Menuju konten utama

Mengapa Efikasi Sinovac Indonesia Lebih Rendah dari Turki & Brasil?

Efikasi vaksin Sinovac yang dipakai mulai hari ini terendah dibanding Turki dan Brasil. Mengapa bisa demikian?

Mengapa Efikasi Sinovac Indonesia Lebih Rendah dari Turki & Brasil?
Seorang pasien menunjukkan kartu vaksinasi COVID-19 saat simulasi pemberian vaksin COVID-19 Sinovac di Puskesmas Kelurahan Cilincing I, Jakarta, Selasa (12/1/2021). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

tirto.id - Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memberikan Emergency Use Authorization (EUA) atau izin pakai darurat untuk vaksin COVID-19 merek Sinovac. Presiden Joko Widodo dijadwalkan disuntik vaksin tersebut hari ini (13/1/2020), sekaligus menandakan dimulainya vaksinasi massal COVID-19.

Izin edar dikeluarkan berdasarkan data uji fase tiga di Bandung. “Hasil analisis terhadap efikasi vaksin CoronaVac [vaksin produksi Sinovac] dari uji klinis di Bandung menunjukkan 65,3 persen,” kata Kepala BPOM Penny Lukito dalam siaran pers daring, Senin (11/1/2020) lalu.

Efikasi adalah kemampuan vaksin untuk memberikan manfaat bagi individu yang diberikan imunisasi. Dengan kata lain, kata Penny, vaksin ini mampu untuk menurunkan kejadian penyakit COVID-19 hingga 65,3 persen.

Vaksin Sinovac juga dipakai di banyak negara lain dengan efikasi beragam. Efikasi di Turki mencapai 91,25 persen, sementara di Brasil 75 persen.*

Penny mengatakan perbedaan tingkat efikasi dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya jumlah subjek yang diteliti dan profil subjek. Uji klinik fase tiga di Bandung dilakukan terhadap 1.600 subjek dengan profil beragam. Penny bilang jumlah itu jauh lebih sedikit dibanding dua negara lain. Uji di Turki dilakukan terhadap 7.000 subjek, sementara di Brasil 13 ribu subjek.

“Kemudian di Brasil dan Turki profil subjek mereka fokus pada tenaga kesehatan. Ditambah di Brasil itu pandeminya sangat intensif sekali. Dan mungkin dikaitkan dengan kedisiplinan mereka memakai masker berbeda dengan di Indonesia,” ujarnya lewat siaran pers, Jumat (8/1/2020).

Terlepas dari efikasi paling rendah dibanding dua negara lain, ia menjamin semua tahapan uji telah dilakukan dengan metode yang saintifik.

Guru Besar Farmakologi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati menjelaskan kepada reporter Tirto, Selasa (12/1/2021), bagaimana cara menghitung efikasi vaksin.

Misalnya uji dilakukan terhadap 1.600 subjek. Penguji bakal membagi mereka ke dalam dua kelompok sama banyak: kelompok subjek yang diberi vaksin dan kelompok yang diberi vaksin kosong (plasebo). Dari sana kemudian dihitung antara tingkat risiko terjangkitnya penyakit kelompok plasebo dikurangi tingkat risiko terjangkitnya penyakit kelompok yang divaksinasi, lalu dibagi tingkat risiko terjangkitnya penyakit kelompok plasebo.

Jika dari kelompok yang divaksin ada 26 yang terinfeksi COVID-19, persentasenya sebesar 3,25 persen; sedangkan dari kelompok plasebo ada 75 orang yang terinfeksi COVID-19 dan persentasenya 9.4 persen. Maka dapat dihitung efikasi vaksin adalah = (0.094 – 0.0325)/0.094 x 100% = 65,3 persen.

Angka efikasi ini memang dipengaruhi berbagai faktor, di antarnya tingkat risiko infeksi tempat uji, karakteristik subjek uji, sampai pola kesehatan masyarakat.

Apabila subjek ujinya adalah kelompok risiko tinggi, maka kemungkinan kelompok plasebo akan lebih banyak yang terpapar sehingga perhitungan efikasi menjadi meningkat.

Dalam uji klinik di Brasil, subjek merupakan tenaga kesehatan yang memiliki risiko tinggi sehingga efikasi yang diperoleh lebih tinggi. Sementara di Indonesia subjek merupakan masyarakat umum yang risikonya lebih kecil.

Tidak Ideal

Meski ada alasan jelas mengapa efikasi di Indonesa lebih rendah, tetap saja Zullies beranggapan itu tak cukup. Bukan soal persentase, tapi jumlah subjek yang diteliti sehingga mencapai angka efikasi sekarang. Zullies mengatakan 1.600 subjek itu terlampau sedikit dan hanya dilakukan di satu daerah.

“Mengapa hanya di Bandung? Saya belum tahu alasannya, mungkin ke arah teknis dan perlu cepat. Tapi akan lebih baik kalau mereka membuka center lain di Jakarta, Surabaya, atau Yogyakarta,” kata Zullies melalui sambungan telpon. “Paling tidak tiga atau empat kali lipat dari [subjek] yang sekarang karena harus bisa multi center.”

Menurut ahli mikrobiologi Ahmad Rusdan Handoyo, sedikitnya subjek menjadi pertanyaan di kalangan ilmuwan. “Saya hanya menduga, dukungan dana untuk Biofarma terbatas, entah benar atau tidak,” kata Ahmad kepada reporter Tirto, Selasa.

Alasan mengapa perlu multi center adalah agar lebih proporsional, apalagi faktanya pertambahan kasus COVID-19 di Indonesia per hari sudah mencapai 8.000-9.000.

“[Uji] di Bandung terjadi hanya pada satu kelompok saja, tidak terlalu beragam dari segi ras. Jadi sebenarnya itu tidak ideal. Untuk mencapai ideal itu agak sulit karena harus puluhan ribu orang,” kata Associate Professor dan ahli kimia-farmasi dari Universiti Putra Malaysia Bimo Ario Tejo melalui sambungan telepon, Selasa.

Untuk mencapai ideal itu menurutnya sangat tidak mudah, apalagi di situasi pandemi. Mereka yang menjadi subjek dalam uji tahap tiga harus dimonitor antibodinya, padahal di sisi lain tenaga kesehatan saat ini kondisinya semakin kelelahan.

Oleh sebab itu menurutnya uji di Bandung yang menunjukkan efikasi 65,3 persen sudah sangat baik, tidak perlu dipersoalkan, dan “tetap masih bisa dilakukan.” Angka itu sudah di atas persyaratan WHO yakni di atas 50 persen.

==========

Catatan 13 Januari pukul 13.20:

Setelah naskah ini tayang, Brasil mengumumkan efikasi Sinovac pada tahap akhir 50,38 persen, jauh di bawah angka awal yang diumumkan pada pekan lalu.

Para peneliti dari Butantan Institute yang melakukan uji klinis tahap tiga memperoleh angka efikasi 70 sekian persen setelah memasukkan subjek dengan indikasi kasus ringan, sedang, dan parah termasuk tenaga kesehatan yang telah disebutkan di atas. Bloomberg melaporkan, persentase efikasi terbaru yang lebih rendah--tapi tetap memenuhi ambang batas yang ditetapkan WHO--menurun setelah subjek dengan indikasi kasus sangat ringan juga dihitung.

Subjek dengan kategori sangat ringan berarti mereka yang terinfeksi tapi tidak membutuhkan penanganan medis.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino