tirto.id - Tidak lebih dari 15 menit sejak saya memesan dari menu, sepiring nasi goreng rempah terhidang di hadapan. Hawa kedai makan yang panas, jadi semakin gerah karena api besar yang terus menyala di bagian depan kedai. Atraksi masak-memasak terjadi di sana.
“Selamat makan,” ujar saya pada kawan yang menemani makan malam itu, sebelum mulai menikmati nasi goreng pesanan. Warnanya tampilan nasi goreng itu kuning kemerahan, dengan telur mata sapi setengah matang di atasnya dan sejumput acar di pinggir piring.
Saya tak terlalu kagum dengan kecepatan memasak tukang masak di warung tersebut. Apabila bumbu dan bahannya sudah siap sedia, memasak nasi goreng memang bisa dilakukan dengan kilat. Bahan utamanya (nasi) biasanya selalu ada, karena merupakan salah satu bahan pangan pokok. Bumbu-bumbunya bisa disiapkan jauh sebelumnya dalam jumlah banyak sekalian.
Ketika pesanan datang, tukang masak tinggal mencampurkan nasi, bumbu, dan bahan tambahan lain di wajan yang panas. Tidak perlu waktu lama untuk menyatukan itu semua dan menghidangkannya di piring. Sat-set, dan voila! Nasi goreng terhidang di meja.
Ada dua hal yang selalu saya ingat apabila sedang menikmati nasi goreng. Pertama, nasi goreng yang dimasak oleh ibu saya. Nasi goreng itu hingga kini resepnya belum berubah.
Hal kedua, masa ketika saya sangat menggemari nasi goreng dan selalu memesannya apabila ada kesempatan. Bahkan, saya sempat mengalami masa-masa obsesif berburu nasi goreng terenak, hal yang juga saya lakukan bareng pacar –yang sekarang jadi suami.
Meski tampaknya hal itu adalah kegiatan sederhana, tapi saya sadari sebenarnya ada masalah problematis dengan pencarian tersebut. Suatu pencarian yang tak akan ada ujungnya.
Enak dan Tak Enak
Konsep terenak (atau enak itu sendiri) terkait erat dengan selera. Sedangkan, selera punya hubungan kuat dengan budaya dan identitas seseorang. Ini membuatnya rumit. Di satu sisi, kita punya budaya dan identitas dasar yang sudah mengakar dan mendarah daging. Budaya dan identitas dasar ini terbentuk dari banyak hal yang merupakan latar belakang diri kita. Agama, kebiasaan keluarga, hingga konstruksi sosial.
Di sisi lain, selalu muncul pilihan-pilihan baru dari luar lingkungan kita. Hal ini tak jarang punya daya tarik kuat, dan karenanya bisa sedikit mengguncang identitas awal yang sudah stabil. Munculnya bisa dari pengetahuan baru, pergaulan, konsep-konsep asing, dan sebagainya.
Akibatnya, apabila diniatkan, semakin hari referensi dapat semakin diluaskan. Ini membuat selera kita akan terus "terguncang" dan sangat mungkin berubah.
Seorang kawan saya pernah dirasani oleh teman-temannya karena dianggap nggaya. Sejak sering bermain dengan –sebut saja– Andi yang terkenal sebagai tukang jajan di komunitas kami, Yayan –panggil saja begitu– yang dulunya tak terlalu peduli dengan apa yang dia makan, kini menjadi pemilih.
Ia tak lagi suka mie goreng Jawa dengan rasa manis yang biasa dijual gerobak malam-malam dan lebih memilih mie goreng berwarna lebih pucat dengan isian yang lebih sophisticated: udang dan jamur. Walaupun, kadang ia tetap membeli mie goreng Jawa yang dijajakan di gerobak tadi, tapi ia tak lupa memberi arahan khusus, “Nggak usah pakai kecap, Mas!"
"Ya mungkin bukan nggaya, tapi seleranya aja yang berubah karena makin banyak referensi," ujar saya saat itu.
Ternyata kejadian ini juga terjadi dalam diri saya dalam hubungannya dengan nasi goreng tadi. Saya diperkenalkan pertama kali dengan nasi goreng oleh ibu ketika saya balita. Karena tinggal di Yogyakarta dan berdarah Jawa, tentu saya dikenalkan dengan nasi goreng Jawa yang berwarna cokelat gelap dan bercita rasa manis –pengaruh dari kecap manis.
Masa kecil saya sering diisi dengan sarapan nasi goreng Jawa. Suasana pagi yang hectic sebelum berangkat sekolah masih kuat tertancap di ingatan, bersama dengan aroma nasi goreng buatan Ibu. Saking seringnya sajian ini keluar, sudah tertanam kuat di pikiran saya kecil: nasi goreng harus berwarna cokelat dan manis. Kalau bukan, maka itu bukan nasi goreng.
Perlahan, saya tumbuh dewasa dan mulai mengenal berbagai jenis nasi goreng lain. Ketika punya obsesi mencari nasi goreng terenak, saya mencoba banyak jenis nasi goreng. Dari nasi goreng oriental, nasi goreng sapi yang hanya buka di malam hari, nasi goreng kambing yang tidak prengus serta memiliki rasa kari kuat, hingga nasi goreng merah khas Surabaya.
Selain itu saya juga mencoba memasak nasi goreng yang saya anggap berbeda. Resepnya dari banyak sumber: obrolan dengan teman, belajar dari pakar kuliner, menonton acara masak-memasak di TV, hingga membaca resep-resep yang tersebar di media cetak dan internet. Banyak resep berakhir gagal, meski banyak juga yang berhasil dan masuk ke dalam buku catatan memasak saya (buku resep pribadi ala ibu-ibu zaman dulu).
Dari pengalaman-pengalaman itu, selera saya yang awalnya hanya mengenal nasi goreng Jawa buatan Ibu, kini dihadapkan pada ratusan pilihan variasi nasi goreng. Selera baru atas rasa nasi goreng pun terbentuk - dan selalu diperbaharui. Ini membuat saya tak dapat menuntaskan pencarian nasi goreng terenak tadi. Ini seperti Sisifus yang terus mendorong batu ke puncak gunung, untuk kemudian menggelindingkannya lagi, dan kembali mendorongnya ke atas.
“Ini tak akan ada ujungnya,” batin saya waktu itu.
Pada akhirnya, saya mengabaikan dan mengakhiri misi mencari nasi goreng terenak itu. Sering saya menemukan nasi goreng yang saya anggap enak, tapi saya tak kuasa menyebutnya sebagai yang terenak. Selalu ada perbandingan di kepala.
Meski begitu, pencarian saya tak berakhir tanpa hasil. Saya jadi mengambil kesimpulan, bahwa nasi goreng enak yang saya temukan adalah nasi goreng yang cocok dengan lidah saat itu. Hingga kemudian saya menemukan nasi goreng yang baru lagi. Begitu seterusnya
Atau bisa jadi, saya ternyata masih terpengaruh oleh gustatory nostalgia, dan kembali ke selera masa lalu: bahwa nasi goreng itu ya nasi goreng Jawa cokelat-manis buatan Ibu. []
Editor: Nuran Wibisono