tirto.id - Tim gabungan pencarian Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT610 yang jatuh di perairan Tanjung, Karawang, Jawa Barat, berhasil menemukan black box atau kotak hitam di dasar laut, pada Kamis 1 November 2018. Kotak hitam yang ditemukan adalah Flight Data Recorder (FDR) yang berisi data catatan penerbangan, sedangkan Cockpit Voice Recorder (CVR) yang merekam percakapan pilot belum ditemukan.
Kotak hitam Lion Air JT610 berjenis Boeing 737 MAX 8 langsung ditempatkan pada kompartemen yang berisi air. Soerjanto Tjahjono, Kepala Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), menerangkan bahwa tindakan ini dilakukan “karena khawatir kalau kita keringkan tidak terkontrol nanti di dalamnya. Kalau mengeringkan bisa menyusut. Nah, kalau menyusutnya tidak terkontrol nanti bisa merusak bagian dalam dari black box tersebut.”
Satya Prakash dalam jurnal berjudul “Analysis of Black Box of International Airlines and its Future Scope”, yang dimuat International Journal of Current Engineering and Technology, menyebut kotak hitam merupakan perangkat perekaman data elektronik yang ditempatkan di pesawat, kapal, satelit, atau unit aero-model lainnya. Terdapat dua bagian utama dalam kotak hitam, FDR dan CVR.
Dalam CVR, terdapat beberapa parameter data, seperti crew conversation, radio transmissions, aural alarms, control movements, switch activations, engine noise, dan, airflow noise. Sementara dalam FDR terdapat parameter data seperti pressure altitude, indicated airspeed, magnetic heading, normal acceleration, dan microphone keying.
Kotak hitam terus menambah parameter data yang disimpan. Pada 1958, dalam pesawat Boeing 707, hanya terdapat lima parameter data yang disimpan kotak hitam. Airbus A330 yang mengudara pada 1993, memuat 280 parameter data dalam kotak hitam. Pesawat Embraer 170 yang terbang di 2004, termuat 774 parameter data di kotak hitam. Pada 2009, dalam kotak hitam pesawat Boeing 787, tersangkut lebih dari 1.000 parameter data.
Data-data FDR dan CVR, dalam versi lawas kotak hitam, disimpan pada pita magnetik. Sementara di versi modern, data-data tersebut disimpan memanfaatkan teknologi chip memori. Secara komponen, kotak hitam berisi aircraft interface board, audio compressor board, high temperature insulation, stainless steel shell, acquisition processor board, dan komponen-komponen lainnya.
Rancangan kotak hitam tersebut telah distandarkan oleh Internationally Recognized Standards yang termuat dalam Annexure 6. Guna melindungi data yang disimpan, kotak hitam dibuat untuk sanggup menahan beban benturan sebesar 3.400 kali tekanan gravitasi dan sanggup menahan panas hingga 2.000 derajat Fahrenheit.
Secara perangkat lunak, kota hitam menggunakan Open VMS System, suatu sistem operasi berbasis memori virtual. Selain Open VMS System, beberapa versi kotak hitam mengantongi sistem Linux. Lantas, data-data yang dimuat kotak hitam diformulasikan menggunakan bahasa C. Di darat, otoritas bisa membaca data-data dari kotak hitam menggunakan bahasa VB.NET.
Salah satu bagian vital kotak hitam adalah Underwater Location Beacon (ULB). Ia merupakan alat yang memberikan sinyal koordinat kotak hitam manakala sebuah pesawat mengalami kecelakaan. ULB memiliki frekuensi 37,5 kHz, mengirim sinyal keberadaannya tiap detik selama 30 hari. ULB sanggup memancarkan sinyal dari kedalaman 20.000 kaki di dasar laut.
Data di Kotak Hitam
Dalam sejarah, meskipun kotak hitam memiliki teknologi pemancar sinyal posisi yang cukup canggih, alat ini tak selalu bisa ditemukan. Pada 2001, tim pencari tak bisa menemukan kotak hitam pada pesawat Siberia Airlines nomor penerbangan 1812 yang mengalami kecelakaan. Pada 2005, kisah terulang pada pesawat Bellview Airlines nomor penerbangan 210 yang kecelakaan. Ini pun terjadi pada kotak hitam pesawat Malaysia Airlines nomor penerbangan MH370 yang masih menjadi misteri sejak 2014.
Bagaimana data di kotak hitam mengungkap penyebab kecelakaan?
Dilansir dari laman National Transportation Safety Board (NTSB), selepas kotak hitam ditemukan, otoritas membentuk komite investigasi kotak hitam. Komite berisi orang-orang dari NTSB, FAA (Federal Aviation Administration), operator pesawat, pabrikan pesawat, pabrikan mesin, hingga asosiasi pilot. Tugas mereka adalah membuat transkrip yang melintang antara isi dari CVR dan FDR.
Melintang antara isi dari CVR dan FDR yang dimaksud, ialah mencocokkan data berdasarkan waktu antara apa yang dilakukan pilot (terbaca oleh isi CVR) dengan kondisi pesawat (terbaca oleh FDR). Untuk memudahkan proses ini, kotak hitam memiliki teknologi microphone keying.
Prakash, masih dalam jurnalnya, menyebut bahwa microphone keying merekam korelasi waktu antara data di FDR dan CVR. Bagian ini adalah langkah paling dasar dan krusial untuk mengekstrak informasi terkait kecelakaan pesawat. Semakin presisi waktu, semakin baik untuk investigasi.
Untuk memudahkan, transkrip percakapan di pilot Air France nomor penerbangan 447 yang kecelakaan pada 1 Juni 2009, tepat hari ini 13 tahun lalu, bisa jadi contoh. Berikut percakapannya:
02:13:40 (co-pilot David Robert): “Climb … climb … climb … climb …”
02:13:40 (co-pilot Pierre-Cédric Bonin): “But I've had the stick back the whole time!”
02:13:42 (Captain Marc Dubois): “No, no, no … Don't climb … no, no.”
02:13:43 (Robert): “Descend … Give me the controls … Give me the controls!”
02:14:23 (Robert): “Damn it, we're going to crash … This can't be happening!”
02:14:27 (Dubois): “Ten degrees of pitch …”
Data CVR itu disesuaikan berdasar waktu dengan data FDR. Apa yang terjadi pada berbagai parameter pesawat di 02:13:40 saat co-pilot berteriak “climb, climb, climb” yang terekam FDR. Kondisi pesawat bagaimana yang terjadi pada 02:13:43 saat co-pilot berteriak untuk menurunkan ketinggian pesawat.
Komite investigasi lantas bisa menilai, apakah kondisi pesawat dan tindakan yang dilakukan pilot sesuai atau tidak. Dalam kasus Air France 447, investigasi menyimpulkan bahwa pilot salah merespons kala sistem autopilot mati ketika pesawat melintasi badai. Dari kelalaian pilot, sebanyak 228 orang yang ada di pesawat meninggal dan tenggelam di Samudra Atlantik.
==========
Artikel ini terbit pertama kali pada 5 November 2018. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menayangkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Suhendra & Irfan Teguh Pribadi