tirto.id -
"UU 34 2014 memberi rambu-rambu bahwa BPKH tidak bisa begitu saja menginvestasikan di beragam hal. BPKH harus membuat renstra lima tahun yang dirincikan per tahun dan harus mendapatkan persetujuan dari DPR RI," kata Lukman usai diskusi Forum Merdeka Barat di Kantor Kemenkominfo, Sabtu (5/8/2017).
Menurutnya undang-undang itu adalah rambu-rambu yang mesti ditaati oleh BPKH agar tidak mengelola dana haji dengan wewenang yang berlebih. Sebab, menurut Lukman, dana haji adalah hak dari para jamaah haji yang kemanfaatannya mesti kembali kepada mereka.
Lukman pun menjelaskan bahwa komponen dana haji meliputi setoran awal para jamaah, nilai kemanfaatan setoran, dan dana abadi umat yang selama ini tidak tersentuh sejak terjadi kasus korupsi di zaman Menteri Agama Suryadharma Ali.
"Seluruh dana itu yang akan dikelola oleh BPKH. Kami sudah menyiapkan laporan untuk serah terima seluruh dana itu akhir Agustus ini. Kedua secara lebih detil dan lebih rinci setelah masa haji sekarang, yaitu akhir oktober," kata Lukman.
Dari rincian tersebut, dana haji yang terkumpul per 30 Juni 2017 mencapai angka Rp99,34 triliun yang terdiri dari nilai manfaat sebesar Rp96,29 triliun dan dana abadi umat sebesar Rp3,05 triliun.
Dana tersebut selama ini telah diinvestasikan sebagai dana subsidi haji sebesar 50 persen dari biaya yang harus dibayarkan setiap jamaah sebesar Rp68 juta. Sehingga, jamaah hanya membayar Rp34 juta.
Namun, berdasarkan UU nomor 34 tahun 2014 sesungguhnya dana haji bisa dikelola oleh BPKH dalam bentuk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya.
Investasi tersebut dapat dilakukan dengan mekanisme sukuk negara melalui private placement sesuai dengan nota kesepahaman antara Kemenag dan Kemenkeu pada 2009.
Berdasarkan hal itu, agar investasi dana haji aman, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro harus memilih investasi yang minim risiko tapi memberi kemanfaatan yang tinggi.
"Pastikan imbal hasil investasi dana kelolaan haji untuk kemaslahatan jemaah, kami juga dalam menginvestasikan menggunakan prinsip kehati-hatian dan memiliki nilai manfaat likuiditas dan kesesuaian prinsip syariah," kata Bambang dalam forum diskusi yang sama.
Salah satu contoh yang menurut Bambang aman adalah proyek pengelolaan listrik. Dana haji diinvestasikan untuk pembangkit listrik yang sudah memiliki Power Purchase Agreement (PPA) atau perjanjian jual beli daya listrik.
"Pembangkit listrik yang sudah memiliki PPA pasti akan dibeli listriknya oleh PLN. Jadi tidak akan merugi. Aman," kata Bambang.
Bambang juga menyebut dengan adanya investasi dana haji, nilai kemanfaatan tidak akan hanya dirasakan jamaah haji dalam bentuk diskon biaya pemberangkatan. Melainkan, menurutnya, seperti di Malaysia, jamaah juga akan mendapat keuntungan dari investasinya dalam bentuk lain.
"Karena dana milik calon haji tidak boleh berkurang. Justru harus ada manfaat lebih dari badan pengelola keuangan haji," jelas Bambang.
Selain itu, Bambang menyebut bahwa sistem sukuk atau (Surat Berharga Syariah Negara) SBSN sudah tepat karena mengisyaratkan investasi tidak langsung. Karena, dengan begitu dana haji akan menjadi tambaham pembiayaan APBN yang akan diinvestasikan ke perusahaan negara dan pembangunan infrastruktur.
"Kalau mau bangun jembatan bisa pakai itu," katanya.
Dirjen pengelolaan pembiayaan dan risiko kementerian keuangan sendiri mencatat hingga 12 Januari 2017, outstanding sukuk dana haji Indonesia (SDHI) mencapai Rp36,7 triliun yang diperkirakan akan menguntungkan negara apabila dana tersebut ditempatkan dalam SBSN.
Karena, menurut pemerintah, akan lebih aman bila disimpan sebagai SBSN dalam rentang waktu tunggu keberangkatan yang mencapai 32 tahun.
Senada dengan pemerintah, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam menyatakan investasi dana haji adalah sah secara normatif untuk menghindari mubadzir, sesuai dengan ijtima MUI pada 12 Juli 2012.
"Ini boleh ditasyarofkan (didayagunakan) demi produktifitas dengan kepatuhan syariat. Kalau didiamkan lalu menjadi mubadzir malah dosa," kata Niam dalam diskusi tersebut.
Menurut Niam kepatuhan syariat salah satunya dalam pengelolaan dana itu mesti menggunakan mundzir (petugas) dalam pengelolaannya yang ada di dalam nadzir (lembaga) sebagai sebuah bentuk pengawasan.
"BPKH ini adalah nadzirnya. Jadi mundzirnya juga sudah jelas. Harusnya dana tersebut sudah bisa ditasyarofkan. Karena sudah ada sistem yang mengawasi," kata Niam.
Sementara, yang disebut sebagai munazir adalah karena dana setoran tersebut masih berstatus milik jamaah yang akan sia-sia bila hanya tersimpan saja.
"Di Malaysia bagi hasil pengelolaan dana haji bisa mencapai 6 persen untuk jamaah," kata Niam.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Akhmad Muawal Hasan