Menuju konten utama

Memperkarakan Fintech P2P Lending Bermasalah

Fintech P2P lending kian menjamur, dan pada saat yang sama makin banyak pula korbannya.

Memperkarakan Fintech P2P Lending Bermasalah
Ilustrasi fintech lending. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Dulu, ketika membutuhkan uang, seseorang bisa meminjam ke saudara, kerabat, atau tetangga. Atau ketika butuh dana dalam jumlah besar, koperasi atau bank biasanya jadi tumpuan harapan.

Kini, di era teknologi yang kian canggih, meminjam uang tak perlu repot-repot lagi. Uang bisa didapat hanya dengan menyentuhkan jari pada layar ponsel pintar via aplikasi yang disebut fintech peer to peer (P2P) lending.

Perencana keuangan dari Mitra Rencana Edukasi, Andy Nugroho, mengatakan peminjaman uang melalui jalur P2P lending semakin banyak diminati masyarakat lantaran lebih mudah dan cepat, serta terbuka untuk nominal yang kecil, yang sulit didapat pada jasa peminjaman konvensional.

"Bila dibandingkan dengan meminjam dana dari bank, yang mana dibutuhkan sekian banyak dokumen dan persyaratan, meminjam dana dari fintech dokumen yang dibutuhkan sedikit sekali. Setelah semua dokumen lolos verifikasi, dana langsung ditransfer ke nasabah. Jadi memang sederhana dan cepat," kata Andi kepada reporter Tirto, Jumat (14/12/2018) pagi.

Fintech P2P lending pun kian menjamur. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat saat ini jumlahnya mencapai ratusan. Namun sayangnya, tak semua fintech itu resmi atau terdaftar. Menurut OJK, hingga Oktober 2018, hanya 73 perusahaan P2P lending yang terdaftar secara resmi.

Selain tidak resmi, banyak pula penyedia jasa pinjaman daring itu yang 'jahat' kepada para nasabahnya. Alih-alih mendapat manfaat, meminjam lewat jasa P2P lendingmalah berujung penyesalan. Itu terbukti dari banyaknya laporan pengaduan yang diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, yang hingga November 2018 mencapai 1.330 korban.

Masalahnya, menindak perusahaan P2P lending yang nakal itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. OJK sendiri cuma bisa menindak P2P lending yang telah terdaftar saja.

"Kalau yang ilegal, itu bukan wilayah OJK. Itu wilayahnya Satgas Waspada Investasi," kata Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi, ketika menjamu LBH Jakarta di kantornya, Jumat (14/12/2018).

"Apabila ada P2P kami yang terlibat, tak segan kami akan mencabut hak terdaftarnya," ujar Hendrikus.

Hendrikus mengatakan, hal tersebut sesuai dengan Pasal 47 Peraturan OJK Nomor 77 Tahun 2016. Di sana disebutkan bahwa pengawasan OJK terbatas pada P2P lending yang terdaftar saja.

Berdasarkan data pengaduan yang diterima LBH Jakarta, dari total 89 P2P lending yang melalukan pelanggaran, 25 di antaranya sudah terdaftar di OJK. Namun, meski sudah teridentifikasi, OJK tetap tak dapat menindak lantaran sejauh ini LBH belum memberikan data yang jelas.

"Begitu ada bukti yang sah, kami tidak akan ragu mencabut izinnya. Sejauh ini kami cuma diberi inisial. Tentu ketika kami ingin mengambil tindakan, kami butuh informasi yang detail," kata Hendrikus.

LBH sendiri mengaku tidak dapat membocorkan identitas P2P lending yang melakukan pelanggaran demi menjaga kerahasiaan data diri para pelapor.

"Karena pada formulir pengaduan, kami menjamin kerahasiaan data konsumen," ujar Pengacara Publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sari ketika ditemui reporter Tirto, Jumat (14/12/2018) siang.

Perihal pernyataan OJK yang hanya berwenang menindak P2P yang terdaftar, Jeanny punya pandangan lain. Seharusnya, kata Jeanny, semua penyedia layanan jasa keuangan menjadi tanggung jawab OJK.

Jeanny mendasarkan pendapatnya pada Pasal 6 UU Nomor 21 Tahun 2011, bahwa OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap a) kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; b) kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal; dan c) kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

"Kita tidak bisa bicara soal yang terdaftar dan tidak terdaftar," imbuh Jeanny.

Diblokir Kominfo

Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kemkominfo, Semuel Abrijani memastikan akan memblokir seluruh layanan P2P lending ilegal tersebut. Namun, untuk pelanggaran hukum yang dilakukan P2P lending tersebut, kata dia, tetap menjadi wewenang kepolisian.

"Kami tinggal tutup website-nya, atau blokir aplikasinya. Mudah saja bagi kami melakukan pemblokiran, asal ada laporan jelas. Kami bisa menghubungi Google sebagai penyedia aplikasi untuk memblokir aplikasi [P2P] yang bermasalah," kata Semuel ketika dihubungi reporter Tirto, Jumat sore.

Terpisah, Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing mengimbau agar masyarakat tak segan mengadu ke mereka atau ke polisi jika mendapati pelanggaran yang dilakukan oleh layanan P2P lending.

"Kalau ada laporan fintech ilegal sampaikan kepada kami. Kami akan lakukan pemblokiran dan pengumuman pada masyarakat," ujarnya.

Tongam meminta masyarakat untuk proaktif melapor, supaya penyedia jasa P2P lending yang melakukan pelanggaran dapat diproses hukum.

"Karena para korban telah diteror dalam penagihan, diintimidasi dengan cara tak beretika," kata Tongam.

Baca juga artikel terkait FINTECH atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abul Muamar