Menuju konten utama

Mengapa Kita Cenderung Mager dan Malas Berolahraga?

Kalau ada ojek, buat apa jalan kaki? Menurut riset, otak kita lebih memilih bersantai daripada bergerak. Perlu motivasi kuat untuk merutinkan olahraga.

Mengapa Kita Cenderung Mager dan Malas Berolahraga?
Header Diajeng Memulai Olahraga. trto.id/Quita

tirto.id - Siapa pun pasti setuju bahwa olah raga bermanfaat bagi kesehatan. Sayangnya, konsensus itu tidak lantas membuat semua orang kemudian terpanggil dan konsisten untuk berolahraga.

Menurut studi yang baru-baru ini dirilis oleh WHO, pada 2022 terdapat lebih dari 31 persen orang dewasa atau 1,8 miliar orang di dunia yang tidak menjalani aktivitas olahraga. Jumlah ini meningkat lima persen dari tahun 2010.

Jika tren ini berlanjut, dikhawatirkan tingkat ketidakaktifan orang dewasa bakal meningkat hingga 35 persen pada 2030, proyeksi yang semakin jauh dari tujuan WHO untuk mengurangi ketidakaktifan fisik hingga 15 persen pada akhir dekade ini.

"Kurangnya aktivitas fisik merupakan ancaman diam-diam bagi kesehatan global, yang berkontribusi signifikan terhadap beban penyakit kronis," kata Ruediger Krech, direktur departemen promosi kesehatan WHO.

Mengapa Kita Mager?

Nah, jika olahraga membawa kebaikan dan bermanfaat bagi tubuh, mengapa sebagian dari kita merasa enggan untuk memulainya?

Selalu saja ada alasan untuk berkelit dari aktivitas gerak badan. Argumen klasiknya adalah keterbatasan waktu dan kesibukan.

Ilustrasi Kucing

Ilustrasi Kucing. FOTO/iStockphoto

Selain itu, masih ada faktor kemudahan akses mobilitas di era modern. Alih-alih berjalan kaki untuk menuju halte bus, kita cenderung memilih untuk menggunakan layanan ojek daring.

Situasi masyarakat saat inilah, menurut Novia Dwi Rahmaningsih, M.Psi., Psikolog dari Biro Layanan Psikologi Kawan Bicara, yang membuat seseorang tidak terbiasa terpapar untuk melakukan aktivitas fisik.

“Saat usia sekolah, anak kebanyakan duduk dalam jangka waktu panjang dan kurang encourage aktivitas fisik. Termasuk mobilisasi dengan menggunakan alat transportasi yang meminimalisir kebutuhan dan keharusan bergerak. Hal itu bisa berlanjut ketika dewasa,” terang Novia.

Apabila kita sudah telanjur membiasakan diri dengan aktivitas fisik berintensitas rendah, itulah yang akan menjadi ritme harian kita.

Maka saat akan memulai berolahraga—yang menyimpang dari keseharian gerak fisik berintensitas rendah—rasanya bakal aneh dan berat untuk dimulai. Demikian disampaikan Brad Stennerson, psikolog dari University of Oklahoma dalam tulisannya di Psychology Today.

Stennerson mengatakan, bukan tidak mungkin untuk mengubah kebiasaan dari mager menjadi aktif, namun tentu diperlukan proses.

"Mengubah kebiasaan butuh waktu. Kamu harus melewati rintangan ketidaknyamanan agar dapat mencapai titik merasa nyaman dengan kebiasaan baru," ujar Stennerson.

Menurut beberapa penelitian, setidaknya perlu waktu minimal enam minggu untuk membentuk kebiasaan olahraga baru.

Rasa mager untuk berolahraga juga dipengaruhi oleh kerja otak.

Melansir Time, peneliti aktivitas fisik Matthieu Boisgontier dari University of Ottawa, mendemonstrasikan fenomena itu dalam sebuah studi tahun 2018.

Saat terhubung ke monitor aktivitas otak, sukarelawan diberi kendali avatar digital. Mereka diminta untuk menjauhkan avatar dari gambar perilaku tidak banyak bergerak yang muncul di layar komputer dan mendekati gambar aktivitas fisik.

Peneliti menemukan bahwa menghindari perilaku tidak banyak bergerak membutuhkan lebih banyak kekuatan otak, yang menunjukkan "kita memiliki kecenderungan otomatis" untuk memilih bersantai daripada bergerak.

Hal ini menurut Daniel Lieberman, ahli biologi evolusi manusia dan penulis Exercised: Why Something We Never Evolved to Do is Healthy and Rewarding, tidak terlepas dari proses evolusi manusia.

Lieberman menjelaskan, dalam sebagian besar riwayat eksistensi umat manusia, manusia harus aktif secara fisik untuk menjalankan fungsi dasar kehidupan, seperti berburu binatang atau bercocok tanam untuk makan dan bertahan hidup.

Manusia pun berevolusi untuk menoleransi berbagai aktivitas dengan intensitas tinggi, dan pada waktu sama cenderung akan memilih untuk beristirahat jika memungkinkan. Naluri evolusi untuk menghemat energi itulah yang terbawa hingga sekarang.

Olahraga dan Kesehatan Mental

Psikolog Novia menambahkan, penyebab lain rasa mager berolahraga bisa juga berkaitan dengan perasaan negatif tentang olahraga yang kita pendam secara tidak sadar.

Pengalaman buruk tentang aktivitas olahraga ini mungkin saja terjadi ketika seseorang dibandingkan-bandingkan dengan orang lain, diejek ketika tidak bisa melakukan gerakan tertentu, mendapatkan nilai jelek, hingga mengalami rasa lelah atau sakit.

Rasa malu dan dampak yang tidak menyenangkan tersebut akhirnya kemudian dapat membuat seseorang cenderung menghindari aktivitas olahraga sampai usia dewasa.

"Ini membuat olahraga dirasa sebagai sebuah punishment. Sementara tidak semua orang tahan dengan proses tersebut dan ingin segera mendapatkan hasil secara instan. Itu membuat mereka mudah menyerah di tengah jalan," papar Novia.

Penting diingat, olahraga tidak sekadar membantu kita terhindar dari penyakit fisik, melainkan juga menjaga kesehatan mental.

Olahraga meningkatkan kepekaan otak terhadap serotonin dan norepinefrin, hormon-hormon yang dapat meredakan perasaan depresi. Olahraga juga dapat meningkatkan produksi endorfin, yang membantu menghasilkan perasaan positif dan mengurangi persepsi rasa sakit.

"Kegiatan olahraga inilah yang sebenarnya akan membantu memulihkan energi dan motivasi serta membantu mood lebih stabil. Olahraga terbukti membantu mengurangi gejala kecemasan, depresi, dan gangguan mental lainnya," papar Novia.

Aktivitas fisik yang teratur juga membantu tidur kita jadi lebih nyenyak, membantu menunda munculnya penuaan kulit, meningkatkan fungsi otak, melindungi daya ingat dan keterampilan berpikir.

Tak heran, agar tetap sehat, WHO menganjurkan orang dewasa meluangkan waktu setidaknya 150 menit setiap minggu untuk melakukan aktivitas fisik intensitas sedang seperti berjalan kaki, bersepeda, atau bahkan pekerjaan rumah tangga. Atau, setidaknya, 75 menit untuk olahraga yang lebih berat seperti berlari atau mengikuti kompetisi olahraga.

Mendorong Diri untuk Bergerak

Psikolog Novia menjelaskan, pada mulanya aktivitas berolahraga memang perlu diusahakan dan dipaksakan. Setelah itu, motivasi untuk berolahraga akan muncul mengiringi dan semakin bertambah seiring dengan dilakukannya aktivitas tersebut secara sungguh-sungguh.

Namun demikian, untuk menghindari potensi berhenti di tengah jalan, Novia menyarankan agar kita menentukan terlebih dahulu alasan mengapa olahraga itu penting.

"Bayangkan manfaat olahraga di jangka pendek, menengah, hingga jangka panjang. Bayangkan bagaimana kualitas hidup, rutinitas sehari-hari akan semakin terbantu dengan tubuh yang lebih bugar dengan berolahraga," kata Novia.

Ilustrasi Beruang

Ilustrasi Beruang. FOTO/iStockphoto

Meski diawali dengan unsur paksaan, menurut Stephanie Mansour, pelatih pribadi dan CEO Step It Up with Steph, olahraga sebaiknya dilakukan dalam durasi singkat terlebih dahulu, bertahap dari ringan ke berat.

Misalnya, olahraga cukup lima menit setiap hari, alih-alih langsung menjadwalkan satu jam olah raga setiap hari dalam seminggu.

"Ini adalah cara langsung untuk melawan alasan apapun pun mengapa kamu tidak berolah raga. Banyak yang beralasan tidak punya waktu, tetapi siapa yang tidak punya waktu luang lima menit?" kata Mansour.

Kebiasaan yang sudah terbangun ini diharapkan dapat menginspirasi kita untuk menambah intensitas waktu olahraga.

Jalan lain yang dapat ditempuh bisa jadi dengan mencoba eksplorasi jenis olahraga yang sesuai dan menyenangkan untuk dilakukan. Ini termasuk mengagendakan sesi bersama teman sehingga olahraga sekaligus berfungsi ganda sebagai acara sosial.

“Mengamati rekan yang berolahraga seperti yang ingin kamu lakukan, terutama jika mereka memiliki usia, jenis kelamin, atau status kesehatan yang sama, dapat membantu menyadari bahwa kamu juga dapat melakukannya,” ungkap Sam Zizzi, psikolog olahraga di West Virginia University.

Meski melibatkan teman saat berolahraga itu baik, psikolog Novia mengingatkan, jangan lantas kita membandingkan diri sendiri dengan teman kita.

Yang lebih penting adalah membandingkan proses bagaimana kita membangun kebiasaan sekarang dengan yang dulu.

“Apresiasi diri ketika berhasil berolahraga dan apresiasi proses membangun habit itu. Bila terlewat atau tidak sesempurna yang direncanakan, tidak apa-apa. Dorong kembali untuk melakukan lagi sesuai rencana,” saran Novia.

Jadi, kapan kamu mau mulai rutin berolahraga?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari MN Yunita

tirto.id - Olahraga
Kontributor: MN Yunita
Penulis: MN Yunita
Editor: Sekar Kinasih