tirto.id - Pada awal April ini, salah satu mutasi virus COVID-19, E484K, menjadi topik perbincangan. Oleh sebagian ilmuwan, E484K sering disebut dengan mutasi 'Eek'.
Bersamaan dengan tersebarnya informasi ini, akun Facebook bernama 'Moh Indro Cahyono' mengunggah status pada 8 April 2021 di media sosial terkait mutasi E484K ini. Salah satu isi unggahan tersebut diantaranya adalah bahwa E484K bukan varian, melainkan mutasi asam amino pada virus yang sama. Akun itu juga mengatakan bahwa E484K bukanlah perubahan total dari virus COVID-19, melainkan hanya perubahan minimal yang dibesar-besarkan.
Ia juga melanjutkan dengan membahas penamaan “Eek” yang menurutnya bersifat clickbait dan disebar untuk menarik perhatian rakyat, tanpa memedulikan etika bahasa dan logika. Menurutnya pula, E484K adalah propaganda terencana, ketika semua media secara serentak mempublikasikan berita di tanggal dan waktu yang sama.
Akun ini juga menyebutkan bahwa E484K hanyalah komoditas dagangan media untuk membuat kepanikan rakyat. Pada unggahan di Facebook tersebut, akun itu juga menyertakan tangkapan layar media-media yang mempublikasikan berita mutasi E484K seperti Detik, CNN, Kompas, CNBC, dan juga Tirto.
Postingan Indro Cahyono tersebut telah dibagikan sebanyak 524 kali, mendapat 225 komentar, dan reaksi dari 1,4 ribu orang hingga 20 April 2021.
Lantas, benarkah klaim-klaim yang disampaikan oleh akun tersebut?
Penelusuran Fakta
Bukan kali pertama nama Indro Cahyono muncul dalam informasi terkait pandemi COVID-19. Pada 3 April 2020, Indro juga sempat berbincang dengan artis Luna Maya (arsip), dimana ia menyampaikan pernyataan yang dianggap menyesatkan. Dalam video tersebut, Indro mengatakan dari 496 orang yang meninggal karena COVID-19 hingga 16 April 2020, belum ada satu pun yang meninggal hanya karena virus tersebut.
Pada 13 April 2020, sebuah pesan berantai yang berisi hasil wawancara dengan Indro juga menyebut bahwa pandemi COVID-19 hanya akan berlangsung selama dua minggu. Indro juga menyatakan bahwa pasien COVID-19 dapat sembuh dengan mengonsumsi vitamin E, dan bahwa virus bisa dibuat cepat menyebar dan menempel ke manusia. Tempo menilai informasi yang tersebar ini sebagai “benar sebagian”.
Tak lama setelah itu, Indro kembali menuliskan di akun Facebook miliknya
Baca selengkapnya di artikel "Periksa Fakta Klaim Indro Cahyono Soal Hyper Reality COVID-19", https://tirto.id/eNWi
Berdasarkan penelusuran Tirto, Indro tercatat sebagai pegawai di Balai Penelitian Veteriner Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. Dalam Laporan Tahunan BB Litvet 2017, ia disebut masuk dalam kelompok peneliti virologi yang tengah mengikuti program S2 di University of Adelaide.
Sementara itu, untuk klaim yang disampaikan oleh akun Indro Cahyono kali ini, yang pertama adalah bahwa E484K bukan varian, melainkan salah satu mutasi asam amino di protein S pada virus yang sama. Hal ini benar. Merujuk laporan epidemiologis WHO terbitan 30 Maret 2021, mutasi E484K merupakan salah satu dari beberapa mutasi di varian Afrika Selatan (B.1.351) dan varian Brazil (B.1.1.28.1). Mutasi E484K ini juga telah ditemukan di Inggris, Jepang, Kanada, dan Argentina, menurut tracker mutasi ini dari New York Times.
Baca selengkapnya di artikel "Apa Itu Corona Varian Eek atau E484K yang Ditemukan di Jakarta?", https://tirto.id/gbQL
Mutasi terjadi pada proteinspike dan berdampak pada respons kekebalan tubuh dan kemanjuran vaksin. Protein spike yang bentuknya serupa paku-paku di permukaan virus corona adalah bagian yang berperan penting dalam proses infeksi. Protein spike merupakan bagian dari virus corona yang bisa terikat dengan reseptor ACE2 di sel tubuh manusia. Dengan kata lain, protein spike menjadi sarana virus corona untuk menempel dan masuk ke sel tubuh.
Baca selengkapnya di artikel "Apa Itu Corona Varian Eek atau E484K yang Ditemukan di Jakarta?", https://tirto.id/gbQL
Ahli Virologi dari Louisiana State University Health Sciences Center Shreveport, Dr Jeremy Kamil, menjelaskan dalam wawancara kepada BBC bahwa mutasi pada protein spike berpotensi meningkatkan kapasitas penularannya, memperparah gejala, dan menurunkan kemanjuran vaksin COVID-19.
Sementara itu, penularan virus corona mutasi E484K terdeteksi sudah terjadi di Indonesia. Kasus pertama infeksi COVID-19 akibat penularan yang mengandung mutasi ini ditemukan di DKI Jakarta.
Informasi tersebut sudah dikonfirmasi oleh Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi. Dia menjelaskan pemeriksaan spesimen varian E484K dilakukan oleh otoritas berwenang di Indonesia sejak Februari 2021.
Kedua, menurut Indro, E484K bukanlah perubahan total, melainkan hanya perubahan minimal yang dibesar-besarkan seolah virus menjadi lebih ganas.
Berdasarkan penelusuran Tirto, E484K disebut sebagai escape mutation karena membantu virus melewati pertahanan kekebalan tubuh. Ravindra Gupta dari Universitas Cambridge dan rekan-rekannya telah menemukan bahwa mutasi E484K pada varian SARS-CoV-2 yang ditemukan di Inggris, B.1.1.7, mengurangi aktivitas netralisasi dari antibodi yang dibentuk oleh vaksin. Varian B.1.1.7 sendiri yang lebih cepat menular membuat kombinasi ini mengkhawatirkan, karena selain virus akan lebih cepat menyebar, mutasi ini juga bisa menghindari sistem imun.
Menurut catatan CDC dari 14 Maret hingga 27 Maret 2021, varian B.1.1.7 plus mutasi E484K ditemukan dalam 44 persen dari total kasus yang tersebar di Amerika Serikat.
Seperti dilansir dari artikel New York Times, varian B.1.1.7 disebut 60 persen lebih menular dan 67 persen lebih mematikan dari bentuk awal dari virus SARS-CoV-2.
Di Indonesia sendiri, peringatan untuk mewaspadai risiko penularan varian E484K di Indonesia sudah disampaikan juru bicara Satgas Penanganan COVID-19, Wiku Adisasmito, pada awal April lalu.
Ketiga, memang benar mutasi E484K bukanlah Eek seperti yang dipahami dalam Bahasa Indonesia. Penamaan Eek sendiri adalah hanya penyebutan. Menurut Áine O’Toole, seorang ahli Evolusi Biologi dari Edinburgh University yang merupakan salah satu penemu sistem untuk menamai garis keturunan virus, awalnya mutasi ini akan diberi nama Eric, namun karena mereka sering bekerja dengan orang bernama Eric, mutasi ini diberi nama Eek.
Sistem penamaan ini sendiri dilakukan karena banyak mutasi yang muncul, oleh karena itu peneliti punya ide untuk menamainya seperti nama manusia.
Sebelumnya, media dan pemangku kebijakan telah menamai varian menurut wilayah tempat mereka ditemukan. Tetapi virus ini tidak diatur dalam batas geografis, dan para ilmuwan menekankan bahwa negara-negara memiliki tingkat pengawasan genom yang berbeda; penemuan di daerah tertentu tidak menjamin varian tersebut berasal dari sana.
“Istilah-istilah ini berisiko menimbulkan stigma … Virus, varian, atau patogen baru menghadirkan tantangan global, bukan tantangan lokal; penamaan harus mencerminkan itu,” jelas Dr. Katie Baca, sejarawan sains dan kesehatan di Harvard University, dilansir dari artikel The Guardian.
Klaim selanjutnya dari Indro Cahyono terkait dengan pemilihan waktu publikasi berita soal mutasi E484K oleh berbagai media daring yang dianggapnya terkesan serentak. Hal ini tidak benar mengingat tangkapan layar dari berita-berita yang diunggah Indro tidak terbit pada waktu yang sama. Mutasi Eek sendiri sudah dideteksi di beberapa wilayah sejak Januari 2021.
Banyaknya media di Indonesia yang baru memberitakan mutasi ini pada bulan April adalah karena kasus dengan mutasi Eek baru ditemukan pada awal April di Jakarta, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Dari kurun waktu Januari dan baru ditemukannya mutasi ini pada April barangkali membuat kita berpikir, apakah Indonesia terlambat mengetahui jenis mutasi ini?
Kemudian, klaim terakhir yang menyatakan bahwa varian E484K hanyalah komoditas belaka yang dijual media. Terkait hal ini, masyarakat juga bisa membaca lebih lanjut tentang mutasi Eek pada laman resmi CDC “SARS-CoV-2 Variant Classifications and Definitions”, artikel di British Medical Journal berjudul “Covid-19: The E484K mutation and the risks it poses”, atau jurnal The Lancet “SARS-CoV-2 spike E484K mutation reduces antibody neutralization”.
Ketiga contoh bacaan di atas hanyalah beberapa dari hasil penelitian terkait mutasi E484K. Masih banyak sumber resmi lain yang bisa diperoleh dengan mengetikkan kata kunci “E484K mutation” di mesin pencari Google yang tak terkait dengan media.
Kesimpulan
Kendati pernyataan dari akun 'Moh Indro Cahyono' seperti bahwa mutasi E484K bukanlah varian yang benar-benar baru dan bukan perubahan total dari COVID-19 bisa dibilang tepat, tapi beberapa klaim lain yang disampaikan akun itu bersifat salah sebagian dan menyesatkan (partly false & misleading).
Tirto mengundang pembaca untuk mengirimkan informasi-informasi yang berpotensi hoaks ke alamat email factcheck@tirto.id. Apabila terdapat sanggahan ataupun masukan terhadap artikel-artikel periksa fakta maupun periksa data, pembaca dapat mengirimkannya ke alamat email tersebut.
Editor: Farida Susanty