tirto.id - Pada 11 Maret 2020 lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa SARS-CoV-2 alias COVID-19 sebagai pandemi. Virus yang muncul pertama kali di Wuhan, Cina ini perlahan menjangkau seluruh pelosok dunia, tak terkecuali di benua Afrika. Di Afrika, kasus pertama COVID-19 muncul jauh sebelum WHO menyatakan virus ini sebagai pandemi, yakni terjadi tatkala seorang warga Mesir terkonfirmasi positif pada 14 Februari.
Shaheen Mehtar, dalam publikasinya di The Lancet menyatakan bahwa selepas Mesir, negeri Afrika berikutnya yang terpapar Corona adalah Afrika Selatan. Di negeri yang pernah dipimpin Nelson Mandela itu, Corona terdeteksi pertama kali pada 29 Februari, selepas tujuh dari sembilan warganya yang baru pulang berlibur dari Italia dan terbukti positif membawa oleh-oleh bernama Corona. Lalu, sekitar 6.000 kilometer Barat Laut dari Afrika Selatan, COVID-19 menjangkiti beberapa warga Senegal. Kala itu, di tanggal 7 Maret, warga Senegal yang baru pulang dari Italia terkonfirmasi positif Corona, yang sayangnya kemudian menularkan virus itu pada 20 tetangganya. Dan tepat di jantung Afrika, seorang warga negara Kongo terkena Corona pada 10 Maret 2020, dua hari selepas ia pulang dari Perancis.
Semenjak kasus-kasus pertama di Afrika yang dibawa pulang warganya tanpa sengaja dari Eropa, Corona menyebar di seantero benua.
Ruth Maclean, dalam laporannya untuk The New York Timespertengahan Juni lalu, mengatakan bahwa kemunculan Corona di Afrika kemungkinan akan memiliki dampak yang jauh lebih buruk dibandingkan di benua lain, Asia atau Eropa misalnya. Alasannya, negara-negara Afrika terhitung sebagai negara miskin. Ketika mulai menerapkan lockdown, negara-negara ini diprediksi akan melonggarkannya dengan alasan perekonomian sehingga Corona semakin leluasa menyebar.
Selain itu ada pula masalah logistik peralatan untuk mencegah Corona. Prediksi-prediksi itu diperparah lagi dengan penyebaran Corona di kalangan elite Afrika. Di Ghana, misalnya, Corona telah menyebar di lingkungan istana.
Dalam tempo 18 hari, terdapat 200.000 kasus positif di Afrika. Sementara itu, pencapaian 100.000 kasus positif Corona terjadi dalam waktu 98 hari. Dari titik ini, tulis Maclean, WHO memperkirakan akan ada 29 juta hingga 44 juta warga Afrika yang terjangkit Corona, dan sebanyak 300.000 jiwa akan kehilangan nyawa sepanjang 2020 ini.
Untunglah, prediksi hanya berakhir sebagai prediksi. Untuk saat ini, Afrika tidak menjadi wilayah terburuk atas serangan Corona, bahkan jauh lebih baik dibandingkan Asia, Eropa, hingga Amerika. Dalam laporan World Economic Forum Juli lalu, penyebaran Corona di Afrika hanya berjumlah 1,5 persen dari total infeksi virus SARS-CoV-2 di seluruh dunia. Afrika hanya menyumbang 0,1 persen korban tewas akibat COVID-19. Di sisi lain, dalam laporan Alexander Winning untuk Reutersakhir September lalu, korban tewas akibat Corona di Afrika hanya berada di kisaran 2,4 persen dari total jiwa yang terinfeksi. Dengan total kematian telah mencapai angka 35.000 jiwa di seluruh dunia, rasio korban jiwa Afrika lebih baik dibandingkan Amerika Utara yang sebesar 2,9 persen, dan Eropa (4,5 persen).
Dalam perbandingan antar-negara, tatkala Ethiopia hanya menghasilkan rasio kematian akibat Corona sebesar 1,6 persen, Italia menghasilkan angka 11,6 persen. Serta 1,9 persen untuk Nigeria, dan 9,0 persen untuk Inggris.
Belajar dari Pengalaman
Ada dua kemungkinan mengapa angka korban Corona di Afrika kecil dibandingkan wilayah lain. Dari sisi negatif, pendeteksian Corona minim dilakukan di Afrika. Afrika Selatan, misalnya. Masih merujuk laporan Winning, antara Mei dan Juli, Afrika Selatan mengumumkan terdapat 17.000 kematian tambahan yang diakibatkan “faktor alamiah”. Masalahnya, pertambahan kematian yang diklaim sebagai faktor alamiah tersebut terlalu tinggi, 59 persen lebih banyak dari angka rata-rata kematian di Afrika Selatan. Mungkin, karena pendeteksian Corona minim, jumlah warga Afrika Selatan yang meninggal dunia itu diakibatkan oleh Corona yang tak dideteksi negara. Di seantero Afrika hingga bulan September lalu, baru 1,3 miliar warga yang memperoleh tes Corona. Angka ini, termasuk kecil dibandingkan wilayah lain dunia.
Lalu, coba lihat kembali bagian awal tulisan ini. Ya, kasus-kasus pertama Corona di Afrika berhubungan erat dengan konektivitas wilayah ini dengan Eropa. Tak hanya Eropa, dalam satu dekade terakhir, Afrika memiliki hubungan yang mesra dengan Cina, negeri tempat pertama kali munculnya Corona. Youyou Zhou, dalam paparannya di Quartz(28/7/2019), menyatakan kehadiran Cina di Afrika sangat menonjol saat ini. Banyak perusahaan Cina yang memenangkan proyek infrastruktur di Afrika. Bandar Udara di Kenya, Mali, Mauritius, Mozambique, Nigeria, Republik Kongo, Togo, hingga Sierra Leone dibangun oleh Cina. Karena kuatnya hubungan Cina-Afrika hari ini, konektivitas pun meningkat. Pada 2010, misalnya, hanya ada satu penerbangan langsung Cina-Afrika. Kini, ada delapan penerbangan Cina-Afrika. Saban tahun, 850.000 penumpang terbang dari Cina ke Afrika dan sebaliknya. Tercatat, ada 81.000 warga Afrika yang bersekolah di Cina dan dua juta warga Cina kini bekerja di Afrika.
Saking mesranya Afrika dan Cina, dalam laporan untuk Bloomberg(1/10/2019), Sheridan Prasso menunjukkan di sebagian negara Afrika istilah “negeri made in China” layak disematkan.
Dengan kenyataan ini, amat sukar mempercayai minimnya kasus Corona di Afrika sebagai prestasi. Namun, tentu saja, ada beberapa faktor positif yang mungkin menjadi sebab mengapa Afrika minim Corona. Faktor-faktor yang membuat Afrika memang layak tak dihantam terlalu keras oleh Corona. Salah satunya, Afrika merupakan wilayah yang cukup sering dihajar penyakit. Sebelum Corona menerjang, Afrika terus-terusan digempur polio, campak, Ebola, demam kuning, hingga influenza. Ini memang mengerikan, tetapi dengan cukup seringnya Afrika berhadapan dengan penyakit menular, ada kemungkinan mereka memiliki persiapan ekstra menghadapi potensi penyakit baru.
Matshidiso Moeti, Direktur Regional WHO untuk Afrika, mengatakan bahwa saking seringnya Afrika menghadapi wabah, masyarakat telah sadar dan selalu bersiap menghadapi penyakit baru. “Di 28 kota di Afrika, masyarakat dengan sukarela menerima pembatasan sosial untuk menghentikan laju Corona. Mereka telah siap dengan segala konsekuensinya,” tutur Moeti. Ini berbeda dengan sikap banyak warga Asia, Eropa, dan Amerika yang ngeyel dan gemar cari mati. Di Brunei Darussalam, misalnya, beberapa warga di sana asik menikmati terbang tanpa tujuan dalam program Dine and Fly yang digagas Royal Brunei Airlines, tanpa peduli bahaya Corona. Di Amerika Serikat, sebagian penduduk menyebut kebijakan lockdown yang dilakukan pemerintah sebagai kebijakan komunis.
Kesadaran warga Afrika atas penyakit dapat dilihat melalui persepsi terhadap vaksin. Data yang dikumpulkan Statista menyebut, di wilayah Afrika Timur, 92 persen penduduknya menyatakan bahwa mereka percaya bahwa vaksin memang penting untuk anak-anak. Wilayah-wilayah Afrika lain tak berbeda jauh. Di Afrika Utara, 85 persen penduduknya percaya pentingnya vaksin. Di Afrika Tengah (80 persen) dan Afrika Barat (87 persen). Bandingkan dengan wilayah di belahan dunia lain. Di Amerika Utara, hanya 74 persen penduduknya yang menganggap vaksin penting bagi anak-anak. Bahkan, di wilayah Asia Timur dan Eropa Barat, tempat di mana Jepang, Cina, Italia, Inggris berada, hanya 60 persen penduduknya yang menyatakan vaksin benar-benar penting.
Lalu, alasan lain yang mungkin menjadi sebab minimnya kasus Corona di Afrika adalah fakta bahwa di benua tersebut penduduknya didominasi kalangan muda. Sebanyak 62 persen populasi Afrika sub-Sahara berusia di bawah 25 tahun. Di sisi lain, di Eropa dan Amerika Utara, penduduk berusia di bawah 25 tahun hanya berjumlah 28 persen dari total populasi.
Artinya, meskipun meragukan, sangat mungkin daya hancur Corona di Afrika benar-benar terbatas karena benua ini memang memiliki kemampuan yang uniknya tak dimiliki Amerika, Eropa, dan Asia--benua-benua yang selalu mengklaim lebih unggul dari Afrika.
Editor: Windu Jusuf