tirto.id - Gempa bumi kembali mengguncang Indonesia. Pada Kamis (11/10) dini hari kemarin, gempa berkekuatan magnitudo 6,3 mengguncang wilayah Jawa Timur dan Bali. Rilis Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyebutkan, episentrum gempa terletak di laut pada jarak 55 km arah timur laut kota Situbondo pada kedalaman 12 km.
Tidak ada potensi tsunami. Namun, kerusakan bangunan dilaporkan terjadi di sejumlah tempat. Kerusakan parah melanda Kecamatan Gayam, Kabupaten Semenep, Madura, Jawa Timur. Ratusan rumah rusak dan merenggut nyawa tiga orang.
Guncangan gempa yang terjadi selama 2 sampai 5 detik itu turut dirasakan cukup kuat di Situbondo, Jember, Malang, Surabaya, Sidoarjo, Jombang, Bondowoso, Probolinggo, Mojokerto, Pasuruan hingga Bali.
Melihat rentetan gempa dalam beberapa bulan terakhir yang menyebabkan kerusakan bangunan cukup parah, ada pola kesamaan dari jenis kedalaman gempa. Gempa Situbondo ada di kedalaman 12 km, gempa Lombok di kedalaman 15 km, dan gempa Palu di kedalaman 10km. Ketiga gempa masuk dalam kategori jenis gempa dangkal (shallow earthquake).
Aktivitas gempa bumi dapat terjadi di dekat permukaan tanah atau jauh di kedalaman. United States Geological Survey (USGS) menjelaskan, gempa bumi terjadi di lapisan mantel bumi di rentang kedalaman 0 sampai 700 km.
Rentang kedalaman gempa dibagi ke dalam tiga zona; gempa dangkal (0-70 km), gempa menengah (70-300 km) dan gempa dalam (300-700 km).
Dampak merusak gempa dangkal dapat disaksikan pada gempa Yogyakarta (2006), Pangandaran (2006), dan Ambon (2017). Dengan kedalaman 17,1 km berkekuatan 5,9 magnitudo, gempa itu membuat puluhan ribu rumah rusak berat. Gempa Ambon 2017 di kedalaman 10 km dengan kekuatan 6,2 SR yang membuat sebagian bangunan rusak. Gempa Pangandaran 2006 di kedalaman kurang dari 30 km berkekuatan 6,8 SR menyebabkan tsunami dan ratusan orang meninggal.
Di belahan dunia lain, gempa Italia (2016) berkekuatan 6,5 magnitudo di kedalaman empat sampai sembilan km menghancurkan tiga kota dan menewaskan ratusan orang. Gempa Myanmar (2011) berkekuatan 6,8 SR di kedalaman 10 km juga tercatat menewaskan ratusan orang dan melukai lainnya.
Gempa Dangkal Lebih Berbahaya
Menurut USGS, sebagian besar gempa bumi yang terjadi adalah gempa bumi yang berasal dari kedalaman dangkal. Dalam catatan rentetan gempa yang terjadi, sebagian besar gempa bumi dangkal punya efek yang merusak. Mengapa bisa demikian?
Faktor lokasi, jarak pusat gempa, dan kedalaman sangat mempengaruhi besar atau kecilnya daya guncang di permukaan. Gempa bumi dangkal cenderung merusak kendati magnitudo gempa tidak terlalu tinggi dan lokasinya dekat dengan permukaan tanah. Rasanya seperti ada ledakan di bawah kaki.
Gempa dalam berbeda karena gelombang seismik harus merambat berkilo-kilometer ke permukaan sehingga mengalami pengurangan energi.
Gempa dangkal adalah salah satu karakterisik gempa yang bersumber dari aktivitas pergerakan sesar aktif di darat. Sesar aktif tergolong sebagai sumber gempa bumi kerak dangkal (shallow crustal earthquake). Jika sesar aktif melintang di sepanjang permukiman padat, jumlah korban dan kerugian material akan sangat besar.
Dikutip dari GeoMagz yang dikelola Kementerian ESDM, sepanjang 2015, Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) mencatat telah terjadi sedikitnya 4.300 gempa bumi di Indonesia dengan besaran magnitudo lebih dari 3,5 SR. Dari ribuan gempa tersebut, sembilan di antaranya adalah gempa dangkal dengan daya rusak tinggi yang terjadi di daerah Banggai, Madiun, Membramo Raya, Sorong, Alor, Bantul, Halmahera Barat, Tarakan, dan Ambon,
Gempa Manggarai yang berkekuatan 7,1 SR sebetulnya masuk dalam kategori gempa dalam karena berpusat di 572 km bawah tanah. Namun, daya rusaknya tak kalah dengan gempa dangkal.
Dalam situasi dan karakteristik tempat tertentu, efek dari gempa dalam sama saja dengan gempa dangkal. Ini bisa terjadi karena tanah di daerah yang dihantam gempa tersusun oleh endapan kuarter dengan sedimen lunakm sehingga gelombang gempa di permukaan tanah bertambah kuat.
Secara umum, gempa bumi terjadi di lapisan litosfer yang dihuni lempeng-lempeng tektonik. Gempa dapat terjadi ketika lempeng samudera mendesak turun ke mantel bumi dari batas lempeng konvergen, dan lempeng samudera yang padat bertabrakan dengan lempeng benua yang kurang padat.
Kontak fisik antar kedua lempeng itu biasanya menghasilkan gempa yang sangat kuat di suatu zona subduksi dangkal (ini termasuk karakteristik gempa-gempa megathrust). Contohnya adalah gempa Sumatra 2004 yang berkekuatan 9,1 magnitudo dan gempa Jepang (2011) yang berkekuatan magnitudo 9. Kedua gempa disebabkan oleh aktivitas tektonik di kedalaman sekitar 60 km (gempa dangkal).
Lantas, apakah gempa dangkal yang terjadi di daratan mampu memicu tsunami di lautan? Geolog Australia, Jane Cuneen dan Phil R. Cummins dalam artikelnya yang terbit di The Conversationpada Agustus 2018 menyebutkan, gempa yang bersumber dari sesar di daratan bisa menyebabkan longsor di bawah laut sehingga memicu gelombang tsunami.
Begitu pula dengan jenis gempa dangkal yang di lautan yang sama-sama memiliki potensi tsunami besar.
Menurut SMS Tsunami Warning, gempa bumi dangkal berkekuatan besar yang terjadi di garis patahan samudra lebih mungkin menghasilkan gelombang tsunami. Tabrakan lempeng tektonik di garis patahan dapat berupa gerakan saling melewati, miring, mengimbangi atau bahkan menggusur area dasar laut. Perpindahan formasi dasar laut yang mendadak dan cukup besar inilah yang akhirnya mengganggu permukaan air samudra dan membentuk gelombang tsunami.
Skala MMI (Modified Mercalli Intensity) dipakai untuk mengukur tingkat kerusakan akibat gempa. Namun, kekuatan gempa tidak juga selalu berbanding lurus dengan besarnya skala MMI, karena pusat dan kedalaman gempa akan sangat mempengaruhi tingkat getaran yang dirasakan di permukaan.
Pengukuran kedalaman gempa dilakukan dengan pendeteksian oleh stasiun seismik. Persebaran dan kedekatan stasiun seismik dari episentrum gempa sangat mempengaruhi akurasi pengukuran kedalaman gempa.
Di Indonesia, stasiun seismik berada di bawah naungan BMKG. Dalam peta jaringan stasiun seismik, ada enam jenis stasiun seismik berdasarkan kepemilkan. Mulai dari milik Jepang, Jerman, Cina, dan negara-negara lainnya.
Editor: Windu Jusuf