Menuju konten utama

Mengajak si Kecil ke Bioskop

Tak semua film superhero boleh ditonton oleh anak-anak. Namun, bagaimana jika anak Anda ingin menontonnya?

Mengajak si Kecil ke Bioskop
Ilustrasi orang tua mengajak anaknya menonton bioskop. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Suasana studio 1 bioskop di Depok Town Square masih padat pada pukul 21.45 hari Imlek lalu. Selain karena tanggal merah, film yang ditayangkan kali itu juga merupakan salah satu film keluaran Marvel-Disney yang tengah dinanti: Black Panther. Kendati berlabel 17+, masih terlihat anak-anak sekitar usia SD yang menduduki bangku-bangku studio bersama orangtuanya.

Di pengujung cerita, terdapat adegan sang tokoh utama, T’challa, mencium mantan kekasihnya, Nakia. Seorang bocah yang duduk di baris tengah tampak menutup matanya, sementara pandangan seorang bocah lain yang duduk di sebelahnya dihadang dengan tangan orangtuanya.

“Sudah belum?” tanya si anak, merujuk pada akhir adegan mesra yang sedang ditayangkan.

Meskipun LSF telah mencantumkan label-label usia untuk film-film yang diputar di Indonesia, tidak semua orangtua membatasi tayangan-tayangan yang dikonsumsi anak-anak mereka sesuai dengan rekomendasi usia yang dibuat lembaga sensor tersebut. Macam-macam alasan bisa mendasarinya, dan salah satu faktor yang memperbesar peluang anak untuk menyaksikan tayangan dengan label apa pun adalah kelonggaran pihak bioskop dalam meregulasi siapa saja yang bisa menonton film berlabel dewasa.

Kendali atas paparan film bioskop tidak sesuai umur anak mau tidak mau dikembalikan ke orangtua. Bukan hanya konten film saja yang patut menjadi bahan pertimbangan, tetapi juga kenyamanan si anak sendiri ketika pertama kali diajak ke bioskop.

Menurut Elizabeth Wahyu Margareth Indira, M.Pd., Psi, psikolog di Lembaga Psikologi Terapan Talenta, Semarang, kurang tepat bila orangtua mengajak anak usia balita pergi ke bioskop. Pasalnya, anak dalam tahap usia tersebut belum memiliki kemampuan abstraksi sebagaimana orang dewasa.

Aspek lingkungan juga menjadi pertimbangan lain saat mengajak anak usia dini ke bioskop. “Ada macam-macam faktor yang berpengaruh terhadap kenyamanan si anak. Contohnya ruangan gelap atau suara yang menggelegar. Anak balita kan sensitif, bisa saja karena suara keras, dia merasa tidak nyaman,” ungkap perempuan yang akrab dipanggil Ira ini kepada Tirto.

Pengalaman Laras sejalan dengan pendapat Ira. Ibu seorang putri berusia 6 ini mengatakan, saat pertama kali diajak ke bioskop, si kecil tampak tidak nyaman karena sensitif dengan suara. Kondisi putri Laras membuatnya memilih bioskop tertentu yang level gaungnya lebih bisa ditoleransi anak.

Ada juga pengalaman ibu lain yang menghadapi anak tidak nyaman di bioskop. Ginmarda pertama kali mengajak si kembar ke bioskop saat mereka berusia 3 tahun.

“Ayana dan Khansaa sudah pernah kuajak nonton Kungfu Panda, Moana, Doraemon, Finding Dory, dan semuanya failed. Mereka rewel, enggak mau duduk sendiri karena mereka ketutupan bangku di depannya dan enggak bisa menonton dengan nyaman,” papar Ginmarda.

Ia juga bercerita, si kembar sempat merasa bosan di studio sehingga mengajaknya melakukan kegiatan lain seperti jalan-jalan di sekitar bioskop. Pernah pula si kecil menangis di bioskop karena bosan dan merengek minta pulang.

Namun, pengalaman menghadapi anak rewel di bioskop tidak membuat para ibu ini menyerah mengajak mereka menyaksikan film layar lebar. Ginmarda masih mengajak si kembar menonton di bioskop, dan baru saat menyaksikan Coco, anak-anaknya bisa dengan tenang menikmati film yang diputar.

Strategi dan Keuntungan Mengajak Anak ke Bioskop

Selain menyortir film-film yang patut ditonton anak, orangtua juga perlu mempertimbangkan durasi film. Tidak semua anak bisa menaruh fokus lama terhadap sesuatu.

Proses adaptasi di tempat baru pada setiap anak berbeda-beda. Untuk anak-anak yang sulit beradaptasi, proses pengenalan bioskop mesti bertahap. Dalam durasi dua jam pemutaran film, orangtua bisa mengajak anak setiap setengah jam bila si anak kelihatan tidak nyaman. “Tanyakan kepada anak apakah ia ingin masuk lagi atau tidak saat mengambil jeda seperti ini,” kata Ira.

Adanya potensi ketidaknyamanan anak untuk berlama-lama di bioskop mendorong perusahaan bioskop Cinepolis untuk membuat Cinepolis Junior. Dilansir LA Times, mulai tahun 2017, studio ramah anak yang mereka kreasikan beroperasi di teater Pico Rivera dan Vista, AS. Bukan hanya dekorasi warna-warni saja yang menjadi pembeda dengan bioskop lain, mereka juga menempatkan kursi beanbag yang nyaman dan arena bermain bak playground di studio.

Terkait konten film, bila anak menyaksikan film yang memuat adegan kekerasan atau mesra, orangtua sebaiknya memberi penjelasan terlebih dulu bahwa yang mereka saksikan hanyalah fiktif belaka. “Orangtua juga bisa mengajak anak menonton behind the scene sebuah film supaya anak mengerti bahwa adegan kekerasan yang disaksikan bukan tindakan menyakiti sungguhan,” saran Ira.

Penjelasan lebih lanjut mengenai konsep kompleks seperti kematian dan perpisahan juga bisa disampaikan orangtua kepada anak usia dini. Misalnya, ketika putri Laras menyaksikan adegan pembunuhan dalam film superhero, ia akan menjelaskan bahwa tidak selamanya manusia baik kepada sesamanya. Soal adegan pembunuhan, Laras tetap menekankan kepada putrinya bahwa hal tersebut tidak boleh dilakukan di kehidupan nyata.

Nilai-nilai dalam film ini merupakan hal positif yang dipotret Ira. Orangtua tak harus selalu mengajarkan soal moralitas secara verbal. Lewat film, mereka bisa mengedukasi anak secara implisit.

Selain menyoroti sisi edukatif film, Ira juga menambahkan hal positif lain yang bisa diperoleh dengan mengajak anak ke bioskop. Orangtua bisa melatih mereka berdiskusi tentang konten film seperti dengan menanyakan, “Menurut kamu, adegan [kekerasan] kayak gitu boleh nggak dilakukan?” Dengan begini, orangtua tidak hanya mendikte anak mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan, tetapi juga bisa menggali pendapat anaknya sendiri.

infografik anak nonton bioskop

Menonton Film di Luar Cakupan Usia

Tidak jarang anak meminta orangtua membawanya menonton film superhero yang berlabel di atas usianya. Bila hal ini diminta oleh putrinya, Laras biasanya menanyakan terlebih dulu alasan sang putri ingin menonton hal tersebut. Walau demikian, keputusan tetap dipegang orangtua, apalagi bila film tersebut memuat kekerasan dalam porsi besar.

Riset kecil tentang konten film memang merupakan hal tidak terhindarkan bila orangtua ingin mencegah paparan konten negatif bagi anak atau munculnya kebosanan saat menonton.

Ginmarda terbiasa melihat trailer film yang akan ditonton terlebih dulu bersama anak sebelum pergi ke bioskop. “Contohnya, kemarin aku ngajakin anak-anak nonton trailer Peter Rabbit di Youtube. Karena mereka bilang nggak suka, kami nggak jadi nonton film itu.” Selain itu, Ginmarda juga berteguh tidak mengajak anak menonton film yang tidak berlabel semua umur.

Kendati membawa anak usia dini ke bioskop kerap mendatangkan PR bagi orangtua, mulai dari anak rewel sampai hambatan kesiapan anak untuk menerima pesan dalam film, tidak berarti sikap pukul rata bagi semua anak patut dilakukan. Saat putrinya rewel di bioskop, Laras tidak pernah mendapatkan teguran dari penonton di sekitar karena si anak berinisiatif mengatakan ingin keluar.

“Anak saya aspek verbalnya cukup melesat, jadi bisa mengekspresikan apa yang dia mau. Biasanya, anak yang rewel itu punya kendala dalam menyampaikan apa yang dia rasakan atau mau,” jelas Laras.

Perkara mengizinkan anak menonton film tertentu bisa mendatangkan pendapat berbeda-beda didasari pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menurut Ira, biasanya kemampuan abstraksi anak baru muncul sekitar umur 10. Namun, pengalaman Laras menunjukkan hal berbeda.

Ia mengatakan bahwa putrinya tidak kesulitan menangkap pesan dalam adegan perpisahan atau kematian yang ada di film. “Habis menonton, saya jelasin soal konsep-konsep itu. Pada kesempatan lain, saya juga suka menjelaskan dengan apa adanya tentang kematian, perpisahan, relasi antarmanusia dan dengan binatang,” paparnya.

Baca juga artikel terkait BIOSKOP atau tulisan lainnya dari Patresia Kirnandita

tirto.id - Film
Reporter: Patresia Kirnandita
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Maulida Sri Handayani