tirto.id - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah membatalkan ribuan Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bermasalah serta menghambat investasi. Berdasarkan data yang terpacak di laman resmi Kemendagri, hingga tahun 2016 sudah ada sekitar 3.143 perda yang dibatalkan.
Ribuan perda yang dibatalkan tersebut dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, menghambat proses perizinan dan investasi, menghambat kemudahan berusaha, dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Karena itu, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo untuk membatalkan perda-perda bermasalah tersebut. Menurut Presiden, dalam menghadapi tantangan kebangsaan yang semakin berat ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus menjadi satu kesatuan yang utuh, visi yang sama, arah tujuan yang sama, serta saling berbagi tugas.
“Untuk itu, saya sampaikan bahwa Menteri Dalam Negeri sesuai dengan kewenangannya telah membatalkan 3.143 Peraturan Daerah yang bermasalah tersebut,” kata Jokowi, seperti dilansir laman setkab.go.id.
Dalam konteks ini, Mendagri memang memiliki wewenang untuk membatalkan perda yang dianggap bermasalah, baik karena menghambat investasi, maupun yang bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 251 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
“Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri,” demikian bunyi Pasal 251 ayat (1).
Sementara dalam ayat (2) Pasal 251 dijelaskan bahwa Perda Kabupaten/Kota serta peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
Namun, apabila gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda Kabupaten/Kota serta peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka tugas tersebut dapat diambil alih oleh Mendagri.
Sayangnya, kewenangan tersebut telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam dua uji materi sekaligus. Pertama, pembatalan wewenang itu tertuang dalam Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada April 2017.
Putusan tersebut menganulir kewenangan MK terkait pembatalan Perda Kabupaten/Kota serta peraturan bupati/wali kota.
“Mengabulkan permohonan Pemohon sepanjang pengujian Pasal 251 ayat (2), ayat (3), dan ayat (8) serta ayat (4) sepanjang frasa '…pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat', Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,” demikian bunyi putusan yang diterbitkan oleh MK.
Kedua, pembatalan kewenangan Mendagri dalam membatalkan perda bermasalah juga tertuang dalam Putusan MK Nomor 56/PUU-XIV/2016. Putusan ini terkait pembatalan perda oleh gubernur dan menteri yang diterbitkan pada 14 Juni 2017 kemarin. Dengan adanya putusan MK ini, maka Mendagri tidak lagi bisa mencabut Perda Provinsi.
MK dalam pertimbangan putusannya mengacu pada putusan uji materi Nomor 137/PUU-XIII/2015 yang diterbitkan pada 5 April 2017 lalu. Dalam putusan itu disebutkan bahwa Pasal 251 Ayat 2, 3, dan 4 UU Pemda sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam putusan itu juga, MK menyatakan demi kepastian hukum dan sesuai dengan UUD 1945, maka pengujian atau pembatalan perda menjadi ranah kewenangan konstitusional Mahkamah Agung (MA).
Mendagri, Tjahjo Kumolo menyayangkan putusan MK yang menghapuskan kewenangannya dalam membatalkan peraturan daerah tingkat provinsi ini. Tjahjo mengatakan, imbas dari putusan MK ini, pihaknya akan mengalami kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan peraturan daerah yang bermasalah.
“Dengan keputusan MK yang final mengikat, Kemendagri tentu akan ada kesulitan dalam mengawasi dan mengendalikan perda-perda. Walau keputusan MK final, tapi Kemendagri sangat menyayangkan putusan ini,” ujarnya, seperti dikutip Antara, Rabu malam.
Tjahjo mengatakan, tanpa pengawasan, perda-perda tingkat provinsi dan kabupaten/kota dikhawatirkan bertentangan dengan keputusan/kebijakan pemerintah pusat.
“Program kebijakan strategis pemerintah pusat prinsipnya harus bisa terlaksana di daerah dan program daerah harus selaras dengan program pemerintah pusat sesuai dengan situasi kondisi budaya dan geografis kebutuhan masyarakat di daerah,” kata Tjahjo.
Tjahjo pernah mengutarakan pengawasan dan pembatalan perda melalui mekanisme uji materi di MA cenderung membutuhkan waktu yang lama, sedangkan jumlah perda sangat banyak.
Meskipun demikian, kata Tjahjo, pemerintah pasti memiliki cara lain untuk mengawasi perda-perda. Kemendagri, kata dia, akan memperkuat hal-hal berkaitan fasilitasi dan penerbitan nomor registrasi perda, serta mengintensifkan pelatihan penyusunan perda, agar perda-perda selaras dengan program pemerintah pusat.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti