Menuju konten utama

Mengangkat Harkat Lulusan SMK

Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih menyumbang angka pengangguran tertinggi di Indonesia. Padahal, mereka seharusnya menjadi lulusan paling produktif karena dipersiapkan langsung masuk dunia kerja selepas sekolah.

Mengangkat Harkat Lulusan SMK
Sejumlah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan wawancara singkat di salah satu stan lowongan kerja pada Job Matching SMK se-Sumatera Selatan di aula SMK Negeri 3 Palembang, Sumsel. [ANTARA FOTO/ Feny Selly]

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak mampu menutupi kegusarannya melihat tingginya pengangguran dari SMK. Di tengah besarnya angkatan kerja di Indonesia, besarnya pengangguran lulusan SMK tentunya memunculkan beban tersendiri. Ini karena angkatan yang diharapkan siap ke dunia kerja ternyata tak berkutik melawan persaingan.

Melihat kondisi ini, Presiden Jokowi pun memerintahkan adanya perombakan dalam sistem pendidikan dan pelatihan vokasi ke arah demand driven. Dengan demikian, kurikulum, materi pembelajaran, praktik kerja, pengujian, dan sertifikasi bisa sesuai dengan permintaan dunia usaha dan industri.

“Kita harus mampu membalikkan piramida kualifikasi tenaga kerja yang saat ini mayoritas masih berpendidikan SD-SMP menjadi sebuah tenaga kerja yang terdidik dan terampil,” tutur Presiden Jokowi, Selasa (13/9/2016).

Pemerintah sebelumnya memang pernah beriklan besar-besaran untuk menarik minat siswa masuk SMK. Tujuannya, membuat angkatan kerja yang siap masuk ke dunia kerja. Pada 2009, Departemen Pendidikan Nasional (Kini Kemendikbud) gencar mengeluarkan iklan “SMK Bisa”.

“SMK bisa! Siap kerja, Cerdas dan kompetitif.” Begitu jargon pemerintah tentang SMK yang diluncurkan beberapa tahun silam.

Sayangnya, jargon itu lambat laun menghilang. Gembar-gembor soal SMK menciptakan lulusan siap kerja sudah sepi. Seiring dengan itu, jumlah pengangguran lulusan SMK malah terus meningkat. Pemerintah tidak berhasil melakukan sinkronisasi antara lulusan SMK dengan dunia kerja.

Pengangguran SMK Meningkat

Lulusan SMK memang masih dianggap sebelah mata. Gengsinya dianggap lebih rendah jika dibandingkan dengan lulusan SMA. Itulah mengapa minat siswa masuk SMK masih lebih rendah. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan, jumlah siswa SMA lebih besar dibandingkan SMK. Untuk tahun ajaran 2015/2016, jumlah siswa SMA sebanyak 4.442.835 siswa, sementara SMK 4.419.423 siswa.

Kurangnya minat siswa salah satunya karena ada anggapan bahwa lulusan SMK sulit mendapatkan pekerjaan yang baik. Level pekerjaannya dianggap kurang bergengsi untuk kaum muda. Data ILO menunjukkan, jumlah angkatan kerja dari SMA lebih banyak jika dibandingkan SMK. Pada tahun 2014, jumlah angkatan kerja lulusan SMA mencapai 20,5 juta, SMK hanya 11,8 juta orang.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, jumlah pengangguran lulusan SMK ternyata lebih besar jika dibandingkan lulusan SMA. Dalam tiga tahun terakhir, tingkat pengangguran SMK menunjukkan tren meningkat. Pada Agustus 2012 pengangguran tingkat SMK hanya 9,87 persen. Setahun kemudian, angkanya melonjak jadi 11,19 persen, dan meningkat lagi jadi 11,24 persen per Agustus 2014.

Bandingkan dengan tingkat pengangguran SMA yang kenaikannya hanya tipis. Pada Agustus 2012, jumlah pengangguran SMA hanya 9,6 persen. Setahun kemudian angkanya meningkat menjadi 9,74 persen, dan turun menjadi 9,55 persen pada Agustus 2014.

Kelesuan Ekonomi

Banyaknya pengangguran dari lulusan SMK ini kemudian dikaitkan dengan kelesuan ekonomi. "Ini karena ekonomi melambat, sehingga terjadi peningkatan pengangguran," kata Kepala BPS Suryamin, ketika merilis data tentang pengangguran pada 2015 lalu.

Jika merunut data resmi pemerintah, maka pernyataan Kepala BPS dan Mendikbud ini sepertinya ada benarnya. Terhitung sejak 2012 hingga 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami pelemahan. Pada saat yang sama, jumlah pengangguran dari SMK terus meningkat.

Salah satu jalan keluar untuk mengatasi masalah ini adalah dengan melakukan sinkronisasi antara kebutuhan dan lulusan. Untuk itu, Presiden Jokowi menekankan perlunya melibatkan dunia usaha untuk menampung para lulusan SMK itu.

“Ini yang paling penting, saya kira harus melibatkan dunia usaha dan industri karena mereka lebih paham kebutuhan tenaga kerja yang fokus pada pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sektor-sektor unggulan, seperti maritim, pariwisata, pertanian, ekonomi kreatif,” kata Presiden Jokowi.

Presiden menegaskan, semuanya harus terintegrasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan vokasi ini, mulai dari SMK, kursus-kursus di BLK (Balai Latihan Kerja), sampai pada aturan-aturan yang mempermudah pembukaan sekolah-sekolah keterampilan swasta.

Perubahan ini sangat penting mengingat era persaingan antarnegara kini semakin sengit. Dengan kekuatan angkatan muda yang mencapai 60 persen, Indonesia seharusnya memiliki keunggulan.

“60% dari penduduk Indonesia itu anak muda, ini kekuatan kalau kita bisa mengelola, kalau kita bisa memanfaatkan dari potensi kekuatan ini,” tegas Presiden Jokowi.

Angka yang besar ini diyakini Presiden akan menjadi potensi penggerak produktivitas nasional, apabila bisa disiapkan mulai dari sekarang. Namun sebaliknya, jika tidak disiapkan dengan baik akan menjadi potensi masalah, utamanya terjadi lonjakan pengangguran di usia muda.

Lulusan SMK yang tidak berkualitas tentu menjadi masalah tersendiri. Apalagi ada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang memungkinkan aliran barang dan jasa secara bebas. Untuk itu, kualitas adalah harga mati bagi lulusan SMK yang akan memasuki dunia kerja.

Baca juga artikel terkait PENDIDIKAN atau tulisan lainnya dari Nurul Qomariyah Pramisti

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti