tirto.id - “Saya paham.” Tegas Scott Welch, penumpang Jetblue dengan nomor penerbangan 1416, yang mengeluarkan Samsung Galaxy Note 3 miliknya untuk merekam detik-detik kekacauan pasca insiden ledakan kecil yang membuat kabin penuh dengan asap pada 2014 silam. “Saya mungkin bertemu Tuhan sekarang. Jika ini saatnya, inilah saatnya,” ucapnya kemudian.
Welch merekam momen-momen mengerikan itu, seolah tak mempedulikan keselamatannya. Rekaman Welch, sebagaimana dilaporkan The New York Times, ditonton lebih dari sejuta kali oleh para pengguna internet dunia.
Apa yang dilakukan Welch umum terjadi di masa kini. Video di YouTube yang menampilkan rekaman-rekaman amatir konser musik, pelantikan pejabat, wisuda sekolahan, hingga peristiwa-peristiwa bencana bertebaran. Penulis The Guardian Stuart Jeffries menyebut salah satu rekaman amatir pertama yang viral di dunia maya, khususnya terkait bencana, terjadi pada 2004 silam. Kala itu, rekaman amatir tsunami yang menerjang Samudera Hindia yang menewaskan lebih dari 230 ribu orang di 14 negara tersebar cepat. Selepasnya, rekaman-rekaman amatir dengan berbagai tema peristiwa bermunculan dengan masif.
Paling baru, berbagai rekaman amatir soal tsunami di Palu dan Donggala mendominasi sosial media. Di YouTube misalnya, pada fitur “Trending” YouTube per Senin (1/10), terdapat 13 rekaman amatir soal tsunami di Palu dan Donggala. Sementara itu, hanya ada 2 rekaman non-amatir, yang disediakan oleh kanal resmi YouTube stasiun televisi swasta Indonesia. Sebagai contoh ada suara pria yang dengan "tabah" tetap mengabadikan gambar saat detik-detik gelombang tsunami menghantam pantai.
Mengapa terjadi fenomena ini? Kepemilikan smartphone adalah jawabannya. Melansir data Statista, diperkirakan terdapat 2,5 miliar pengguna smartphone di seluruh dunia tahun ini. Smartphone bukan perangkat seperti kamera DSLR atau TV, smartphone melekat pada si pemiliknya hampir tiap saat, bahkan saat tidur. Didukung dengan fitur kamera yang mudah dioperasikan dan koneksi internet, rekaman-rekaman amatir makin sering muncul di dunia maya.
“Smartphone sangat portabel dibandingkan kamera atau perangkat apapun, dan paling penting, smartphone menawarkan koneksi internet, ini adalah kunci bagi lahirnya fenomena yang saya sebut 'virtual presentee-ism',” kata Jeffries.
Virtual presentee-ism, yang disebut Jeffries, merupakan fenomena tentang tersebarnya pengalaman seorang perekam peristiwa pada khalayak luas. Ia merekam karena ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia ada di lokasi saat suatu kejadian terjadi. Pada kasus Welch dengan Jetblue, ia ingin orang lain melihat langsung dirinya atas insiden yang terjadi di kabin pesawat Jetblue. Khusus bagi keluarganya, Welch ingin rekamannya itu jadi pengingat terakhir dirinya.
“Pengalaman kita sekarang bisa bepergian melintasi batas, (dan semua orang merasakannya),” tulis Jeffries menegaskan.
Alex Williams, dalam tulisannya di The Times, menyebut fenomena banjirnya rekaman amatir, khususnya yang bertema bencana, kengerian, atau sejenisnya, bisa disebut sebagai peningkatan konsep “flow.” “Flow” ialah suatu istilah psikologis atas kenikmatan yang dihasilkan ketika orang lain yang melihat justru khawatir.
Alasan berkembangnya “flow,” merujuk apa yang ditulis Williams ialah meningkatnya nilai keakuan diri. Williams yang mengutip penelitian profesor Jean Twenge, menyebut dari 760 ribu buku terbitan Amerika Serikat pada 1960 hingga 2008 terjadi adanya penurunan kata “we dan us” hingga 10 persen. Sementara itu, kata “I dan me” justru meningkat hingga 42 persen.
Pada rekaman amatir Welch, Williams menyebut itu ialah ungkapan dari Welch yang menyatakan: “Ini rekamannya. Itu adalah pengalaman saya.”
Penggunaan smartphone sebagai medium perekam di satu sisi baik. Namun, di sisi lain ini mengkhawatirkan. Conan O’Brien, salah seorang selebritis dunia, secara tersirat menyebut bahwa penggunaan smartphone sebagai medium merekam menjauhkan orang-orang dari pengalaman sesungguhnya.
“Saya punya pengaman ketika tampil di depan banyak orang. Yang saya lihat justru lautan iPad dan iPhone. Kamu tidak akan melihat wajah mereka,” katanya.
Smartphone Sebagai Penolong
Di dunia, antara tahun 1994 hingga 2013 terjadi 6.873 bencana alam. Setidaknya, 218 juta orang terdampak. Pada beberapa bencana alam, korban bencana alam sulit dideteksi atas adanya reruntuhan yang ditimbulkan. Paling tidak, ada beberapa langkah yang selama ini dilakukan mencari korban bencana alam yang tertimpa reruntuhan.
Misalnya pencarian manual, menggunakan anjing pelacak, hingga menggunakan perangkat elektronik, semisal kamera mini dan perangkat pendeteksi gerakan. Sayangnya, langkah-langkah tersebut punya celah. Akbar Hossain, peneliti Auckland University of Technology, dalam papernya berjudul “A Smartphone-assisted Post-Disaster Victim Localization Method,” menawarkan teknologi bernama Smartphone-Assisted Victim Localization (SmartVL).
SmartVL, secara sederhana, merupakan teknologi yang menjadikan smartphone mengirim sinyal koordinat keberadaannya pada smartphone lain yang berjarak dekat maupun pada tower khusus. Hossain menulis, ada tiga bagian utama SmartVL, antaralain monitor of radio environtment, disaster detection, dan victim localization. SmartVL bisa bekerja otomatis, dengan atau tanpa intervensi si pemilik smartphone.
“Smartphone yang diterapkan SmartVL bisa secara otomatis berubah menjadi ‘disaster mode’ yang lantas mengirimkan sinyal radio darurat. Mengirim pesan keberadaan koordinat smartphone (dan penggunanya) ke smartphone terdekat,” tulis paper tersebut.
Bagaimana SMartVL bekerja? Dalam dunia jaringan ada teknologi bernama Long Term Evolution-Advanced (LTE-A). Di dunia jaringan smartphone masa kini, LTE-A umum ditemukan. Smartphone terhubung ke stasiun LTE-A bernama Evolved Bode B atau eNB.
Pada hari-hari biasa, keterhubungan antara smartphone dan stasiun LTE-A longgar. Jaringan LTE-A bekerja dengan memanfaatkan banyak stasiun. Namun, tatkala bencana alam terjadi, beberapa stasiun rusak, smartphone akan otomatis mencari stasiun lain. Pada stasiun yang masih berfungsi akan terjadi lonjakan hubungan antara dirinya dan smartphone. Lonjakan inilah yang menjadi pemicu “disaster mode” aktif. SmartVL lantas bekerja otomatis.
Federal Emergency Management Agency, lembaga Pemerintah Amerika Serikat yang mengurusi bencana mengatakan bahwa smartphone bisa dijadikan alat penolong kala bencana dengan cara sederhana. Paling tidak, ada tiga hal yang mesti diingat dan dilakukan.
Pertama, menyimpan nomor-nomor penting. Membuat grup berisikan kerabat atau sahabat dekat yang bisa dimintai tolong, dan terakhir menggunakan fasilitas SMS pada media sosial Twitter. Umumnya, banyak pengguna media sosial itu berbagi terkait kebencanaan. Mengaktifkan SMS layanan itu menghindari matinya jaringan internet yang terjadi. Bagaimanapun keberadaan ponsel pintar telah memberi warna baru bagi penggunanya, sebagai unjuk diri termasuk saat bencana hingga jadi sarana penyelamat saat terjadi kondisi krisis.
Editor: Suhendra