tirto.id - Sejak 26 Agustus 2014, Gunung Sinabung di kabupaten Karo Sumatra Utara terus mengamuk dan berstatus awas. Erupsi demi erupsi tiap tahunnya membuat puluhan ribu pengungsi tidak bisa pulang ke rumah mereka di lereng Sinabung.
Jepretan fotografer Alan taylor pada tahun 2013 untuk The Atlantic menunjukkan suasana kaki Gunung Sinabung yang mirip kota mati akibat ditinggal para penghuninya mengungsi. Abu vulkanik tebal menyelimuti rumah, pohon, hingga areal persawahan. Hanya ada segelintir orang yang berani pulang untuk menengok rumah mereka.
Padahal, selama 400 tahun terakhir Sinabung berstatus tidur. Empat abad adalah rentang waktu yang cukup meyakinkan untuk memberikan status aman kepada Sinabung. Dikutip dari National Geographic, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menggolongkan Sinabung ke dalam gunung api tipe B hingga tak menjadi prioritas pemantauan. PVMBG lebih memprioritaskan pemantauan pada tipe gunung A yang berstatus aktif.
Secara historis, letusan Sinabung belum mengalahkan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat yang meletus pada 10 April 1815. Saat itu tiga kerajaan yang ada di lereng Gunung Tambora, yaitu Kerajaan Tambora, Kerajaan Sanggar, dan Kerajaan Pekat seketika musnah. Tsunami turut menyapu dari wilayah timur Jawa hingga kepulauan Maluku. Jejak reruntuhan kerajaan yang terkubur bisa disaksikan hingga hari ini.
Baca juga: Meletusnya Gunung Tambora dan Akibatnya Terhadap Dunia
Di belahan dunia lain, salah satu kota megah yang hancur akibat erupsi gunung api adalah Pompeii. Ia merupakan sebuah kota yang terakhir kali berdiri di era imperium Romawi kuno.
Western Australian Museum mencatat bahwa pada abad ke-6 SM kota Pompeii yang didominasi oleh orang Etruskan telah berkembang pesat dengan kebudayaan yang sebagian besar terpengaruh oleh kota-kota berpenduduk Yunani di kawasan tersebut. Pada abad ke-5 SM, Pompeii berpindah kuasa ke orang-orang Samnis dari pegunungan menjadi penguasa Pompeii. Kota itu terus tumbuh menjadi kota yang makmur hingga kedatangan bangsa Romawi.
Pada masa imperium Romawi kuno itu, Pompeii sudah memiliki pelabuhan, pasar, industri dan bisnis. Komposisi penduduknya seimbang antara elit politik, pedagang, serta budak. Lereng Vesuvius terkenal suburAnggur menjadi produk ekspor unggulan kota ini. Sementara di kota Herculaneum yang turut hancur akibat letusan Vesuvius, lebih dari setengah populasinya adalah budak atau para budak yang telah dibebaskan.
Hingga pada 24 Agustus 79 Masehi, Gunung Vesuvius yang letaknya beberapa kilometer dari Pompeii meletus. Catatan sejarawan Plinius Muda yang menyaksikan pada saat itu menggambarkan bagaimana awan tebal membubung tinggi bak pohon pinus keluar dari puncak Vesuvius. Plinius sendiri mengamati letusan dari kota Misenum, sekitar 13 kilometer dari Pompeii.
Dikutip dari Live Science, sebelum kota Pompeii terkubur oleh timbunan tebal abu vulkanik, gempa dangkal yang berasal dari kolong Gunung Vesuvius telah dirasakan oleh penduduk sekitar pada 62 M. Efek gempa yang merusak mata air dan pipa saluran air ini juga terasa hingga Pompeii. Sepanjang tahun-tahun berikutnya, gempa besar maupun kecil melanda Pompeii hingga meletusnya Vesuvius.
Pada letusan 24 Agustus, warga Pompeii masih sempat bertahan, bahkan bisa membersihkan abu vulkanik yang tebalnya mencapai 6 inci. Namun keadaan semakin parah, sampai-sampai penduduk kota Herculaneum mengungsi ke Pompeii karena lumpur vulkanik telah menelan kota mereka. Keesokan harinya sekitar pukul 6.30 pagi, awan gas vulkanik yang berpijar dan disertai material puing-puing menyelimuti kota Pompeii.
Warga Pompeii tewas terkena awan panas dan langsung terkubur abu vulkanik. Sejak itu, kota terlupakan dalam sejarah hingga ditemukan lagi pada abad 18.
Baca juga: Danau Toba, dari Legenda ke Destinasi Pariwisata
Jessica Ball, geolog State University of New York at Buffalo, memaparkan bahwa kerucut yang kemudian dikenal sebagai Gunung Vesuvius mulai tumbuh di kaldera Gunung Somma yang terakhir kali meletus 17.000 tahun silam.
Bebatuan yang dimuntahkan Vesuvius adalah jenis andesit dan batu vulkanik menengah dengan kandungan silika yang mencapai 53%-63%. Kota Pompeii dan Herculaneum tersapu letusan jenis Plinian yang menghasilkan semburan gas, abu dan kerikil daya lontarnya bisa mencapai puluhan kilometer.
Penggalian Kota Pompeii
Pada 1748, enam belas abad setelah letusan Vesivius, sekelompok penjelajah Spanyol menemukan kembali reruntuhan kota Pompeii lewat sebuah operasi yang dinamai Civita.
Setelah menggali reruntuhan puing sedalam 14 sampai 17 kaki, kehidupan kuno Kota Pompeii pun terkuak. Akibat kelembaban yang rendah dan pasokan udara yang minim, ada banyak artefak yang selamat.
Baca juga: Ledakan Tunguska di Siberia, Satu Misteri Terbesar Abad 20
Kehidupan sehari-hari di kota kuno ini seketika tersaji sebagai sebuah pemandangan. Berbagai perabot rumah tangga, bangunan, serta rangka warga Pompeii yang meringkuk menggambarkan suasana Pompeii ribuan tahun lalu.
Penggalian tahap pertama bertujuan untuk menemukan benda-benda seni peninggalan peradaban Romawi kuno di Pompeii. Banyak artefak yang diboyong ke hadapan Raja Charles III untuk menjadi koleksi pribadinya. Termasuk berbagai macam lukisan dinding yang dicopot dari bangunan asal oleh tim ekspedisi.
Penelitian arkeologi pada abad 18 jauh dari misi sains. Pun penggalian Pompeii yang hanya bertujuan mencari benda-benda antik dan memuaskan hobi mengkoleksi benda seni di kalangan bangsawan kaya. Teknik penggalian dan pelestarian artefak sebagai disiplin ilmu praktis belum menjadi kajian yang dianggap menarik, apalagi penting.
Namun, Raja Charles III akhirnya memahami pentingnya proyek penggalian ini. Pada 1759, ia mendirikan Accademia Ercolanese untuk menerbitkan laporan-laporan ilmiah tentang berbagai situs arkeologi yang berhasil ditemukan.
Hingga menjelang akhir abad ke-18, para peneliti berhasil menemukan dua wilayah luas di Pompeii bernama Quartiere dei Teatri (yang terkenal dengan dengan kuil Tempio d'Iside-nya) dan Via delle Tombe (yang mencakup rumah peristirahatan Villa di Diomede).
Ketika Napoli jatuh ke tangan Perancis, metode penggalian di Pompeii mulai berubah. Orang Perancis ingin menggali kota kuno ini secara lebih sistematis, dimulai dari barat hingga ke timur. Dengan memperkerjakan 1.500 orang, mereka berhasil menguak berbagai situs seperti Foro, Terme, Casa di Pansa, Casa di Sallustio dan Casa del Chirurgo.
Ketika Raja Ferdinand I kembali berkuasa di Napoli, metode penggalian sistematis ini dilanjutkan, meski hanya sedikit dana yang tersisa. Hingga 1860, sebagian besar situs bagian barat kota Pompeii telah rampung digali.
Kendati setelahnya wilayah Pompeii dan sekitarnya silih berganti penguasa, proses penggalian Pompeii relatif tak terganggu. Bahkan arkeolog Perancis Charles François Mazois berhasil menerbitkan buku berjudul Les ruines de Pompéi dari hasil penelitiannya di Pompeii antara 1809- 1811, sebuah periode yang bergejolak
Baca juga: Berharap Besar dari Sistem Peringatan Dini Tsunami
Dibukanya kembali kota Pompeii menguak panorama kebudayaan kuno, lengkap dengan kompleks pertokoan, vila-vila besar, perumahan sederhana, kuil, kedai minum, kolam mandi, toilet umum, menara air, teater hingga rumah bordil.
Arkeolog Inggris Mike Pitts menyatakan bahwa kini Pompeii membutuhkan upaya konservasi untuk melindungi lebih dari 15.000 bangunan, lima hektar lukisan dinding dan artefak lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Pasalnya, ancaman kerusakan datang dari jutaan turis yang terus berdatangan dan termasuk hujan deras.
Gunung Vesuvius saat ini terletak di Italia selatan, persisnya di Teluk Napoli. Meski hari ini tampak tertidur, ia tetaplah gunung api aktif Plinian yang sewaktu-waktu dapat kembali mengamuk. Yang membuat status Vesuvius makin berbahaya adalah keberadaan tiga juta penduduk Italia yang tinggal di kaki gunung. Hak ini menjadikan Vesuvius wilayah vulkanik dengan penduduk terpadat di dunia.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf