tirto.id - Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965) adalah masa yang panas bagi golongan antikomunis. Mereka kesulitan melawan narasi kaum komunis di media massa. Kaum komunis punya koran yang sulit ditandingi, Harian Rakjat namanya. Golongan antikomunis tentu tak patah arang. Terpikir di benak Letnan Jenderal Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk membuat media alternatif di kalangan orang-orang Katolik.
“Ide Jenderal Yani tersebut berkembang di kalangan pimpinan Partai Katolik, tetapi dianggap sesuatu yang berat,” tulis Frans Seda di harian Kompas (28/6/1990).
Terberkatilah orang-orang Katolik Indonesia. Pada masa itu mereka punya Jakob Oetama dan Petrus Kanisius Ojong. Keduanya, pada 1963, sudah mendirikan sebuah majalah yang penuh ilmu pengetahuan bernama Intisari.
Akhirnya, meski dirintangi berbagai halangan, sebuah surat kabar bernama Kompas terbit juga pada 28 Juni 1965. Kala itu, seperti dicatat Mamak Sutamat dalam Kompas Menjadi Perkasa karena Kata (2012: 16-17), sebagian perwira menengah Kodam Jaya yang dianggap terpengaruh PKI berusaha mencegah munculnya surat kabar ini.
Setelah Harian Rakjat tak terbit lagi gara-gara G30S, Kompas menjadi koran terbesar dan terpenting di Indonesia. Jakob Oetama mulai jadi orang penting pula setelah 1967. Nama Jakob Oetama dicatat Elliot Haynes, Ketua Business International Corporation (BIC), grup investasi asal AS, dalam Indonesian Diary (hlm. 19) yang belakangan terangkum dalam Arsip Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta 1964-1967 alias Jakarta Embassy Files (RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 31, Folder 10 TP 15 trade and investment opportunities 1967).
Elliot Haynes bertemu Jakob pada 27 November 1967 antara pukul 11.00 hingga 11.45 siang. Jakob datang bersama Ojong. Disebut dalam catatan harian itu bahwa Jakob adalah Editor in Chief Kompas yang beralamat di Pintu Besar 86 (nomor telepon 23667) dan Ojong adalah penerbit.
”Keduanya [Jakob dan Ojong] akan hadir dalam pertemuan meja bundar, tapi sepakat hanya satu yang akan bicara selama 5 hingga 10 menit,” catat Haynes.
Haynes menyebut kala itu mereka berdua memberikan pendapat tentang undang-undang partai politik. Soal kepemimpinan nasional, mereka punya pendapat berbeda dengan Djojopranoto, pimpinan harian Angkatan Bersendjata, namun Haynes tidak menjelaskan dengan persis perbedaan opini itu. Keduanya juga tak lupa menyarankan Haynes untuk mengundang orang-orang dari golongan nasionalis dan sosialis. Setidaknya kala itu ada tokoh media macam Mustafa Mega dari Suluh Marhaen, Zain Effendi dari Jakarta Times, Rosihan Anwar dari kelompok eks-Partai Sosialis Indonesia yang dulu dipimpin Sjahrir, dan Mahbub Djunaidi dari Duta Masjarakat.
Jurnalisme Hati-Hati
Tapi kemudian, setelah hanya beberapa tahun berkuasa, era yang disebut Orde Baru tidak jauh beda dengan era Demokrasi Terpimpin dalam hal pembungkaman terhadap kebebasan pers. Jakob Oetama pun memilih berhati-hati. Kompas, menurut David T. Hill dalam Jurnalisme dan Politik di Indonesia (2011: 126), sama berhati-hatinya dengan koran Sinar Harapan yang dipimpin Aristides Katoppo. “Koran-koran Kristen ini berhati-hati secara politis,” tulis Hill.
Namun Sinar Harapan terpeleset dan tidak pernah muncul lagi selama Orde Baru. Surat kabar yang dianggap "wakil" kalangan Kristen ini diberedel pemerintah pada 1986 setelah memberitakan devaluasi nilai rupiah dan menyoroti rencana pemerintah mencabut izin 44 monopoli impor.
Kompas sendiri pernah nyaris diberedel gara-gara memberitakan tentang unjuk rasa mahasiswa yang menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. "Tanggal 19 dan 20 Januari 1978, Kompas menulis tajuk tentang gerakan mahasiswa itu dan tanggal 21 Januari Kompas dibredel," tulis Helen Ishwara dalam P.K. Ojong: Hidup Sederhana, Berpikir Mulia (2001: 243).
Selama dua minggu Kompas tak terbit. St. Sularto dalam biografi Jakob Oetama, Syukur Tiada Akhir: Jejak Langkah Jakob Oetama (2007: 13), menyebutkanpemerintah kala itu menawarkan “pengampunan”. Pada 5 Februari 1978 pemerintah menawarkan penandatanganan permintaan maaf dan kesetiaan dengan kop surat tertanggal 28 Januari 1978.
Setelahnya Kompas bisa hidup lagi. Sejak itu Kompas pun kian berhati-hati. Rosihan Anwar menyindir gaya hati-hati ala Kompas sebagai 'jurnalisme kepiting'. Gaya jurnalisme Kompas, menurut Rosihan, ibarat seseorang yang tengah menyeberangi sungai tapi tak bisa melihat dasarnya. Ia mesti meraba-raba dengan kakinya apakah ada kepiting di dasar sungai. Jika tidak ada kepiting, ia akan terus melenggang. Jika ada, ia akan mundur pelan-pelan ke tepian.
Tapi justru gaya seperti itulah yang mungkin menyelamatkan Kompas sehingga ia bisa bertahan di segala zaman. Sirkulasi Kompas juga tergolong sangat tinggi di masa Orde Baru.
“Dibandingkan dengan koran-koran lain yang sukses di pasaran, bendera Kompas-lah yang paling lama berkibar sepanjang perjalanan sejarah,” tulis David T. Hill dalam Pers Orde Baru (2011: 101).
Raja Media
Jakob Oetama akhirnya tak hanya mengurusi Kompas dan Intisari. Dia membangun media-media lain berdasarkan prinsip yang sama dengan Kompas: berhati-hati merilis berita agar tidak melewati batas toleransi pemerintah. Imperium media milik Jakob Oetama itu adalah Grup Kompas Gramedia. Grup ini membawahi beberapa surat kabar besar seperti Kompas, Tribun, Kontan, Surya, dan Warta Kota; majalah dan tabloid terkenal seperti Bobo, National Geographic, Kawanku, Motor Plus, Nova, dan Bola.
Kompas Gramedia, melalui Tribun, memainkan pemberitaan di daerah-daerah, seperti dilakukan kelompok Jawa Pos lewat Radar. Ross Tapsel dalam Kaum Oligarki, Warga, dan Revolusi Digital (2018: 65) menyebut Kompas Gramedia dan Jawa Pos tergolong sukses dalam pemberitaan di daerah.
Ketika format surat kabar beralih ke digital, media-media yang bernaung di bawah bendera Kompas Gramedia mengikutinya dengan perlahan-lahan dan, tentu saja, berhati-hati.
Tak hanya media cetak, Kompas Gramedia mulai menjalankan stasiun televisi pula. Pada awal 2000-an Kompas Gramedia pernah punya TV7, yang kemudian diakuisisi grup Trans Corp dan berganti nama menjadi Trans 7. Saat ini, di ranah pertelevisian, kelompok bisnis Jakob Oetama punya Kompas TV. Di dunia penerbitan, penerbit sohor macam Grasindo, Gramedia, Kompas, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), dan lainnya juga terkait dengan imperium bisnis Jakob. Dengan itu semua, gelar Jakob Oetama sebagai "raja media" di Indonesia seperti absah belaka.
Di luar media, Kompas Gramedia memiliki beberapa perusahaan event organizer dan jaringan hotel Santika dan Amaris di beberapa kota di Indonesia. Tisu merek Tessa, Dynasty, dan Multi—yang diproduksi Graha Kerindo Utama—pun terkait dengan Kompas Gramedia. Di bidang pendidikan, kampus Universitas Multimedia Nusantara serta lembaga kursus bahasa Inggris ELTI pun terkait dengan Kompas Gramedia.
Bersyukur adalah Kunci
Jakob Oetama aslinya bernama Jakobus Oetama. Seperti dicatat St. Sularto (hlm. 4), di masa remajanya, setelah lulus SMP Pangudi Luhur Yogyakarta, Jakob belajar di Seminari Menengah hingga lulus pada 1952. Jakob sempat mencoba belajar di Seminari Tinggi, namun hanya bertahan tiga bulan. Dengan begitu, tak mungkin ia jadi pastor. Ia pernah jadi guru SMP di Bogor dan Jakarta sebelum terjun ke media.
Di masa tuanya, Jakob Oetama menjadi orang tua yang layak disebut sebagai guru. St. Sularto (hlm. 117) mencatat, dalam HUT Kompas ke-41 pada 2006 Jakob berpesan: walau dalam keadaan pertumbuhan tidak begitu tinggi, kita wajib bersyukur dan berterima kasih. Tentu saja, dengan pencapaiannya sebagai raja media, sikap itu seperti melekat pada dirinya.
Pada 2009 Jakob Oetama merilis sebuah buku dengan judul Bersyukur dan Menggugat Diri. Di hari ulang tahunnya yang ke-80, dia tak lupa berkata: "Bersyukur! Bersyukur! Ya, bersyukur." Tak heran, judul biografinya yang ditulis St. Sularto adalah Bersyukur Tiada Akhir.
Laki-laki yang rajin bersyukur dan berhati-hati itu tutup usia pada hari ini, Rabu (9/9/2020). Ia menyusul sahabatnya dalam membangun Kompas yang meninggal empat dekade silam, Petrus Kanisius Ojong.
Editor: Ivan Aulia Ahsan