tirto.id - Saat menyebut nama “ISIS”, para tokoh agama, politisi dan aparat keamanan kita begitu gaduh menunjukkan rasa kekhawatirannya, menganggap simpatisan ISIS di Indonesia adalah ancaman yang begitu nyata. Keresahan itu memang beralasan. “Ketidaktahuan” sel-sel pergerakan ISIS di dunia nyata mereka sebagai ancaman menakutkan.
Di Indonesia, eksistensi pendukung ISIS memang hanya terlihat di dunia maya. Para jihadis sosmed ini tak takut untuk mendukung ISIS secara terang-terangan. Mereka akan menghantam siapapun yang melecehkan Kekhilafahan Abu Bakar Al-Baghdady. Namun, kadar kefanatikan mayoritas dari mereka itu bisa dikatakan masih dalam tahap rendah.
Patut kita pertanyakan seberapa seriuskah baiat mereka untuk mengabdi kepada Al-Baghdady? Alih-alih mengikuti perintah “Sang Khalifah” untuk hijrah ke wilayah kekuasaan kekhilafahan, mereka lebih memilih tinggal di Indonesia berjihad lewat sosmed ketimbang angkat senjata membela sang khilafah di dunia nyata.
Hal ini dibuktikan dengan betapa sedikitnya jihadis-jihadis asal Indonesia yang berjuang dengan ISIS di Irak dan Suriah. Data Soufan Group, hampir 25 persen dari keseluruhan tentara ISIS, atau 20.000 orang adalah jihadis asing.
Anehnya Asia Tenggara, khususnya Indonesia hanya mengimpor sedikit orang. Pada 2015 lalu, Kementerian Luar Negeri memprediksikan ada sekitar 518 WNI di Suriah, sedangkan angka dari Sofwan Group berkisar 700-an orang.
Satu hal yang pasti tidak semua WNI ini datang ke Suriah untuk membela ISIS, ada yang datang sebagai relawan kemanusiaan, ada pula yang sengaja angkat senjata tapi bergabung dengan kelompok Jabhat Al-Nusra – sempalan Al-Qaidah di Suriah.
Prediksi dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyebut tidak semua WNI yang pergi membela ISIS itu datang untuk berjuang karena hampir 40 persen dari mereka adalah adalah perempuan dan anak-anak di bawah usia 15. Mereka dibawa suami atau ayahnya untuk hidup di dalam wilayah “naungan khilafah”.
Angka-angka ini tentu amat sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara muslim lain, misalkan seperti Arab Saudi, Turki, Al Jazair Mesir dan Yordania.
Jika merunut sejarah keikutsertaan WNI dalam konflik negara lain, angka di Suriah ini juga kalah jauh jika dibandingkan dengan jumlah WNI dalam konflik Afghanistan melawan Uni Soviet pada dekade 80-an. Kala itu ada sekitar 2000 – 5000 WNI yang berjuang bersama Taliban di Afghanistan. Jumlah WNI berjuang bersama ISIS yang kurang dari 1.000 orang ini tentu bertolak belakang dengan pandangan ulama karismatik dikalangan jihadis, Abu Bakar Ba’asyir yang sempat menyebut status Suriah sama seperti Afghanistan sebagai “Universitas jihad”.
Lantas, kenapa begitu sedikit WNI yang mau berjuang bersama ISIS di Suriah?
Pada bulan November 2015, New York Times menerbitkan sebuah artikel menjawab pertanyaan ini. Jawaban itu mengarah pada peran besar organisasi-organisasi islam meng-counter paham-paham radikal ISIS. Dan yang punya peran besar ini adalah organisasi Nahdatul Ulama dengan simpatisannya yang mencapai 50 juta orang.
Jawaban ini tentu tidak sepenuhnya benar. Sidney Jones, direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik, menilai pembentengan yang dilakukan oleh NU memang bagus, namun pencegahan itu hanya dilakukan terhadap kalangan NU sendiri. Alasannya, banyak mereka yang direkrut oleh ISIS kebanyakan bukanlah berasal dari NU.
Di sinilah peran organisasi-organisai Islam lain hadir, entah itu Muhammadiyah, Persatuan Islam ataupun organisasi garis keras macam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Hampir seluruh organisasi islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sepakat untuk menolak ideologi ISIS.
Posisi Al-Baghdady yang berseberangan dengan Ayman Al-Zawhiri, pemimpin Al-Qaeda membuat faksi jihadis di Indonesia terbagi jadi dua. Posisi ISIS yang semakin dipojokkan ditambah tindakan-tindakan brutal mereka membuat para jihadis ini memilih berseberangan dengan ISIS dan menjadi simpatisan Jabhat Al Nusra dalam konflik di Suriah.
Dikutip dari The Atlantic, Sydney memberikan jawaban lain yang masuk akal kenapa ISIS tidak begitu laku di negeri ini. “Indonesia adalah negara yang tidak memiliki pemerintahan yang represif, tidak di bawah pendudukan. Politik di sini teramat stabil, jadi tidak ada kerusuhan sosial atau konflik, dan tidak ada penindasan terhadap kaum muslim,” katanya.
Analisa ini ada benarnya jika merujuk pada negara-negara lain pengimpor milisi bagi ISIS seperti Arab Saudi dan Yordania (represif secara politik), Turki, Mesir, Tunisia dan Libia (kondisi politik yang tidak stabil), serta Rusia dan Prancis yang diskriminatif terhadap minoritas muslim.
Indonesia bukanlah negara yang 100 persen sekuler. Di sini, kepentingan politik bagi kaum muslim bisa diakomodir. Partai-partai islam pun terlibat dalam pemerintahan. Aturan-aturan yang berkaitan dengan hukum syariah bisa diterapkan.
Faktor kebebasan berekspresi di Indonesia jadi sebab lain paham-paham radikal ISIS bisa diredam. Untuk apa capek-capek menggunakan kekerasan jika diplomasi secara baik-baik bisa dilakukan. Ekses dari ini yang membuat di Indonesia kini banyak muncul kalangan islam moderat.
Sementara itu, Jonathan Tepperman, managing editor dari Foreign Affair menyebut pendekatan lunak presiden Joko Widodo jadi penyebab lain. Sebagai mantan Walikota Solo, Jokowi punya pengalaman untuk melunakan para jihadis di Pesantren Nguruki dengan cara halus, yakni dengan diplomasi.
Jika mengacu jumlah penangkapan aktivis kanan oleh Densus 88, jumlah kasus penangkapan di era Jokowi cenderung turun ketimbang di era Megawati ataupun Susilo Bambang Yudhoyono. “Jokowi mengingatkan kita bahwa untuk mengatasi terorisme ada banyak cara, tidak hanya lewat tindakan militer tapi juga membenahi ketahanan sosial,” kata Tapperman.
Dia memuji ucapan Jokowi yang tidak mengkhawatirkan ISIS dan malah mengatakan "Untuk menghadapi radikalisme dan ekstremisme, kita perlu berurusan dengan kesenjangan ekonomiI”
Tapperman menyadari pemikiran Jokowi bahwa penindasan hanya akan melahirkan lebih ekstremisme. Tidak hanya itu, Indonesia pun dipuji sukses melakukan program deradikalisasi pada individu-individu yang pernah ditangkap. Pujian ini diakui oleh lembaga Combating Terrorism Center yang dikelola militer AS.
Kesimpulannya adalah kesuksesan Indonesia membendung paham ISIS terjadi karena banyak hal, mulai dari pendekatan lunak yang dilakukan Jokowi, kompaknya organisasi-organisasi islam, tumbuh suburnya kalangan islam moderat hingga keberuntungan segregasi yang terjadi antara ISIS dan Al-Qaeda.
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani