Menuju konten utama

Mendidik Karakter Indonesia

Kita semua adalah guru-guru itu. Kita para orang tua adalah guru-guru bagi anak-anak kita. Membangun pendidikan karakter harus dimulai dengan gerakan para orang tua untuk mengubah berbagai kebiasaan buruk mereka, membangun terlebih dahulu karakter mereka. Kita semua harus kembali hidup dengan akal budi.

Mendidik Karakter Indonesia
avatar hasanudin abdhurakman

tirto.id - Anak bungsu saya, siswa kelas 3 SD mendapat PR berupa pertanyaan,”Kalau kamu menemukan hutan yang gundul, apa yang akan kamu lakukan?” Dengan polos ia menulis jawaban,”Memberinya rambut.” Pertanyaan ini saya duga terkait dengan materi pelajaran pelestarian alam dan cinta lingkungan. Jawaban polos yang diberikan anak saya tadi menunjukkan tidak sampainya pesan pelajaran kepada siswa.

Apa yang sedang terjadi? Guru anak saya mungkin berusaha menjelaskan soal pelestarian alam, khususnya hutan. Hutan tidak boleh ditebangi sampai gundul, karena akibatnya akan begini dan begitu. Tapi materi pelajarannya terlalu banyak, sementara anak-anak usia kelas 3 SD masih terengah-engah memahami berbagai diksi yang dipakai. Ketika anak mencoba memahaminya dengan common sense, maka munculah kepolosan tadi.

Materi pelajaran ini sebenarnya bagian dari pendidikan karakter. Ini soal bagaimana anak memahami berbagai masalah terkait pelestarian lingkungan, lalu bagaimana mereka bertindak. Tidak hanya soal lingkungan, materi pelajaran juga meliputi soal bagaimana berperilaku di rumah, sekolah, tempat umum, dan di tengah masyarakat. Semua ini tentu sangat perlu dalam pendidikan kita. Sayangnya, yang terjadi di sekolah-sekolah kita adalah hal-hal yang sangat jauh dari cukup untuk membangun karakter.

Ketika melihat materi dan metode pendidikan karakter di sekolah kita, yang terlihat oleh saya adalah klise. Yang terjadi sekarang tak jauh beranjak dari pengajaran Pendidikan Moral Pancasila di zaman Orde Baru. Anak-anak disuruh menghafal sejumlah dalil tentang ketertiban, kebersihan, dan kesalehan sosial, dan cukup sampai di situ. Karena ini adalah pelajaran untuk dihafal. Keluarannya adalah siswa yang hafal, bukan paham. Boro-boro siswa yang berkarakter.

Bertahun-tahun saya hadir di berbagai acara di sekolah anak-anak saya, yang saya temukan selalu hal yang sama, yaitu sekolah sama sekali bukan tempat pendidikan karakter. Anak-anak masih biasa membuang sampah sembarangan. Tidak cuma anak-anak, bahkan gurunya pun demikian. Sekolah tidak menyediakan tempat sampah yang memadai, guru-guru tidak mengarahkan secara serius agar anak-anak tertib membuang sampah. Tentu saja selesai acara sekolah kembali bersih, dibersihkan oleh sejumlah tenaga pembersih yang dibayar. Karakter apa yang sedang dididikkan kepada anak-anak kita? Tak masalah bila kita membuang sampah sembarangan, nanti akan ada orang yang membersihkannya. Karakter itulah yang kini menjadi jiwa dalam masyarakat kita.

Pernah pula saat menghadiri pertemuan guru dengan orang tua murid saya temukan kelas-kelas kosong dengan lampu dan AC menyala. Saya tegur kepala sekolah, saya ingatkan kepadanya soal hemat energi. Dengan tersipu dia minta maaf dan berjanji untuk memperhatikan. Tapi pada berbagai pertemuan berikutnya kejadian itu tetap berulang.

Apa masalah terbesar pendidikan karakter kita? Guru-guru yang tidak berkarakter. Mereka adalah produk pendidikan hafalan ala Orde Baru. Sebagian besar dari mereka masih terbiasa membuang sampah sembarangan, melanggar rambu-rambu lalu lintas, dan tidak tertib di tempat umum. Guru-guru seperti ini tentu saja tidak tahu cara membangunkan kebiasaan kepada para siswa untuk tertib. Yang mereka tahu adalah bagaimana membuat para siswa hafal materi pelajaran, dan mengisikannya pada lembar soal ulangan.

Masalah berikutnya terkait dengan ulangan itu. Bagaimana mengukur tercapainya target materi pelajaran? Ulangan tertulis nyaris menjadi satu-satunya alat ukur. Guru mengajarkan agar membuang sampah di tempatnya. Dalam ulangan murid menjawab soal dengan tepat, maka murid mendapat nilai baik. Target pembelajaran tercapai. Tidak peduli bahwa dalam kenyataan murid-murid masih membuang sampah sembarangan. Karakter yang dibangun adalah karakter dalam ujian tulis.

Bagaimana cara mengubah ini? Ketika hendak melakukan perubahan dalam bidang pendidikan, orang-orang langsung bicara soal kurikulum. Kurikulum kita berganti demikian sering, sehingga ada pameo ganti menteri ganti kurikulum. Tapi faktanya, tak pernah ada yang berubah. Yang berubah hanya kertas-kertas administrasi belaka.

Bagi saya perubahan harus dibuat dengan cara sederhana, yaitu guru-guru harus kembali menjadi manusia yang berakal budi. Mereka harus disadarkan untuk mengubah berbagai kebiasaan hidup harian mereka. Semua orang tahu bahwa tidak boleh membuang sampah sembarangan atau melanggar rambu lalu lintas. Namun hanya sedikit yang terbiasa hidup dengan cara itu.

Kita semua adalah guru-guru itu. Kita para orang tua adalah guru-guru bagi anak-anak kita. Ini hal yang sangat sering dilupakan orang. Kita terbiasa menganggap bahwa guru itu adalah profesi orang-orang di sekolah. Membangun pendidikan karakter harus dimulai dengan gerakan para orang tua untuk mengubah berbagai kebiasaan buruk mereka, membangun terlebih dahulu karakter mereka. Kita semua harus kembali hidup dengan akal budi.

Setelah itu barulah perubahan berikutnya bisa dimulai. Pendidikan karakter digeser dari yang terpusat pada kognitif menjadi berpusat pada motorik. Berbagai pendekatan diubah, demikian pula sistem penilaian atas pencapaian.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.