tirto.id - Beberapa waktu lalu, Hotline Periksa Fakta Tirto (kontak) menerima aduan terkait vaksin Sinovac. Pesan berantai ini menyebutkan vaksin buatan Sinovac memiliki efikasi cukup rendah, yakni 51 persen. Mengingat vaksin tersebut adalah salah satu yang banyak dipakai di Indonesia, pesan tersebut mengklaim bahwa efikasi yang rendah ini menyebabkan banyak rakyat Indonesia meninggal, termasuk tenaga kesehatan.
Pesan tersebut juga menyebut referensinya berasal dari berita media asal Inggris The Guardian. Pesan dilanjutkan dengan menyalahkan pemerintah mengapa kita harus menggunakan vaksin Sinovac, dan klaim bahwa Sinovac tidak mengeluarkan hasil uji klinis fase tiga. Menurutnya, tanpa hasil uji klinis tersebut, sulit untuk mengetahui perkembangan kualitas vaksin Sinovac.
Isi pesan berantai ini juga menyebutkan Indonesia sebagai negara dengan risiko tinggi COVID-19, selain India, Pakistan, Bangladesh, dan Nepal.
Pesan ini tersebar di tengah lonjakan jumlah kasus COVID-19 di Indonesia beberapa minggu terakhir, dengan tambahan kasus positif sebanyak lebih dari 38 ribu kasus per 20 Juli 2021, menurut data Satuan Tugas COVID-19. Lonjakan ini ditengarai berhubungan dengan menyebarnya varian Delta dari virus penyebab COVID-19 serta libur Idul Fitri. Dalam situasi kritis ini, Indonesia juga sedang menggalakkan vaksinasi, yang cukup didominasi oleh vaksin buatan Sinovac, CoronaVac.
Lantas, benarkah klaim dari pesan-pesan ini? Bagaimana pendapat tenaga kesehatan terkait pesan tersebut di atas?
Penelusuran Fakta
Sebelumnya, kami juga mengecek artikel The Guardian yang dijadikan referensi pesan tersebut. Artikel berjudul “Indonesian Covid deaths add to questions over Sinovac vaccine” tersebut, yang berarti "Kematian akibat COVID di Indonesia menambah pertanyaan terkait vaksin Sinovac", membahas kekuatan vaksin Sinovac dalam memberi proteksi pada petugas kesehatan, sebagai garda terdepan yang berperang melawan COVID-19.
Berita yang dirilis pada 28 Juni 2021 ini mengungkapkan data dari Ikatan Dokter Indonesia (IMA/IDI), serta hubungannya dengan perlindungan Sinovac terhadap varian baru virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.
Menurut artikel tersebut, IMA/IDI mencatat bahwa antara Maret 2020 hingga 26 Juni 2021, ada 949 tenaga kesehatan Indonesia yang meninggal setelah terinfeksi COVID-19.
Dengan kondisi tersebut, kelompok-kelompok yang mewakili tenaga medis di berbagai negara, termasuk Indonesia, tengah mendiskusikan apakah dosis tambahan AstraZeneca, Pfizer, atau Moderna dapat memberikan perlindungan yang lebih besar untuk petugas kesehatan.
The Guardian juga menuliskan beberapa negara yang menggunakan vaksin Sinovac atau Sinopharm asal Tiongkok juga melaporkan kenaikan kasus baru-baru ini. Negara-negara tersebut adalah Mongolia, Bahrain, Seychelles, dan Chili.
“Kami melihat beberapa negara mendukung skema mix-and-match untuk meningkatkan kekebalan bagi pekerja medis. Yang terpenting adalah [jika] mendapat vaksin Covid, orang harus tetap melakukan protokol kesehatan," kata Dr Adib Khumaidi, ketua IDI, seperti dilansir The Guardian. IMA juga meminta pemerintah agar melakukan pembatasan lebih ketat.
Di sisi lain, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri pada bulan yang sama, pada 1 Juni 2021, telah menyetujui vaksin buatan Sinovac untuk penggunaan darurat. Ini didukung oleh data efikasi vaksin berdasarkan uji klinis yang dikutip oleh WHO, yakni bahwa Sinovac mencegah gejala penyakit COVID-19 di 51 persen orang yang divaksinasi, dan 100 persen mencegah gejala parah dan rawat inap karena COVID-19 pada populasi yang diteliti.
WHO juga menegaskan bahwa validasi vaksin ini untuk penggunaan darurat juga berarti bahwa vaksin ini dinilai memenuhi standar internasional dalam keamanan, efikasi, dan pembuatannya.
Lalu, bagaimana pendapat tenaga kesehatan terkait hal ini? Kami mewawancarai dr. Nadha Aulia, salah seorang dokter umum di RS Jantung Jakarta dan juga interactive medical advisor di situs kesehatan Alodokter.
Menurut dr. Nadha, WHO memberikan status penggunaan darurat untuk Sinovac karena kondisi COVID-19 yang semakin genting, selain juga sebagai langkah antisipasi yang dinilai paling efektif dan aman untuk menekan kasus COVID-19.
Sebagai catatan, efikasi Sinovac dari studi di Indonesia adalah sebesar 65,3 persen, menurut catatan WHO. Di Brazil, efikasinya sebesar 51 persen, di Chili 67 persen, dan di Turki 84 persen. Perbedaan ini diperkirakan disebabkan oleh perbedaan varian COVID-19 di masing-masing negara dan perbedaan populasi yang dimasukkan ke dalam studi. Namun demikian, efikasi vaksin Sinovac terhadap gejala parah COVID-19 yang membuat seseorang harus rawat inap adalah sebesar 100 persen di Brazil dan Turki.
Meski, menurut dr. Nadha, sudah banyak berkembang vaksin yang efikasinya jauh lebih tinggi seperti Moderna atau Pfizer. Misalnya, menurut WHO, vaksin Moderna memiliki efikasi 94,1 persen dalam melindungi seseorang dari COVID-19, walaupun organisasi tersebut juga mengingatkan bahwa WHO sendiri tidak bisa membandingkan vaksin-vaksin yang beredar karena perbedaan pendekatan pada penelitian masing-masing vaksin.
Sebelum bicara lebih jauh mengenai vaksin Sinovac yang “katanya” tidak dapat mencegah kematian akibat COVID-19, terutama di kalangan dokter-dokter yang telah divaksin, dr. Nadha mengingatkan bahwa masalahnya tak semudah itu. Pemahaman paling dasar tetap diperlukan.
“Masyarakat hanya menilai dari angka-angka saja dan membandingkan tanpa tahu makna sebenarnya dan apa manfaat yang bisa dilihat," katanya pada Tirto (19/7/2021).
Dr. Nadha menjelaskan mengenai efikasi vaksin yang banyak diperdebatkan. Menurutnya, vaksin adalah langkah aman dan efektif untuk melindungi diri dari COVID-19 yang sudah dibuktikan oleh berbagai penelitian (uji klinis). Perlindungan ini termasuk pencegahan infeksi COVID-19 bergejala, rawat inap, dan kasus kematian. Kemudian uji klinis tersebut akan menghasilkan data efikasi vaksin. Vaksin Sinovac, yang menggunakan partikel virus yang dilemahkan/inactivated, memiliki efikasi 65,3 persen berdasarkan studi di Indonesia.
Apa arti dari angka tersebut? Artinya, vaksin Sinovac mampu menurunkan sebanyak 65,3 persen kasus penyakit COVID-19 pada mereka yang telah divaksin, jika dibandingkan dengan yang belum divaksin, dan nilai itu masih signifikan dalam menekan kasus COVID di masyarakat.
Dokter Nadha melanjutkan dengan perbandingan. “Sekarang, mari kita lihat secara bigger picture. Penurunan angka infeksi pada populasi sekitar 65 persen tentu akan signifikan dan berdampak panjang. Misal, dari 100 juta orang Indonesia tanpa vaksinasi, berarti sekitar 8,6 juta dapat terinfeksi. Jika kemudian angka ini turun sebesar 65 persen dengan vaksinasi, hanya 3 juta orang yang terinfeksi.”
Perhitungannya adalah (0,086 – 0,03)/0,086 x 100 persen = 65 persen, artinya vaksinasi dapat mencegah 5,6 juta kejadian infeksi COVID-19.
Perhitungan itu dinilai sangat berarti dan mampu menyelamatkan hidup banyak orang, dan secara tidak langsung mencegah transimisi COVID-19, hingga akhirnya masyarakat Indonesia mencapai herd immunity atau kekebalan kelompok, menurut dr. Nadha.
Sementara itu, dr. Nadha sendiri mendasarkan penjelasan dan perhitungan ini pada artikel dari peneliti UGM, berjudul “UGM Expert: Having An Efficacy Rate of 65.3 Percent, Sinovac Vaccine Remains Safe”, yang artinya bahwa dengan tingkat efikasi 65,3 persen, vaksin Sinovac masih dapat dikatakan aman.
Selain itu, dr. Nadha juga menyarankan agar masyarakat berhati-hati dan lebih bijak melihat angka efikasi vaksin Sinovac yang didapat dari penelitian di Indonesia, yang berbeda dengan angka efikasi yang didapat dari studi di Brazil dan Turki.
Menurut penjelasan dr. Nadha, angka efikasi ini didapatkan dari perbandingan/rasio subjek yang menerima vaksin dan yang tidak menerima vaksin. Artinya, angka ini sangat tergantung pada karakteristik subjek penelitiannya. Mengapa angka Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara lain? Ini karena Indonesia melakukan penelitian pada subjek yang umumnya sehat, bukan yang berisiko tinggi/high risk. Jika penelitian dilakukan pada subjek berisiko rendah/low risk dan berada di rumah saja, tidak banyak infeksi ditemukan pada kelompok yang belum/tidak divaksin, sehingga menghasilkan efikasi yang rendah.
Sementara pada Brazil atau Turki, mereka melakukan penelitian pada subjek dengan risiko tinggi/high risk seperti tenaga kesehatan, sehingga banyak yang terinfeksi pada kelompok yang tidak divaksin, dan kemudian, menghasilkan angka efikasi yang tinggi.
Sehingga, berangkat dari hasil-hasil penelitian ini, nilai efikasi 65,3 persen sudah memenuhi minimal efikasi 50 persen dari WHO dan Lembaga Pengelola Obat dan Makanan (FDA) di Amerika, dan mampu menurunkan angka kasus maupun tingkat keparahan COVID-19.
Selain itu, menurut penjelasanNicanor Austriaco, peneliti Biologi Molekuler di Universitas Providence College, Rhode Island, Amerika Serikat, melalui Rappler, vaksin Sinovac juga bisa melindungi tenaga kesehatan yang berisiko tinggi terpapar COVID-19, terutama varian Delta.
Menurut paparan Nicanor, sebanyak 350 tenaga kesehatan di Kudus, Jawa Tengah terpapar varian Delta COVID-19 meski telah mendapat vaksinasi dosis kedua. Padahal, berdasarkan data yang tersedia, terdapat 5.000 orang tenaga kesehatan di Kudus, yang semuanya telah divaksin Sinovac. Maka, menurutnya, dapat disimpulkan bahwa sejauh ini sebanyak 4,650 orang tidak terinfeksi varian Delta. Berarti, vaksin Sinovac dapat memproteksi tenaga kesehatan di daerah tersebut hingga 93 persen.
Kemudian, menurut dr. Nadha pula, cara kerja vaksin tidak bisa dinilai hanya dari efikasi saja, efikasi ini bermakna secara epidemiologis. Tapi bagi masing-masing individu, kita juga menilai kemampuan vaksin tersebut untruk menimbulkan respon antibodi (immunogenicity). Sinovac sendiri terbukti memiliki high immunogenicity (99 persen) setelah tiga bulan waktu vaksinasi.
Obrolan Tirto dengan dr. Nadha juga sempat menyentuh isu vaksin Sinovac yang menyebabkan infeksi COVID-19 makin parah, atau menyebabkan Antibody Dependent Enhancement (ADE). Sederhananya, menurut klaim ini, vaksin dapat membentuk respon antibodi yang tidak optimal sehingga bukannya melawan virus, vaksin justru malah “membantu” virus menginfeksi sel tubuh.
Namun, informasi ini tidak akurat. Meski ADE menjadi sesuatu yang diperhatikan para ilmuwan terkait hubungannya dengan vaksin dan terapi COVID-19, data klinis belum bisa menunjukkan peran ADE dalam patologi COVID-19 pada manusia. Selain itu, tidak ada tanda-tanda ADE selama uji klinis, seperti yang disampaikan melalui temuan di Medpage Today dan Children’s Hospital of Philadelphia.
Lebih lanjut, dr. Nadha juga memberi penjelasan mengapa tenaga kesehatan direncanakan untuk diberikan vaksin Moderna. Salah satunya karena Moderna terbukti efektif melawan varian Delta yang sekarang sedang berkembang. Lalu, mengapa diberikan pada tenaga kesehatan? Hal ini sebab tenaga kesehatan merupakan kelompok yang berisiko tinggi dan berada di garda depan perlawanan terhadap COVID-19.
Selanjutnya, berkebalikan dengan Sinovac yang dituduh tidak mempublikasikan hasil uji klinis fase tiga seperti yang diklaim oleh pesan WhatsApp, hal ini tidak tepat. Proses uji klinis fase 3 yang dilakukan oleh Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, Kementerian Kesehatan, dan PT Bio Farma dapat diamati di sini. Terlihat bahwa studi ini terakhir diperbarui pada 10 Maret 2021, dan diperkirakan akan selesai pada September 2021, menurut dokumen tersebut.
Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo, yang kerap disapa Jokowi, juga baru saja menyatakan mengenai pentingnya vaksinasi untuk mengatasi pandemi, terlepas dari merk vaksin, lewat akun Twitter resminya pada 19 Juli 2021.
"Vaksin apa yang terbaik untuk menghadapi Covid-19? Jawabannya sederhana: vaksin terbaik adalah vaksin yang sudah tersedia dan paling cepat Anda dapatkan. Mari segera dapatkan vaksinasi seraya tetap mematuhi protokol kesehatan. Hanya dengan itu, kita dapat mengakhiri pandemi ini," cuitan tersebut berbunyi.
Kesimpulan
Berdasarkan penelusuran fakta yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa informasi yang tersebar melalui pesan WhatsApp bersifat salah dan menyesatkan (false & misleading). Vaksin yg beredar saat ini, salah satunya Sinovac, sudah terbukti aman dan efektif dalam mencegah COVID-19 bergejala, mencegah rawat inap karena COVID-19, dan mencegah kematian karena COVID-19. Masyarakat dihimbau untuk berhenti membanding-bandingkan vaksin mana yang lebih baik, karena semakin lama menunggu, semakin besar risiko untuk terpapar COVID-19.
Editor: Farida Susanty