tirto.id - Jepang adalah negara seribu fantasi. Tiga dekade silam, fantasi itu diwujudkan dalam bentuk robot yang diberi nama Gundam. Konsepnya sederhana: dunia terancam oleh kehadiran alien dan monster; hanya robot yang mampu menghadapi mereka.
Popularitas Gundam perlahan menanjak. Di Jepang, Gundam adalah bagian dari khazanah budaya pop. Bahkan, muncul sebuah keyakinan bahwa teknologi robot akan jadi kunci keselamatan dunia suatu hari nanti. Atau, setidaknya, robot bisa membantu mempermudah kehidupan umat manusia.
Keyakinan tersebut sedikit demi sedikit terpenuhi. Kendati tak berbentuk raksasa seperti halnya Gundam, teknologi robot punya tempat istimewa di tengah realitas teknologi masyarakat Jepang. Robot bisa diandalkan untuk mengurai sengkarut masalah yang dihadapi masyarakat, mulai dari kemacetan, pertanian, sampai ... susahnya mencari teman curhat.
Maret silam, mengutip pemberitaan The Verge, pihak penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 meluncurkan robot yang berfungsi membantu panitia dan peserta selama acara. Robot tersebut, Human Support Robot (HSR) dan Delivery Support Robot (DSR), dibuat oleh Toyota.
Robot ini berfungsi mengarahkan penonton ke tempat duduknya, memberikan informasi seputar olimpiade, hingga membawa makanan dan minuman. Rencananya, akan ada 16 robot yang ditempatkan di venue.
“Kami telah berusaha untuk menopang kehidupan sehari-hari orang banyak dan kami juga mampu mengembangkan robot yang dapat mendampingi orang dalam kesehariannya,” tegas Minoru Yamauchi, GM Toyota.
Harapannya Semua Urusan Beres
Penerapan teknologi robot merupakan bagian dari upaya Jepang untuk mewujudkan visi “Masyarakat 5.0”. Lewat visi ini, pemerintah Jepang ingin menciptakan model ekonomi baru dengan sepenuhnya melibatkan inovasi teknologi di bidang infrastruktur, keuangan, logistik, serta kecerdasan buatan (AI).
Robot mulai tren di Jepang pada pertengahan 1980-an, demikian tulis Tetsuji Yoshida dalam “A Short History of Construction Robots Research & Development in A Japanese Company” (PDF, 2006). Waktu itu, diperkirakan ada sekitar 200 purwarupa robot bikinan berbagai perusahaan. Beberapa di antaranya dapat berfungsi dengan baik, sementara lainnya gagal beroperasi.
Pengembangan robot berangkat dari alasan sederhana: memudahkan pekerjaan berat dalam konstruksi pembangunan sekaligus meminimalisir kecelakaan kerja. Implementasinya bisa dilihat di banyak bidang, mulai dari otomotif, ruang angkasa, hingga reaktor nuklir.
Sejumlah pengamat Barat memandang obsesi Jepang terhadap robot berakar dari pandangan khas agama Shinto bahwa setiap benda memiliki roh. Namun, bagi masyarakat Jepang sendiri, minat atas robot dipicu manga.
Dalam manga, robot acapkali digambarkan sebagai teman bermain anak-anak yang setia kawan, berani, adil, dan baik hati. Contohnya adalah karakter Astro Boy.
Budaya memang punya andil yang cukup penting dalam mendorong minat masyarakat Jepang terhadap robot. Tapi, di balik itu, catat Federasi Robot Internasional (IRF), terdapat pula faktor ekonomi dan sosial yang mendukung pengembangan robot.
Pada dekade 1980-an, industri otomotif di Jepang tumbuh pesat, menjadikannya sebagai pemain besar di dunia. Pelaku industri pun didorong beradaptasi, salah satunya dengan menerapkan teknologi robot. Kehadiran robot memungkinkan produsen otomotif Jepang untuk mengembangkan bisnisnya: membuka pabrik baru hingga ekspansi ke luar negeri.
Kontribusi robot makin dinilai dibutuhkan manakala Jepang kekurangan tenaga kerja. Setiap tahunnya, masih mengutip laporan IFR, populasi usia kerja terus menurun. Dari 1995 hingga 2017, total, penurunan populasi tenaga kerja mencapai 13 persen serta diprediksi bakal berlanjut di tahun-tahun mendatang.
Pengenalan robot dalam tiap pekerjaan, tulis Todd Scheneider, Gee Hee Hong, dan Anh Van Le dalam “Land of the Rising Robots” yang dipublikasikan Finance & Development (Vol. 55, No. 2, 2018), kemudian dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah ini. Permintaan akan robot di berbagai sektor pun meningkat, mulai dari manufaktur, kesehatan, pertanian, hingga infrastruktur.
Faktor-faktor di atas seketika berimbas pada ekonomi Jepang. Pada 2016, kapasitas produksi Jepang di bidang robot mencapai 153 ribu—angka tertinggi sepanjang sejarah. Setahun berselang, Jepang memegang 52 persen kendali pasar robot global.
Dari keseluruhan robot yang diproduksi, sekitar 115 ribu di antaranya diekspor ke negara lain, dengan nilai perdagangan mencapai $2,7 miliar. Sepanjang lima tahun, dari 2011 sampai 2016, tingkat ekspor naik tiga persen, yang semula 72 menjadi 75 persen. Negara tujuan ekspor robot dari Jepang meliputi Amerika Utara, Cina, Korea Selatan, dan Eropa. Prospek ekspor robot diprediksi masih berjalan positif sampai 2020. Bila perekonomian Jepang stabil, angka ekspor selama antara 2018 dan 2020 berada di angka lima persen.
“Jepang adalah negara yang sangat terobotisasi. Bahkan, pembuatan robot sendiri dilakukan oleh robot,” ungkap Presiden IFR, Joe Gemma.
Bisa Menimbulkan Masalah yang Kompleks
Penggunaan robot di Jepang yang cukup masif tak serta-merta selalu mendatangkan efek positif. Robot tak membuat Jepang kebal dari risiko sosial dan kesejahteraan, sebagai imbas dari peningkatan otomatisasi.
Dalam studi berjudul “Assessing the Impact of AI and Robotics on Job Expectations Using Japanese Survey Data” (2017), Masayuki Morikawa menyebutkan sekitar 30 persen koresponden penelitiannya percaya bahwa robot—dan AI—bakal menggantikan pekerjaan mereka. Berdasarkan kelas usia, kelompok yang lebih muda (20-30 tahun) cenderung merasa terancam oleh kehadiran robot.
Riset Hamaguchi Nobuaki dan Kondo Keisuke, “Regional Employment and Artificial Intelligence” (2017), menunjukkan pihak yang paling rentan terhadap eksistensi robot adalah tenaga kerja perempuan. Pasalnya, konsentrasi kerja perempuan di Jepang tidaklah tetap (sementara dan paruh waktu). Selain itu, pekerjaan mereka juga kerap berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya domestik—sehingga tak terlalu sulit bagi robot untuk menggantikannya.
Tak hanya mengancam populasi pekerja yang masih aktif, robot juga bisa mengubah tatanan sosial masyarakat Jepang. Dalam “Service Robots in Japan: An Ethical, Social, and Policy-Driven Analysis,” dijelaskan bahwa robot berpotensi diretas dan kemampuannya bisa digunakan untuk melawan masyarakat.
Karena robot dibentuk oleh jaringan software yang kompleks, ia jadi rentan terhadap kesalahan yang bisa mengakibatkan kecelakaan dan yang terburuk: kematian. Bila hal itu terjadi, tidak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.
Pada saat bersamaan, robot membuka diskursus tentang moral dan relasi antar-manusia. Sebagai contoh: etiskah jika anak diasuh oleh robot? Atau, bagaimana bila masyarakat Jepang menjadikan robot sebagai pasangan seksual?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa betapa pun banyak manfaatnya, robot belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat Jepang. Ini sejalan dengan riset bertajuk “Social Acceptance and Impact of Robots and Artificial Intelligence” (PDF, 2017) yang disusun Hiroyuki Nitto, Daisuke Taniyama, dan Hitomi Inagaki. Dalam riset itu dijelaskan bahwa angka penerimaan masyarakat Jepang terhadap robot masih rendah: 45 persen—10 persen di bawah Jerman (55 persen) dan 11 persen di bawah AS (56 persen).
Editor: Windu Jusuf