tirto.id - Iran dan Amerika Serikat sedang berseteru setelah kematian Jenderal Qassem Soleimani. Perseteruan ini membuat Iran melakukan serangan balik ke markas militer AS di Irak.
Kendati demikian, SCMP mewartakan, hubungan bilateral antara Cina dan Iran masih tetap intens di tengah kemarahan pimpinan Iran terhadap kematian Jenderal Solemaini yang terbunuh oleh pasukan AS.
Cina, yang telah berjanji kepada Iran, menyatakan bahwa mereka tetap memegang komitmen bilateral mereka dengan Iran. Zhai Jun, perwakilan khusus Cina untuk Timur Tengah mengunjungi Teheran untuk dialog keamanan pada Senin (5/1/2020) dan Selasa (6/1/2020).
Zhai menyatakan bahwa beberapa negara mencoba ikut memprovokasi masalah ini. Cina selama ini telah menjadi rekan perdagangan Iran, namun impor minyak Iran ke Cina berkurang drastis karena sanksi dari AS. Data yang dihimpun dari Administrasi Umum Cina, November 2019 Cina mengimpor 547,758 ton minyak Iran, menurun dari 3,07 juta ton pada April 2019.
Pertukaran perdagangan Cina dan Iran pada 2018 mencapai 35,13 miliar dolar AS, dengan minyak mengambil nilai separuhya atau sekitar 15 miliar dolar AS.
Laporan dari Stockholm Internatinal Peace Research Institute, Cina adalah satu dari tiga pemasok terbesar Iran untuk urusan militer. Cina mengekspor 269 juta dolar persenjataan militer dari 2008 hingga 2018.
Selama perang Iran-Irak yang berlangsung delapan tahun pada 1980-an, Cina memasok perangkat militer ke Iran, sedangkan AS, Uni Soviet, dan negara "super power" lainnya, seperti Perancis mendukung Irak dengan menyuplai perlengkapan militer.
Sejak November lalu, ketika AS menjatuhkan sanksi ekonomi ke Iran, negara tersebut justru makin ambisius untuk mengembangkan persenjataan nuklir untuk menjadi negara dominan secara militer di wilayah Timur Tengah, demikian seperti dilansir Military.
Pernyataan tersebut diumumkan dalam pertemuan singkat Pentagon yang membahas draft Iran Military Power yang dirilis oleh Agen Intelijen Pertahanan.
Cina dan Rusia disebut-sebut sebagai pemasok segala kebutuhan militer, dari tank, pesawat tempur, hingga peralatan pengembangan nuklir. Ketika sanksi ekonomi dijatuhkan terhadap Iran, Iran disebut belum memiliki senjata nuklir apa pun, namun tetap menjadi ancaman bagi AS.
Namun, pada 5 Desember 2019, CNN memberitakan, duta Perancis, Jerman, dan Inggris Raya sama-sama menduga bahwa Iran memiliki aktivitas militer terkait senjata nuklir. Ketiga negara ini kemudian mengirim surat kepada PBB untuk melakukan investigasi lanjutan.
Setelah kabar kematian Soleimani tersiar, rudal balistik ditembakkan dini hari waktu setempat tersebut menyasar dua markas militer AS di Al-asad dan Erbil menjadi peringatan balasan dari Iran.
Cina juga dikabarkan melakukan perdagangan dan kerja sama militer lewat pihak ketiga, seperti Korea Utara, namun hal tersebut dikategorikan oleh Iran sebagai bentuk dukungan kritis.
Laporan yang dirilis lembaga non-profit, RAND menyebutkan, ada keterlibatan Cina terhadap pengembangan persenjataan nuklir di Iran, meskipun sebagian besar bantuan tersebut pada prinsipnya diarahkan pada penggunaan energi nuklir oleh warga sipil.
Bantuan dari Cina ini dipandang penting bagi Iran dalam mengembangkan kemampuan pertahanannya, meskipun ada sanksi internasional yang terus berulang. Seperti, pada tahun 2007 saat melakukan embargo senjata, tiga thun setelahnya PBB melarang ekspor sebagian besar senjata konvensional utama ke Iran.
Pada 2015, Dewan Keamanan PBB meluncurkan Resolusi 2231, yang memberikan sanksi terhadap Iran soal program misil balistik selama delapan tahun. Sedangkan, pada 2016 Cina menandatangani perjanjian dengan Iran untuk mendongkrak pertahanan dan operasi militer serta melawan terorisme.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Alexander Haryanto