tirto.id - Pantai identik dengan air yang jernih, pasir yang putih, dan sinar matahari yang menyengat. Namun sekitar satu kilometer dari ujung pantai Tanjung Burung, Teluknaga, Tangerang, Banten, dua ciri itu tidak ada. Justru di sana dipenuhi oleh sampah plastik yang menggenang dan menggumpal. Aplikasi peta daring Google Maps pun mencatat lokasi itu sebagai “Pantai Sampah.”
Satu kemungkinan, sampah-sampah itu datang dari aliran Sungai Cisadane. Kemungkinan lain, sampah itu datang dari sungai di Jakarta.
Jakarta memang termasuk kota yang bermasalah dengan sampah. Setiap harinya, Jakarta bisa menyumbang 7.700 ton. Ketika kebijakan kerja dari rumah (WFH) diterapkan, sampah hanya berkurang sekitar 600 ton per harinya.
Untuk mengatasi ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta membuat program Jakarta Recycle Center (JRC). Tujuannya adalah agar masyarakat bisa aktif dalam memilah sampah dan mudah untuk didaur ulang sehingga tidak membebani lingkungan.
“JRC yang diadaptasi dari kota Osaka Jepang merupakan salah satu wujud implementasi dari Peraturan Gubernur Provinsi Jakarta nomor 77 tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga (RW) di mana pemilahan sampah dilakukan oleh setiap rumah tangga,” kata Syaripudin kepada Tirto, Minggu (20/10/2020).
Sejauh ini ada tiga perumahan yang jadi percontohan proyek ini. Pertama adalah komplek perumahan Bukit Mas, kedua kompleks perumahan Ozone dan ketiga Perumahan Taman Alfa Indah. Ketiganya bertempat di Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Program ini melibatkan hingga 1.335 rumah tangga.
Untuk mempermudah prgram ini, DLH telah bekerja sama dengan perusahaan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. Mereka menyumbangkan 36 ribu lembar kantong sampah yang mudah didaur ulang dan ramah lingkungan. Mereka juga menyediakan poster edukasi pemilahan sampah untuk sosialisasi program.
Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu (UPST) DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto menegaskan bahwa program JRC akan terus diperluas. Dia optimistis, program ini bisa mengurangi muatan sampah di Bantargebang.
“Target kami, program ini dapat diimplementasikan oleh seluruh warga Kecamatan Pesanggrahan pada tahun 2023 dan dapat direplikasi ke wilayah lain di Ibukota,” ucap Asep.
Pentingnya Kesadaran Diri
Tiap bulan, perumahan Taman Alfa Indah menyumbangkan 19 ton sampah. Jumlah itu dengan mudah bisa kita lihat menggunung di antara Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang setiap harinya. Sampah itu bukan hanya makanan, tapi juga botol plastik, kardus dan sampah yang sulit terurai lainnya.
Sekitar tiga tahun lalu, Hendra, Ketua RW 07 Taman Alfa Indah, Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan bersama warganya membentuk bank sampah. Sekecil apa pun, dia ingin berpartisipasi untuk mengurangi sampah-sampah plastik yang menumpuk.
Sistemnya mudah, berbagai sampah dipilah berdasar jenisnya secara detail. Sampah botol air botol mineral misalnya di harga Rp1000/kg. Sampah kaleng aluminium bisa lebih dari itu. Sedangkan sampah karton biasanya Rp400/hari.
Hendra paham jumlah itu tidak seberapa, apalagi bagi warga yang hanya tinggal di rumah. Sampah itu nantinya akan dikepul sebelum diserahkan ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta.
“Tapi yang penting kesadaran warga agar mau memilah sampah plastik,” kata Hendra kepada Tirto, Minggu (20/12/2020).
Tahun ini, Hendra dan sekitar 800 rumah tangga mendapat kemudahan dari DLH DKI Jakarta. Awal Januari 2020, DLH menawarkan perumahan Taman Alfa Indah untuk menjadi pilot dari Jakarta Recycle Center (JRC). Mudahnya, JRC ingin mengajarkan bagaimana warga bisa memilah sampah demi kemudahan daur ulang dan tidak berdampak buruk pada lingkungan.
Begitu mendengar wacana itu, Hendra langsung menyanggupi. Padahal, warga tidak mendapatkan keuntungan. DLH paling hanya memberikan pupuk hasil daur ulang untuk diberikan ke warga.
“Kami memang di kompleks ini sudah concern dengan masalah sampah. Kami kan punya bank sampah juga. Jadi warga sudah memilah sebelumnya meski tidak semasif program JRC. Memang kami tidak masalah dengan program ini karena willing-nya bagus. Tidak ada negatifnya untuk kami tolak,” ucap Hendra.
Sesuai anjuran, warga membagi sampah menjadi delapan kategori: sisa makanan; plastik; kertas; botol PET & Cup; logam; kaca; B3; dan residu. Praktiknya tidak mudah. Warga akhirnya hanya membagi menjadi empat kategori: sampah basah, residu, plastik dan kertas karton. Hanya itu yang paling banyak dihasilkan perumahan.
Masalahnya, beberapa warga masih harus dipaksa untuk melakukan itu. Hendra sebenarnya tidak mau, tapi dia tidak ketemu solusi lain jika warganya tidak mau meninggalkan budaya lama dan abai terhadap masalah lingkungan.
“Kami berikan dia pengertian (untuk memilah) atau tidak diambil sampahnya,” ucapnya. “Ya ga semua orang seperti itu (paham). Ada yang paham dan bagus, tapi ada juga yang ga mau repot.”
Sekarang, Hendra mengaku sampah warganya yang masuk ke sistem daur ulang mencapai 70 persen. Target dari program JRC sebenarnya adalah 75 persen. Warga diharapkan hanya menyumbang 25 persen sampah ke Bantargebang.
Hendra optimistis program JRC bisa berhasil. Namun, seharusnya tanpa program ini pun warga bisa melakukan secara mandiri tanpa ancaman dari DLH.
“Jangan selalu mengejek Indonesia kotor, Jakarta kotor banyak sampah, tapi suruh kontribusi kan ga bisa,” tuturnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Zakki Amali