Menuju konten utama

Memahami Bidah dan Anti-Bidah

Adanya sebaran di media sosial untuk mewaspadai kelompok anti-bidah sebagai tanda radikalisme dan terorisme adalah bentuk generalisasi yang berbahaya. Tidak semua kelompok anti-bidah menyetujui jalan kekerasan.

Memahami Bidah dan Anti-Bidah
Massa Front Pembela Islam (FPI) membubarkan paksa aksi warga yang menyalakan lilin di Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (13/5). ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang

tirto.id - “Apabila tidak bisa berdoa dengan bahasa Arab, maka itu adalah rukhshah, atau keringanan,” ujar seorang pemuda di hadapan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pada acara Pengajian Cak Nun dan Kiai Kanjeng 21 April 2017 silam di Klaten, Jawa Tengah.

Terus salahe opo to? [Terus salahnya apa?]” tanya Cak Nun balik.

Pemuda ini lalu dengan berani—karena posisinya sedang berada di kerumunan jamaah Cak Nun—menegaskan bahwa Nabi Muhammad telah mencontohkan bagaimana cara-caranya berdoa.

“Lalu kenapa kita membuat doa yang baru? Lha wong Nabi sudah menjelaskan doa yang benar itu begini,” ujar pemuda ini mencontohkan salah satu lafal doa.

“Berarti kalau doa itu harus persis seperti Kanjeng Nabi?” tanya Cak Nun lagi.

“Oh, ya jelas. Aturannya kan begitu,” ujar pemuda ini yakin.

“Berarti begini. Nenek saya meninggal, terus saya mendoakan nenek saya itu tidak boleh?”

Perdebatan ini kemudian berjalan tidak cukup seimbang. Ketidakberimbangan ini terjadi karena jamaah cenderung mendukung jawaban-jawaban Cak Nun daripada sebaliknya (mengingat acara ini memang acaranya Cak Nun).

Pada dasarnya, baik jamaah ahli bidah dengan anti-bidah—untuk menyederhanakan penyebutan—sama-sama punya dasar yang kuat untuk kukuh dengan pendapatnya masing-masing. Perbedaan ini adalah sumber percekcokan laten yang sampai sekarang masih sering terjadi.

Hal yang semakin mengemuka karena munculnya selebaran di media sosial yang menyebutkan bahwa kelompok anti-bidah merupakan salah satu ciri-ciri teroris karena ajarannya radikal dalam “meluruskan” ajaran Islam yang benar sesuai interpretasi mereka.

Apa yang dimaksud bidah?

Menurut Ibnu Manzur dalam kitab Lisan al-‘Arab juz 8 (Beirut, 1414 H: 6) bidah dipahami sebagai mengadakan, menjadikan, menciptakan, dan memulai sesuatu yang baru dan belum pernah ada ketentuan hukumnya karena belum ada/terjadi ketika Nabi Muhammad masih hidup.

Bagi kelompok anti-bidah, ibadah-ibadah di luar yang pernah dicontohkan oleh Nabi dianggap tidak boleh dijalani karena tidak ada dalil secara langsung. Apalagi ada hadis riwayat dari Bukhari Muslim yang menyebutkan bahwa siapa yang mengada-adakan perkara agama maka ibadahnya akan tertolak.

Di mata ahli bidah, ada dasar dari ulama terdahulu yang mengategorikan bidah tidak melulu sebagai dhalalah (sesat) karena ada juga yang bersifat hasanah (baik). Salah satu rujukan ulama itu misalnya dari kategorisasi bidah yang ditulis Imam Izzuddin bin Abdussalam dalam kitab Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam juz 2 (Kairo, 1934: 195).

Bagi Imam Izzuddin, bidah hanyalah suatu aktivitas ibadah yang tidak dikenal pada era Nabi Muhammad. Oleh karenanya, ia tidak bisa serta merta divonis sesat secara umum, karena masih harus dikelompokkan menurut fungsinya untuk kepentingan ibadah. Itulah yang membuat Imam Izzuddin mengeluarkan ijtihad bahwa bidah bisa menjadi wajib, haram, sunah, makruh, atau mubah.

Salah satu contohnya adalah belajar membaca Alquran dengan menggunakan kitab Iqro yang biasa dipakai dalam Taman Pendidikan Alquran di Indonesia. Belajar membaca huruf Arab tidak diperlukan di zaman Nabi karena bahasa ibu para sahabat adalah bahasa Arab. Mereka bisa langsung menghafal ayat Alquran yang disampaikan oleh Rasulullah. Lain dengan umat Islam di Indonesia yang perlu dikenalkan dengan huruf-huruf Arab, sebab secara umum orang Indonesia lebih dulu mengenal huruf Latin.

Karena dianggap sebagai cara untuk menjalankan ibadah secara sempurna, belajar lewat buku Iqro menjadi metode yang umum dipakai, meski tidak pernah ada contohnya di zaman Nabi. Hal yang sama juga berlaku dalam hal mempelajari dasar ilmu Nahwu atau Sharaf (ilmu gramatika bahasa Arab). Ilmu-ilmu ini dipakai sebagai cara mempelajari pengetahuan agama, meski tidak ada satu pun dalil yang secara jelas mewajibkan umat muslim mempelajari kedua ilmu ini.

Infografik Memahami Bidah

Yang menjadi persoalan adalah bidah yang masuk kategori mengubah standar-standar ibadah yang bersifat wajib, misalnya mengubah jumlah rakaat salat. Salat subuh menjadi tiga rakaat. Atau mempercayai adanya nabi baru setelah Nabi Muhammad. Hal-hal semacam ini termasuk bidah dhalalah dan jelas diharamkan oleh ulama, baik ulama ahli bidah maupun ulama anti-bidah.

Hal tersebut menunjukkan bahwa perkara yang dipersoalkan hanya pada perbedaan interpretasi dalam menjalankan ritus ibadah, bukan persoalan akidah yang fundamental. Kecuali, bagi kelompok Islam yang langsung mencap kafir umat Islam lain karena mempunyai dasar perbedaan sampai pada hal-hal yang—dianggap—menyangkut persoalan akidah.

Di sisi lain, yang harus diperhatikan adalah perkara ibadah yang kebanyakan adalah ibadah yang ada kaitannya dengan aktivitas sosial dengan pemanfaatan ruang-ruang publik. Misalnya perdebatan salat tarawih 23 rakaat atau 11 rakaat, bersalaman setelah salat, berzikir dengan suara keras seusai salat, membuat majelis zikir, atau mengadakan majelis tahlil mendoakan seseorang yang sudah meninggal.

Di luar itu, perkara bidah seperti pembuatan dan pengumpulan mushaf Alquran menjadi kitab yang baru dimulai pada era Khulafurrasyidin atau memberi tanda bacaan dan tanda harakat pada tulisan ayat Alquran (ayat Alquran awalnya tanpa titik dan tanpa tanda harakat), tidak menjadi masalah meskipun dari segi bahasa juga masuk kategori bidah.

Bisa jadi, kedua perkara tersebut tidak pernah jadi perdebatan karena tidak memerlukan ruang-ruang publik untuk menjalankan ritus ibadahnya. Membaca Alquran toh bisa dilakukan secara individual tanpa perlu melibatkan kelompok massa.

Berbeda dengan ibadah-ibadah yang memiliki dimensi sosial, seperti tahlil atau Maulid Nabi, yang lebih sering ditemui perbedaan pendapatnya dibandingkan ibadah yang lain. Sebab harus diakui, keduanya punya dimensi sosial yang sangat kental, setidaknya melibatkan banyak orang.

Hal inilah yang kemudian membuat ketegangan semacam ini sering terjadi di ruang-ruang publik, seperti pendapat pemuda di acara Pengajian Kiai Kanjeng Cak Nun yang meyakini bahwa tahlil adalah ibadah yang keliru.

Kejadian ini bisa menjadi contoh bagaimana perdebatan yang kurang tepat akan mengakibatkan ketegangan. Hal yang sama bisa terjadi apabila Cak Nun mendatangi suatu kelompok yang menolak bidah, lalu mengatakan kepada mereka bahwa mereka semua keliru.

Untunglah Cak Nun merespons dengan cara yang bijaksana. “Dia sangat bagus,” kata Cak Nun menunjuk dan memuji pemuda tersebut sambil mencoba meredakan celotehan para jamaahnya. “Dia mempertahankan ‘pagar’ yang dia pahami. Hanya saja, interpretasi dia belum tentu harus sama dengan kita.”

Cak Nun memberi contoh bagaimana perbedaan pendapat, sekeras apa pun, bisa ditanggapi dengan cara bersahabat, bukan malah mencap pihak yang berbeda. Misalnya menggeneralisasi orang-orang anti-bidah sebagai kelompok yang menyetujui kekerasan, apalagi aksi terorisme.

Baca juga artikel terkait RAMADHAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Khadafi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Ahmad Khadafi
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani