tirto.id - Sejumlah kejadian berlangsung setelah 644 buruh PT Alpen Food Industry (AFI), produsen es krim Aice, mogok kerja pada 17 November sampai 2 Desember 2017. Pada Senin (4/12) kemarin, buruh duduk satu meja dengan Komisaris Perusahaan Zhang Li serta HRD Director PT AFI. Sejumlah hal dibahas, terutama terkait tuntutan yang jadi aspirasi pemogokan: kenaikan status kerja dari kontrak ke karyawan tetap.
Buruh berhak menuntut perubahan status ini karena mereka bekerja di bisnis inti perusahaan, yaitu memproduksi es krim. Ihwal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, maka yang bekerja di bisnis inti harus karyawan tetap.
Selain itu, pada pasal 10 soal ketentuan kerja harian atau pekerja lepas, yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor Kep.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu. Para pekerja (kerja harian atau pekerja lepas) maka statusnya berubah jadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap karena telah bekerja 21 hari dalam sebulan selama tiga bulan berturut-turut.
Sylvana Zhong Xin Yun, humas Aice Group Holdings Pte. Ltd, perusahaan induk PT AFI, mengatakan bahwa tuntutan buruh akan dipenuhi. "Perusahaan setuju untuk mengangkat semua jadi karyawan tetap, dengan mengikuti segala peraturan yang berlaku," katanya kepada Tirto, Selasa (5/12) kemarin. "Tinggal dituangkan dalam Perjanjian Bersama," tambahnya.
Baca juga:Es Krim Murah Aice: Menggandeng Para Seleb, Mengabaikan Hak Buruh
Sylvana tidak menjawab ketika ditanya apakah pengangkatan berlaku untuk semua buruh yang mogok atau tidak. Ia juga tidak menjawab kapan persisnya proses pengangkatan tersebut akan dilakukan. Sylvana hanya menyebut perusahaan akan memberikan jawaban resmi atas pertanyaan tersebut dalam siaran pers. Namun sampai berita ini ditulis siaran pers tidak kunjung kami terima.
Buruh sangsi janji ini bisa ditepati. Agus, yang juga aktif mengorganisir pemogokan, mengatakan bahwa perusahaan tidak pernah berjanji mengangkat seluruh pekerja yang mogok. Perusahaan hanya akan mengangkat buruh yang dianggap berprestasi dan telah dilanggar haknya. "Disortir, padahal semua anggota serikat telah dilanggar haknya," kata Agus.
Untuk menyeleksi mana karyawan yang dianggap layak, menurut Agus pihak perusahaan malah meminta berkas dari serikat pekerja. "Memang perusahaan tidak punya berkas karyawan sendiri?" tanya Agus.
Keraguan soal perusahaan bakal benar-benar menepati janji bukan tanpa alasan, karena hal semacam ini bukan kali pertama terjadi. Perusahaan kerap berjanji mengangkat sekian karyawan kontrak, tapi jumlahnya terus mengecil. Perusahaan, misalnya, pernah berjanji mengangkat 300 karyawan kontrak, lalu pada 18 November, ketika pemogokan berlangsung, beredar pesan pendek ke ponsel buruh yang isinya kesediaan perusahaan mengangkat 200 pekerja sebagai karyawan tetap. Jumlah yang dijanjikan masih jauh dari jumlah buruh Aice yang mencapai 1.233 orang.
"Dulu bilang siap angkat 300, lalu 173, turun lagi 172, turun lagi 171," katanya.
Agus, bersama serikat pekerja yang turut dalam pemogokan seperti Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (Sedar) dan Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) menolak proses seleksi dan verifikasi dalam pengangkatan karyawan tetap.
"Ini diskriminasi bung," katanya.
Proses perundingan juga berjalan alot. Serikat pekerja tidak ingin berunding sepanjang masih ada pemecatan atau gaji tidak dibayar utuh. Menurutnya sering terjadi upah dibayar berdasarkan kehadiran, sehingga bila seorang pekerja tidak masuk atas alasan apapun, maka tidak akan dapat bayaran.
Namun, Agus mengatakan sisa gaji dijanjikan oleh perusahaan akan ditransfer. "Tapi info teman-teman belum ada yang masuk [ke rekening]," kata Agus.
Persoalan-persoalan semacam ini masih jalan buntu bagi pekerja dengan manajemen. Sehingga, jika tidak ada kemajuan berarti buruh akan kembali mogok kerja 12 Desember nanti.
Pernah Keluar Surat PHK
Pada 30 November, atau beberapa hari sebelum pemogokan selesai, keluar surat pemutusan hubungan kerja (PHK) seorang buruh bernama Verra Aryani, dengan tanda tangan dari HRD Yosafat Febri Kriscahyo. Surat dengan nomor 3515/S-PK/AFI/XI/2017 menyebutkan Verra bersalah karena melakukan "mogok kerja tidak sah." Verra juga disangkakan bersalah karena tetap mogok meski telah dipanggil bekerja kembali pada 23 November dan 27 November.
Seperti yang tertulis dalam surat itu, tindakan tersebut dianggap sebagai perbuatan mangkir sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 168 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sarinah, Juru Bicara Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (Sedar), mengatakan bahwa surat itu sudah dicabut pasca pertemuan dengan komisaris PT AFI. Sarinah mengatakan kalau setelah surat diterima, serikat langsung protes dan mengirim somasi ke HRD karena menganggap pemogokan mereka legal. Aturan yang ada menyebut buruh yang mogok tidak boleh diputus hubungan kerjanya.
"Serikat menilai keberadaan HRD ini hanya memperumit persoalan. Dalam pertemuan dengan komisaris, HRD juga ditegur," katanya.
Humas PT AFI Sylvana mengatakan surat tersebut keluar karena "kesalahan administrasi". Ia bilang kalau perusahaan akan selalu berkomunikasi dan bernegosiasi ke serikat untuk urusan seperti ini.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra