis, sebagian masyarakat dunia menganggapnya sebagai omong kosong. Tapi, bagi sebagian lainnya, Illuminati bukan hanya sosok yang diyakini, tapi juga diwaspadai.
Beberapa pesohor yang memakai simbol mirip Illuminati untuk kepentingan persona maupun bisnis pun kena tuduhan macam-macam.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, Amika melacak problemnya hingga ke pendidikan. Pendidikan di Indonesia belum mampu membekali orang-orang untuk tahan terhadap analisis serampangan model para pegiat teori konspiratif. Mereka, dalam kata lain, adalah korban.
Efek latennya?
“Merusak kohesi (ikatan) masyarakat sebagai sebuah bangsa karena kulturnya saling mencurigai, tidak saliing berpikir positif. Sedikit-sedikit Illuminati, sedikit-sedikit PKI, sedikit-sedikit Yahudi.”
Editor: Windu Jusuf