Menuju konten utama

Mengapa Orang Suka Terlambat?

Bagi beberapa orang, keterlambatan waktu terasa menjengkelkan. Mengapa orang suka ngaret?

Mengapa Orang Suka Terlambat?
Ilustrasi pekerja kantor yang terlambat dan mengejar kereta. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Marwa dan Dinda adalah dua orang relawan sebuah acara pertukaran pemuda Korea Selatan dan Indonesia yang berlangsung di Surabaya. Keduanya ditugaskan sebagai pendamping kelompok yang merupakan para pemuda dari Korea Selatan selama kurang lebih 15 hari. Jadwal yang selalu padat dari pagi sampai pagi keesokannya membuat keduanya kelelahan bahkan ketika masih di hari ke tiga.

"Masuk hari ke tiga, tuh aku udah capek banget. Nah, pas itu kebetulan kita ada jadwal makan malam di luar hotel. Kami semua harus udah kumpul jam 18.30," kisah Marwa. Hari itu kegiatan utama selesai pukul 17.00, berpikir masih punya waktu untuk istirahat akhirnya Marwa memilih kembali ke kamar hotel untuk tidur sebentar.

Kepada Dinda, rekan sekamarnya, Ia berpesan agar dibangunkan pukul 18.00 supaya masih punya waktu untuk siap-siap makan malam. Namun, ternyata Marwa terbangun pukul 18.15.

"Pas itu agak panik, sih. Tapi kami pikir masih 15 menit, jadi kami agak santai sedikit siap-siapnya. Ternyata jam 18.25 aku diteleponin terus sama ketua kelompok, disuruh cepet-cepet karena semua sudah nunggu di bawah," lanjut Marwa. Mereka berdua pun bergegas turun ke bawah dan menyusul para peserta yang ternyata semuanya bahkan sudah berada di dalam mobil.

"Ternyata mereka itu on time banget. Kalau janjian jam setengah tujuh berarti jam segitu sudah berangkat, kebalikan sama kita yang budayanya jam segitu baru berangkat untuk kumpul," kata Marwa.

Sebenarnya, kebiasaan tidak tepat waktu alias ngaret itu tidak cuma terjadi pada masyarakat Indonesia. Pakar psikologi mengungkapkan, kebiasaan seperti tersebut lumrah dilakukan oleh semua manusia. Sebuah survei tahun 2006, misalnya, menunjukkan 15-20 persen orang Amerika adalah tukang ngaret terlebih jika berkaitan dengan pekerjaan.

Salah satu alasan kuat mengapa manusia suka terlambat adalah karena mereka seringkali gagal memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang dengan pola pikir seperti ini ada sebanyak 40 persen.

Sebuah studi tahun 2016 yang dilakukan oleh psikolog Emily Waldun dan Mark McDaniel dari Washington University dalam psychologytoday membuat sebuah teori bernama Time-Based Prospective Memory (TBPM). Dalam eksperimennya, mereka memberikan subjek penelitian sebuah tugas yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu dan mereka diperbolehkan melihat jam untuk bisa memastikan waktu. Tugas yang diberikan adalah tugas yang menyenangkan, yakni menyelesaikan puzzle. Dengan tugas yang seru ini memungkinkan para partisipan akan lupa untuk mengecek waktu.

Hasilnya, beberapa orang ternyata bisa memperkirakan waktu dengan baik, sementara lainnya tidak. Hal ini kadang terjadi dalam keseharian kita. Sebelum berangkat kerja, misalnya kita menyempatkan diri untuk scrolling Instagram barang cuma 10 menit. Tapi kenyataannya kita menghabiskan waktu 20 menit saking keasyikannya.

Penyebab lain orang suka ngaret biasanya adalah mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu waktu.

Sebuah studi pada tahun 2003 yang dilakukan oleh Jeff Conte dari San Diego State University Amerika Serikat menemukan bahwa sebanyak 181 operator subway di New York yang kebanyakan melakukan banyak pekerjaan di satu waktu seringkali terlambat menyelesaikan tugasnya. Hal ini dikarenakan multitasking akan menyusahkan seseorang untuk bisa fokus pada pekerjaannya.

Infografik Kebiasaan Terlambat

Menariknya, ternyata kebiasaan terlambat ini juga melibatkan komponen-komponen psikologis seseorang. Sebuah studi yang dilakukan oleh Diana DeLonzor dari San Francisco State University pada sekitar tahun 1990-an menguji kebiasaan terlambat dengan karakter seseorang, mulai dari rasa waswas, kontrol diri, dan tendensi. Dari penelitiannya, DeLonzor mengklasifikasikan tujuh tipe tukang ngaret, dua di antaranya adalah "Si Deadliners" dan "Si Produser".

"Yang kutemukan adalah beberapa orang terpicu adrenalinnya ketika sudah hampir mencapai batas waktu. Mereka terdorong untuk memotivasi diri mereka tanpa mengingat deadline-nya. Ketika mereka sadar bahwa mereka mungkin tidak bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu, hal ini justru memicu mereka untuk segera menyelesaikannya," kata DeLonzor seperti ditulis Huffingtonpost.

Lalu untuk kategori kedua adalah mereka yang menganggap bisa menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan: olah raga, membersihkan rumah, mencuci baju, mandi, dan mengantarkan anak ke sekolah dalam waktu satu jam.

"Banyak orang yang terlambat termasuk optimistis dan tidak realistis dan hal ini mempengaruhi persepsi mereka terhadap waktu," ujar DeLonzor.

Penelitian serupa kemudian juga dilakukan oleh Jeff Conte pada tahun 2001. Dalam eksperimennya ia membagi dua kelompok orang berdasarkan kepribadiannya, yakni Tipe A dengan kepribadian ambisius dan kompetitif, dan Tipe B dengan kepribadian yang lebih santai, kreatif, dan eksploratif. Mereka diminta untuk menebak, tanpa melihat jam, berapa lama satu menit berlalu. Hasilnya, Tipe A merasa satu menit sudah berlalu ketika waktu sudah berlalu selama 58 detik. Sementara itu Tipe B menebaknya ketika waktu sudah berlalu selama 77 detik.

Sebagian dari kita mungkin kesal bila ada seorang kawan yang datang terlambat, sementara kita dibiarkan menunggu. Namun, menurut DeLonzor sebenarnya para pelaku ngaret juga tidak suka terlambat. "Keterlambatan adalah sebuah masalah kesalahpahaman," katanya. "Berdasarkan orang-orang yang kuwawancarai, kebanyakan dari mereka yang memang ngaret kronis sebenarnya tidak suka terlambat. Mereka berusaha untuk tepat waktu dan ini sudah menjadi masalah dalam hidup mereka," lanjutnya.

Meski begitu, menurut DeLonzor kebiasaan terlambat ini bisa diubah dengan beberapa cara. Pertama, dengan mengevaluasi berapa waktu yang biasanya dibutuhkan untuk menyelesaikan satu rutinitas. Kedua, ubah pola pikir, tidak hanya perilaku. Serta ubah jadwal keseharian. Salah seorang profesor dari Oklahoma State University Teri Bordeau menyarankan hal ini, yakni mengubah pola aktivitas sehari-hari dengan mengategorikannya.

Baca juga artikel terkait BEKERJA atau tulisan lainnya dari Arifina Budi

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Arifina Budi
Penulis: Arifina Budi
Editor: Suhendra