tirto.id - Penurunan permukaan tanah di DKI Jakarta jelas tak bisa dianggap enteng. Berdasarkan kajian dari Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), rata-rata penurunan muka tanah di Ibu Kota mencapai 7,5 cm per tahun. Bahkan di beberapa wilayah seperti Pluit penurunannya dapat mencapai 18 cm per tahun.
Penurunan permukaan tanah, kata Bappenas, telah terjadi sejak 1975 lalu.
Fenomena ini disebabkan beberapa hal. Misalnya karena ekstraksi air tanah yang berlebihan, juga beban bangunan yang kelewat berat.
Ada begitu banyak kerugian dari penurunan muka tanah. Dari mulai banjir dan rob, rusaknya infrastruktur dan gedung/bangunan, hingga berkurangnya kualitas hidup dan lingkungan. Penurunan permukaan tanah juga membawa dampak tidak langsung, misalnya menurunkan laju pertumbuhan ekonomi.
Singkatnya, jika tak ditangani dengan cepat dan tepat, hal-hal seperti ini akan terjadi dan semakin sering (misalnya banjir dan rob). Jika laju penurunan tak dihambat, Bappenas memperkirakan 35 persen wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan laut pada 2050.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jelas paham masalah ini. Pada Rabu (16/1/2019), ia bahkan mengatakan penurunan permukaan tanah adalah "salah satu masalah lintas generasi yang harus ditangani serius dan [dalam] jangka panjang."
Lantas, apa yang tengah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI?
Anies menjelaskan mereka akan mengadaptasi sejumlah cara yang diterapkan di Jepang. Ia menyebut Tokyo juga sempat mengalami penurunan permukaan tanah, dan masalah tersebut bisa diatasi.
Salah satu yang dilakukan adalah membangun tanggul pantai di kawasan pesisir utara Jakarta, serta mengawasi penggunaan air tanah oleh gedung-gedung bertingkat.
"Pembangunan tanggul itu untuk mencegah terjadinya [banjir] rob. Kemudian untuk [penggunaan] air tanah, akan ada pengawasan yang lebih baik pada mereka-mereka yang mendapatkan izin untuk mengambil air sumur dalam," ujar Anies di Hotel Mandarin Oriental, Jakarta, Kamis (17/1/2019) pekan lalu.
Tak hanya itu, Anies juga hendak memperbanyak pemasangan pipa-pipa air bersih sehingga pengambilan air dari tanah bisa diminimalisir. Rencana pembangunan drainase vertikal pun tengah dilakukan sehingga air yang sudah selesai dipakai di permukaan dapat dikembalikan langsung ke dalam tanah.
"Lalu instalasi pengolahan air limbah juga diperbanyak, sehingga air-air limbah dapat diolah bersih dan kembali ke tanah," jelasnya.
Doktor di bidang geodesi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas menilai upaya Pemprov DKI sebenarnya sudah di trek yang benar. Hanya saja, Heri mengatakan yang kurang dari itu adalah memantau hasil.
"Itulah yang suka terlewat di DKI Jakarta. Apakah [pergerakan permukaan tanah] berhenti, makin besar, atau mengecil, itu harus terus dipantau. Yang semacam ini terkadang dilupakan," ujar Heri kepada reporter Tirto, Kamis (17/1/2019).
Selain itu Pemprov DKI juga perlu memikirkan strategi jangka panjang. Mitigasi seperti ini perlu menggunakan teknologi, termasuk yang berbiaya tinggi seperti artificial recharge.
Mengutip BPPT, artificial recharge sederhananya adalah "proses ketika air hujan atau kelebihan air permukaan diresapkan atau dimasukkan ke dalam tanah. Baik dengan menyebarkannya di permukaan, dengan menggunakan sumur resapan, atau dengan mengubah kondisi alami untuk meningkatkan infiltrasi."
Selain di Tokyo, cara ini juga efektif menghentikan penurunan permukaan tanah di California, Amerika Serikat.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Gilang Ramadhan