tirto.id - Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta
["Nisan" (1942), Chairil Anwar]
Pemimpin sering dihadapkan pada dilema. Dan namanya juga anak buah, yang banyak jumlahnya, yang bervariasi latar belakangnya, yang bermacam ragam aspirasinya, dan sebagian bahkan merasa dirinya pun mampu memimpin, maka ada saja yang bergembira melihat pemimpinnya dalam kesukaran itu.
Ada yang usil melemparkan isu sensitif untuk menambah ruwet suasana yang sudah ruwet. Ada yang nyukurin dan diam-diam mengutuk "rasain kau" sambil cekikikan. Dan ada pula yang menguji ketegasan sang pemimpin: setegas apa dia mengatasi dilema tersebut.
Anak buah yang usil memang selalu begitu. Mereka cenderung mencari yang mudah dan kasat mata. Sebenarnya ini bukan suatu kecenderungan, tapi gambaran nalar yang cupet. Jarang ada yang bertanya seindah apa seorang pemimpin meloncat dari kungkungan dilema. Atau sebijaksana apa dia memainkan the art ofleadership di kantornya sendiri. Kurang lebih ini menanyakan: adakah wisdom dalam leardership-nya?
Boleh jadi sebenarnya mereka itu tidak tahu apa-apa. Ini suatu keniscayaan dalam hidup, khususnya di dunia birokrasi. Anggapan "tak tahu apa-apa" itu bukan sebuah kemustahilan. Alam mengajarkan agar kita menandai orang yang banyak bicara biasanya hanya sedikit isi pikirannya. Nenek moyang kita bahkan menyebutnya dalam peribahasa yang terkenal: tong kosong berbunyi nyaring.
Mereka biasanya kelas 'anak buah'. Kategori demografi politiknya disebut golongan 'pengikut'. Mereka bolo dupak yang belum pernah kelihatan penting. Bahasa filmya jelas: figuran yang dibayar murah.
Tapi ada pula yang memilih diam. Ini tipe anak buah yang mirip padi menguning di sawah. Pribadinya sudah menep, mengendap. Dia tak mau ikut sana-sini yang sinis pada pemimpinnya. Tapi juga bukan golongan oportunis yang mencari muka. Dia hanya taat mengikuti prinsipnya sendiri.
Pemimpin yang paham akan fenomena ini biasanya tidak gugup. Dia membolehkan anjing menggonggong sepuasnya. “Welcome semua kritik. Kemarikan semua keluhan. Ayo, lempar ke sini. Semua. Semua. Jangan sisakan isi perutmu,” bisiknya dalam hati. Pemimpin boleh jengkel. Boleh juga menantang sesekali. Tapi tak perlu menyimpan dendam.
Semua dihadapi. Semua diberi perlakuan sesuai jenis orangnya dan apa maunya. Jelas ada nego di dalamnya. Tapi nego yang peaceful. Dan jarum jam leadership wisdom-nya menunjuk ke arah kiblat yang adil, yang disebut ‘win-winsolution’ itu. Pemimpin kharismatik boleh tampak muter ke sana ke mari, tapi damai dan adil dalam paket win-win solution—itu yang hendak dicapai.
"Sepatu" Pak Jakob Terlalu Besar?
Uraian di atas dirumuskan buat menggambarkan karakter kepemimpinan Pak Jakob—maksudnya almarhum Jakob Oetama—yang sekarang sedang duduk di bawah cahaya terang. Kita menduga, bebas dari keruwetan manajemen dan tak lagi memanggul dilema human relations di kantor, pasti membikin beliau lega. Dan otomatis tinggal sumeleh tulen. Tapi idiom manis ‘rest in peace’ itu seperti apa, kita tak tahu, dan mungkin tak perlu tahu. Jangan pula ditanya dunia "sana" itu seperti apa.
Tapi tiap kali kematian terjadi, kita—siapapun kita itu—tetap dirundung duka. Apalagi jika yang meninggal adalah orang tercinta, yang terdekat di hatinya. Penyair Chairil Anwar konon merasa orang terdekat di hatinya hanya neneknya. Maka ketika sang nenek wafat, dia menulis puisi dengan judul "Nisan", yang nukilannya disajikan di awal esai ini.
Kepergian Pak Jakob tak terlalu mengejutkan. Kita boleh menganggap kematian itu bukan peristiwa dadakan. Semua yang tercinta dan yang mencintainya, di dalam keluarga inti maupun keluarga besarnya, termasuk ribuan orang di Kelompok Kompas-Gramedia, seperti sudah dipersiapkan untuk ikhlas melepas kepergiannya. Semua diminta siap, "menerima segala tiba", seperti kata Chairil dalam puisi di atas. Tapi masih saja muncul guncangan jiwa—juga seperti puisi Chairil itu—"Tak kutahu setinggi itu atas debu". Semua merasakan "duka maha tuan bertakhta". Dan makin mengingat kebaikan Pak Jakob, kita merasakan duka yang maha tuan bertakhta itu bukan ilusi. Dan orang senang menempatkan kebaikan-kebaikannya itu dalam dunia mitos. Mungkin bahkan sejak lama.
Ada yang menyadari Pak Jakob meninggalkan "sepatu" yang terlalu besar. Seolah-olah yang ditinggalkannya harus dan wajib memakai "sepatu" itu. Jarang yang bicara bahwa "sepatu" Pak Jakob hanya untuk Pak Jakob, di zaman beliau yang sudah lewat. Di masa sesudah beliau pergi, zaman sudah berubah dan ukuran "sepatu" tak harus seukuran "sepatu" beliau. Jadi ukuran "sepatu" ini bukan lagi isu manajemen.
"Sepatu" kecil bisa saja bukan masalah. Kecil tapi banyak jumlahnya boleh jadi sama dengan satu yang berukuran besar. Kalau satu orang tak mungkin mampu mengganti beliau, maka disiapkanlah lima orang. Dan kalau lima masih belum cukup, seharusnya masih ada beberapa lagi kader yang harus melengkapinya hingga tak lagi ada masalah. Kita boleh membiarkan "duka maha tuan bertakhta", tapi tak usah lama-lama.
Apabila akal sehat dan kreativitas kita bertanya, apa legacy yang ditinggalkan Pak Jakob buat kita, masyarakat umum yang bukan bagian dari Kompas-Gramedia? Dan jika kita bermaksud mengkapitalisasikannya sebagai teladan, ini lebih penting dari ratapan duka. Beliau boleh pergi, tapi bisnis, kebesaran, pengaruh politik, kebaikan hati, dan rasa syukur yang tak henti-hentinya itu wajib dijaga. Legacy Pak Jakob diolah menjadi pelajaran. Keliru kalau ia hanya menjadi bacaan pemujaan yang malah memperdalam duka itu.
Jangan lupa, ketika ditinggalkan Pak P.K. Ojong, Pak Jakob tak mengeluh tentang "sepatu" yang kebesaran. Betul, kelihatannya keluhan itu tak ada karena Pak Jakob hanya ingin memakai "sepatu" beliau sendiri. Pak Jakob pun tahu dirinya tidak tahu. Dan ketika terdengar suara-suara meragukan kemampuannya sebagai pemegang kemudi kapal besar Kompas itu, Pak Jakob tak tersinggung.
“Saya sudah tahu bahwa saya tidak tahu. Maka saya pun belajar. Dan saya menggalang kerja sama. Namanya juga orang yang tak tahu,” kata Pak Jakob yang memandang ‘kerja sama’ adalah kata kunci penting.
"Anda akan memimpin kantor. Jangan lupa bahwa kita ini tidak tahu. Dan ajak orang lain untuk bekerja sama”. Itu kata-kata Pak Jakob ketika saya akan memimpin Kantor Berita Nasional Antara. Saya sengaja minta waktu bertemu beliau untuk mendengarkan pitutur seni mengelola kantor. Seni leadership.
“itu baru satu hal. Ada yang lain: 'talang' yang menampung; lalu lintas keuangan jangan boleh bocor,” kata Pak Jakob lagi.
Dan saya mencatat. Ini bukan sekadar pelajaran dalam buku-buku manajemen, tapi petikan pengalaman nyata yang dihayati sendiri secara mendalam. Saya berterima kasih. Beliau meninggalkan jejak sejarah dan sejarah leadership itu yang penting kita pungut sebagai kearifan dari generasi yang telah teruji.
Tak Mudah Jadi Pak Jakob
Menjadi Pak Jakob pasti tak mudah. Hidupnya penuh persaingan. Beberapa di antaranya sangat keras. Di dunia jurnalistik ada saja yang tak rela beliau disebut 'ikon pers'. Ada sikap saling mengejek. Dan barang siapa mengalah untuk memilih bekerja tekun, biasanya dia menang. Ada pula yang mengkritik: manajemen Pak Jakob dianggap hanya cara menyenangkan semua orang. Pak Jakob tak peduli.
Win-win solution itu cara bijak menyelesaikan masalah. Tampaknya ini yang dianggap model kepemimpinan yang mengayomi, yang beliau sebut dengan rasa bangga itu. Pengalaman mengajarkan win-win solution membuat tiap masalah terpecahkan dengan baik. Semua pihak sama-sama menerima, sama-sama lega.
“Ya itulah kemampuan maksimal yang bisa kita wujudkan,” kata Pak Jakob di ulang tahunnya yang meriah dulu, yang menekankan rasa syukur tiada akhir itu.
Wilayah leadership itu di mata beliau bisa diperluas. Pak Jakob tahu redaksi sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Tiap penulis Kompas sudah diberi apresiasi dengan baik, dengan honor yang layak. Dan hubungan baik dengan para penulis dirawat Pak Jakob seperti ahli pertamanan menjaga kebun bunga. Seni kepemimpinan dan prinsip win-win solution ala Pak Jakob yang telah saya uraikan masih berkaitan dengan sesuatu yang sifatnya legal-formal, tapi di balik itu ada hal lain yang sangat menonjol dari Pak Jakob: sentuhan rasa dan kelembutan.
“Redaksi menganggap urusan dengan anda sudah kelar. Tapi bagi saya belum. Masih ada suatu celah apresiasi yang belum tersentuh. Dan redaksi memang tak memanggul kewajiban birokrasi seperti itu. Itu tugas saya,” kata Pak Jakob memberikan latar belakang kemurahan hatinya ketika saya ditawari sebuah mobil—sesuatu yang tak pernah saya bayangkan. Dan saya terima mobil itu sebagai uluran tangan dunia gaib, dengan terima kasih yang dalam. Mungkin dalam sekali.
Pak Jakob ingin agar tulisan di halaman Opini Kompas bukan artikel yang cenderung kaku, sering agak akademis dan otomatis terasa kering. Di halaman itu seharusnya ditampilkan esai-esai yang gagasan dasarnya segar, baru dan dinamis, dan kelincahan bahasanya lahir dari pemikiran reflektif. Esai harus menggugat segenap kemapanan dan jenaka menawarkan pilihan cara pandang baru. Syukur kalau sedikit "subversif" agar nalar kita selalu segar. Buku saya, Kang Sejo Melihat Tuhan (1993), waktu itu baru saja terbit dan Pak Jakob rupanya sudah membacanya.
“Kalau esai-esai anda saya tahu, Bung. Saya tak perlu berkomentar. Anda ini boleh, lho,” katanya lagi dan saya merasa agak malu tapi juga sedikit bangga.
Kompas dikritik pedas banyak kalangan karena kebijakan editorialnya. Harian ini dianggap mengkritik tapi tidak mengkritik. Bahasa kritiknya tak jelas dan terlalu muter-muter dalam wisdom Jawa yang kabur menurut, misalnya, cita rasa Rosihan Anwar atau Mochtar Lubis yang to the point dan blak-blakan apa adanya. Kritik itu pahit, tapi ditelan oleh Pak Jakob. “Ya lihat saja lah nanti bagaimana hasilnya,” begitu jawaban Pak Jakob yang lebih banyak disimpan dalam hati. Untuk beberapa hal macam ini, beliau memang tak terlalu ekspresif. Pilihannya serba simbolik dan menggambarkan cita rasa serba lembut.
Ketika koran-koran yang berani itu diberedel Orde Baru dan Kompas tidak, Pak Jakob akhirnya merasa perlu untuk berkata: “Anda berani tapi apa sarana perjuangan anda sekarang?” Dan tak ada yang bisa menjawab. Kurang lebih Pak Jakob ingin menekankan argumen: "ngeritik ya ngeritik, ning ojo..." Ini penting karena kita perlu hidup. Secara teknis kompromi sedikit tak mengapa. Ini bagian dari taktik perjuangan.
Apa Pak Jakob lalu merasa dirinya unggul? Ah, permainan belum selesai, bukan? Dan suatu hari, menurut cerita Pak Jakob sendiri, Menteri Penerangan Harmoko membimbingnya untuk dipertemukan dengan Presiden Soeharto di ruangannya, dalam suatu peringatan hari pers nasional yang meriah. Apa sambutan Bapak Presiden? Ia menghardik Pak Jakob.
“Ojo meneh dimeneh,” kata Bapak Presiden. Maksudnya jangan sekali kali diulang lagi. Apa yang tak boleh diulang itu? Kritik. Rupanya Kompas mengkritik dan sehalus apa pun kritik penguasa Orde Baru itu tak berkenan di hati. Dan Pak Jakob pun, apa boleh buat, mundur dengan rasa getir dari ruangan penggede yang tak tersentuh itu. Masih untung hanya dimarahi, bukan diberedel.
Apalagi ketika Pak Jakob menghadapi para tokoh Islam politik yang merasa "dunia ini milik mereka". Ada saja yang dianggap selalu salah dan Kompas yang ditekan. Kalau kantor di Palmerah Selatan itu digeruduk "prajurit bawahan" yang mengerikan jumlahnya, sebenarnya Pak Jakob tak gentar. Selalu ada jawaban rasional untuk mengurai keruwetan. Kompas tak kekurangan orang rasional. Tapi masalahnya—ini yang bikin ngelu—para "prajurit bawahan" itu selalu lupa membawa kemampuan rasional. Dan Pak Jakob yang bijak tak perlu meruwetkan diri. Beliau mengalah. Dan ketika ada lagi yang dianggap salah, Pak Jakob ngalah lagi.
Apakah itu karena "wani ngalah luhur wekasane"? Dalam kehidupan nyata, boleh jadi dalil macam itu terlupakan. Tapi nyatanya kalah hari ini tak masalah. Besok atau besoknya lagi atau bulan depan, pasti muncul momen kemenangan. Kompas dipuntir-pintir sak kayange menjadi 'komando pastur', Pak Jakob mengalah. Silakan sak karepmu. Dihina tak berarti terhina, kan?
Sekali lagi, menjadi Pak Jakob itu tidak mudah. Sebanyak itu anak buahnya, hanya segelintir yang tahu bahwa demi menjaga hidup Kompas, juga menjaga strategi perjuangan, Pak Jakob rela menelan perlakuan macam itu. Mungkin Pak Jakob ngelu, tapi itu lalu dianggap perkara kecil demi perjuangan yang lebih besar.
Saya pun sering mendengar kritik bahwa Pak Jakob selalu "bermain di jalan tengah" dalam urusannya menampilkan Kompas. Itu memang kelihatan bijak, tapi orang bilang sebenarnya karena Pak Jakob takut. Ringkasnya, ketakutan itu dibungkus sikap bijak. Dan Pak Jakob enggan berkomentar. Ini sejenis hinaan yang diam-diam ditelan sendiri betapapun getirnya.
Tak mudah menjadi Pak Jakob. Mungkin anak buahnya berbangga memiliki pemimpin yang dalam banyak hal siap mengambil tanggung jawab sulit. Dalam pengalaman leadership yang panjang, Pak Jakob tampak seperti pohon rindang yang mengayomi begitu banyak pihak di kantor, sekaligus menjadi "ayah" bagi mereka semua, tanpa mengeluh atas segenap konsekuensi kepemimpinannya. Tapi beliau sudah tak bersama kita lagi dan banyak yang betul-betul merasa kehilangan.
Mereka yang sudah matang bicara tentang mendoakan dan melepaskan dengan ikhlas kepergian beliau. Tapi makin ikhlas, mereka makin sadar kematian bukan sebuah ilusi. Mereka berbisik lewat hati Chairil Anwar: "Tak kutahu setinggi itu atas debu." Kemudian berusaha menahan "duka maha tuan bertakhta."
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.