tirto.id - Rencana Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggelar “International Khilafah Forum” gagal setelah Polda Metro Jaya tidak mengizinkan kegiatan yang akan digelar di Gedung Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, pada 23 April 2017.
“Pada prinsipnya Polda Metro Jaya tidak mengizinkan kegiatan itu sampai sekarang belum ada izin,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Argo Yuwono, seperti dikutip Antara, 22 April lalu.
Argo berdalih kepolisian telah menganalisis dan mengevaluasi potensi kegiatan tersebut sehingga tidak akan mengeluarkan izin. Namun, ia tidak menjelaskan lebih detail data terkait kegiatan tersebut sebagaimana ditemukan oleh Direktorat Intelkam Polda Metro Jaya.
Penolakan terhadap kegiatan HTI belakangan ini cukup masif. Bahkan di sejumlah daerah kegiatan yang diselenggarakan HTI kerap mendapat penolakan dari sejumlah organisasi masyarakat (ormas), seperti yang terjadi di Makkasar, Sulawesi Selatan, pada 16 April lalu.
Saat itu, tabligh akbar HTI yang bertajuk Masirah Panji Rasulullah di Lapangan Karebosi dan Menara Bosowa Makassar, Sulawesi Selatan, akhirnya dibubarkan polisi karena dikhawatirkan akan berujung bentrok.
“Kami tidak ingin terjadi benturan dan berujung konflik nantinya. Bukan hanya Makassar daerah lainnya juga ditolak kegiatan sejenis ini. Kami berharap tidak sampai terjadi,” kata Kabid Humas Polda Sulawesi Selatan, Kombes Pol Dicky Sondani di sela pengamanan, di Jalan Jenderal Sudirman, Makassar, seperti dikutip Antara, 16 April 2017.
Alasan pembubaran tersebut karena kepolisian tidak mengeluarkan izin resmi terkait dengan kegiatan HTI itu. Apalagi aktivitas tersebut juga mendapat penolakan dari ormas setempat karena HTI dinilai anti-Pancasila dan ingin mendirikan khilafah.
Menurut Dicky, dalam aturan harus ada penanggungjawab, tetapi ormas HTI tidak mampu memberikannya. Untuk itu, polisi berkewajiban untuk melakukan pelarangan agar tidak terjadi konflik.
“Kemarin sudah ada benih konflik, GP Ansor akan menghalau bila tabligh akbar itu tetap digelar, makanya kita mengamankan jangan sampai ada benturan antaragama, kasihan warga kota bila konflik itu terjadi, sehingga harus dicegah,” ujarnya.
Sebelumnya, pada 9 April 2017, kegiatan HTI di Hotel Grasia Semarang juga dibubarkan oleh Polrestabes Semarang setelah mendapat penolakan dari sejumlah organisasi keagamaan. Kegiatan HTI itu dinilai bisa merusak tatanan NKRI karena mengarah pada pembentukan negara Islam yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Desakan Pembubaran HTI
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah, Abu Hapsin mengapresiasi tindakan tegas kepolisian yang membubarkan kegiatan HTI yang dinilai berpotensi merusak tatanan NKRI.
Menurut dia, gerakan yang dilakukan HTI tersebut sudah menjurus pada rusaknya tatanan Pancasila, NKRI dan kebhinekaan. “Terima kasih atas kesigapan kepolisian membubarkan kegiatan tersebut,” kata Abu Hapsin di Semarang, Minggu (9/4/2017), seperti dikutip Antara.
Hal yang sama juga diungkapkan pengasuh Pondok Pesantren API Tegalrejo, Magelang, KH Yusuf Chudlori. Ia menilai format kegiatan yang digagas HTI tersebut mengarah ke pembentukan negara Islam. “Ini berbahaya bagi NKRI,” ujarnya.
Ia mengharapkan pemerintah lebih tegas dalam menindak gerakan maupun kegiatan serupa. Menurut Gus Yusuf, sapaan akrabnya, hal tersebut penting untuk mengantisipasi munculnya konflik horisontal di masyarakat.
Selain meminta aparat keamanan tidak mengizinkan aktivitas HTI, sejumlah ormas Islam juga mendesak agar pemerintah membubarkan organisasi trans nasional tersebut.
Misalnya, GP Ansor dan Baser NU seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menggelar aksi damai pada Kamis (27/4/2017) yang mendesak pemerintah membubarkan HTI.
“Kegiatan yang kita lakukan hari ini bertujuan agar pemerintah secepatnya membubarkan HTI di Indonesia yang diduga ideologinya bertentangan dengan ideologi negara kita yakni Pancasila,” kata Ketua GP Ansor NTT Abdul Muis, di sela-sela aksi damai sejumlah kelompok pemuda dalam aliansi Pemuda Pengawal NKRI, di halaman kantor Gubernur NTT.
Menurut Abdul Muis, HTI bergerak diam-diam yang ujung-ujungnya adalah mengganti negara Indonesia dengan negara Islam atau membentuk khilafah. Menurut dia, secara nasional GP Ansor sendiri menilai bahwa HTI ini menggangu keutuhan NKRI, karena konsen HTI adalah menjadikan negara ini sebagai negara khilafah.
Sementara itu, HTI sendiri pada awal April lalu membantah tudingan GP Ansor yang menyatakan bahwa mereka anti-NKRI, dengan menyebutnya tidak berdasar. Juru bicara HTI, Ismail Yusanto menyesalkan pernyataan GP Ansor yang menyebut pemerintah perlu mendeteksi aparatur sipil negara yang berafiliasi denga HTI karena dianggap memicu perpecahan bangsa.
Prinsip Kehati-hatian dalam Membubarkan Ormas
Desakan ormas Islam agar pemerintah membubarkan ormas yang anti-Pancasila sebetulnya sejalan dengan keinginan pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah mengaku kesulitan membubarkan ormas intoleran dan anti-Pancasila karena harus melewati berbagai aturan yang tercantum dalam UU Ormas.
Karena itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, pada Februari 2017 lalu telah menyetujui adanya revisi Undang-Undang nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, karena ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Salah satunya terkait syarat pembubaran ormas yang tidak sesuai dengan dasar negara.
“Kami sudah menyampaikan, revisi UU Ormas perlu atau tidak, karena untuk membubarkan atau membekukan ormas dalam UU Ormas tidak gampang,” ujarnya, pada 2 Februari 2017 lalu.
Menurut Tjahjo, apabila ormas yang bersangkutan ingin dibubarkan maka harus diberikan sejumlah peringatan yakni, peringatan pertama, peringatan kedua, putusan pengadilan dan apabila kalah bisa mengajukan banding serta dapat mengubah namanya.
“Kalau pun mau direvisi, bagaimana agar Kemendagri, Kemenkumham, dan Kejaksaan Agung bisa melarang ormas yang tidak sesuai dengan dasar negara,” ujarnua dikutip Antara.
Selama pemerintahan Presiden Joko Widodo, kata dia, hanya ada satu ormas yang dibubarkan pemerintah, yaitu Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dengan dasar yang jelas yaitu penolakan dari masyarakat dan tidak memiliki izin.
Namun demikian, wacana pembubaran ormas ini berpotensi melanggar HAM jika tidak dilakukan secara hati-hati dan komprehensif. Apalagi secara jelas Konstitusi Indonesia telah melindungi hak dan kebebasan setiap orang untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur dalam Pasal 28E, UUD 1945.
Pasal 28E ayat (3) tersebut ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Demikian juga dengan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai”.
Dua regulasi tersebut diperkuat dengan Pasal 21 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 tahun 2005, yang menjamin “hak untuk berkumpul secara damai”.
Dalam konteks ini, aspirasi masyarakat yang tergabung dalam organisasi kemasyarakatan memang harus dilindungi dan dihormati. Namun, ormas-ormas ini juga harus tetap menghormati dan mempromosikan hak-hak asasi warga masyarakat lainnya. Apalagi hal ini juga telah ditegaskan dalam Pasal 21 Kovenan Hak Sipil dan Politik telah mengatur soal ini.
Bagi pemerintah, keberadaan ormas yang tidak Pancasilais ini ibarat makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak meninggal. Tidak dibubarkan mengancam kedaulatan dan kewibawaan NKRI, dibubarkan pemerintah melanggar kebebasan berekspresi.
Menjadi penting menggunakan prinsip kehati-hatian. Pembubaran terhadap ormas anti-Pancasila yang terbukti telah meresahkan masyarakat dan mengancam persatuan dan kesatuan NKRI memang bisa saja dilakukan. Namun, dengan catatan: harus melalui mekanisme peradilan yang jujur, adil dan setia kepada fakta-fakta dan bukti.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz