tirto.id - Pada 2006 lalu, sebuah film dengan gaya mockumentary yang begitu sinting pernah tayang. Judulnya cukup panjang: Borat: Cultural Learnings of America for Make Benefit Glorious Nation of Kazakhstan.
Film ini menceritakan kisah perjalanan seorang jurnalis televisi asal Kazakhstan yang digambarkan memiliki perangai luar biasa bodoh dan lugu bernama Borat Sagdiyev. Bersama produsernya, Azamat Begatov, Borat pergi ke Amerika Serikat untuk mempelajari kultur negeri tersebut. Ada begitu banyak humor super ofensif yang muncul dari sikap Borat di sepanjang film ini.
Sejak dari pembukaan, film ini sudah langsung meninju telak norma masyarakat universal. Hal ini terlihat ketika Borat menyempatkan terlebih dahulu untuk memperkenalkan diri dan daerah tempat ia tinggal: sebuah desa terpencil bernama Kuzcek.
“Halo, nama saya Borat. Saya suka kamu. Saya suka seks. Itu bagus. Ini adalah negara saya, Kazakhstan. Letaknya di antara Tajikistan, Kyrgystan, dan si bangsat Uzbekistan. Ini desa saya, Kuzcek.”
Kamera lalu memperlihatkan seorang pria culun berkacamata sedang duduk di atas gerobak bertumpuk jerami. Borat memperkenalkannya: “Dan ini Urkin, si pemerkosa di desa ini. Di sebelah sini adalah taman kanak-kanak (tiap anak diperlihatkan memegang senjata api). Di sebelahnya tinggal Mukthar Sakanov, seorang mekanik dan dukun aborsi.”
Humor ofensif tersebut berlanjut ketika Borat menunjukkan rumahnya. Kamera kali ini menyorot seorang pria yang memakai kaos kutang berwarna merah dan mengenakan topi jerami. Ia mendelik tajam ke arah Borat.
“Dia tetangga saya, Nursultan Tulyakbay. Dia semacam penyakit di lubang dubur saya. Jika saya membuat jendela dari kaca, ia akan mengikutinya. Jika saya memiliki tangga, ia juga akan mengikutinya. Ketika saya mendapatkan jam radio, dia tidak mampu mendapatkannya. Hehehe. Saya menang.”
Berdiri di perkarangan rumahnya, ada seorang perempuan semok berambut pirang. “Ini adalah Natalya,” ujar Borat. Sejurus kemudian ia memagut bibir perempuan tersebut. “Dia saudara perempuan saya. Dia pelacur paling terkenal nomor empat di seluruh Kazakhstan. Keren.” Ketika mengucapkan hal itu, Natalya mengangkat sebuah trofi mini sambil tersenyum lebar.
Sikap berbeda diperlihatkan Borat ketika memperkenalkan istrinya yang bertubuh gemuk dan galak tengah mengumpulkan kayu bakar. Borat tampak ogah-ogahan. Suaranya pun juga sengaja dipelankan. “Ini istri saya, Oxana. Dia membosankan.” Istrinya mengamuk, sementara Borat ketakutan lalu masuk ke dalam rumah.
Di dalam rumahnya yang hanya sepetak, Borat dengan bangga memperlihatkan beberapa benda klasik yang sejatinya sudah amat jarang dipergunakan oleh masyarakat modern. “Ini VCR Recorder. Dan ini untuk memutar kaset,” katanya sambil menujukkan radio boombox yang sudah usang. Di ruang tamu, tampak seekor sapi besar berwarna putih tengah melongok ke jendela. Ya, sapi betulan, bukan efek CGI.
Menjelang keberangkatannya, Borat sempat menjelaskan mengapa ia dikirim negaranya ke Amerika. “Meskipun Kazakhstan negara yang hebat, kami tetap memiliki masalah serius. Ekonomi, sosial, dan Yahudi. Itulah kenapa kemudian Kementerian Informatika mengirim saya ke U.S and A, negara terhebat di dunia, untuk mempelajari hal yang berguna bagi Kazakhstan.” Perhatikan penyebutan US and A (dan bukan USA) sebagai bentuk kebodohan lain dari sosok Borat.
Dengan mengenakan setelan jas berwarna abu-abu dan membawa koper berbahan kulit warna cokelat yang sudah boyak, Borat akhirnya berangkat menuju Amerika. Sebelum pergi, ia sempat bermain judi bersama para pria, dan berdansa terlebih dahulu dengan mereka. Kepada Urkin, si pemerkosa yang diperkenalkannya di awal film tadi, Borat menitip pesan:
“Jangan keseringan memerkosa... Manusia saja.”
‘Jika Saya Melihat Borat, Saya Akan Membunuhnya’
Dengan segala humor super ofensif yang berserakan dari awal hingga akhir, Borat jelas bukan jenis film yang dapat diapresiasi segala lapisan. Justru sebaliknya, dengan mudah film ini membangkitkan kemarahan segala kelompok, mengingat humor yang ditampilkan Borat tidak hanya menyasar kelompok tertentu, tapi nyaris segala aspek sosial: Dari agama hingga homofobia, dari feminisme hingga pedofilia.
Pada tahun kemunculannya, seluruh negara-negara di jazirah Arab, kecuali Libanon, melarang penayangan film Borat. Pemerintah Rusia pun bersikap sama. Namun kemarahan paling besar ditunjukkan oleh warga desa Glod, Rumania, lokasi asli desa yang semula disebut Kuzcek dan berada di Kazakhstan. Lantaran merasa ditipu oleh para kru Borat, penduduk di desa tersebut muntab bukan main kepada mereka, terutama kepada si aktor utama: Sacha Baron Cohen.
Spiridon Ciorbea, misalnya. Kepada ABC News ia mengaku memang dibayar 70 dolar untuk berperan menjadi Mukthar Sakanov. Namun, ia tidak tahu jika dalam film digambarkan sebagai seorang mekanik dan dukun aborsi. Begitu kesalnya Ciorbea, sampai-sampai ia akan memukul kepala Cohen dengan palu jika sampai mereka bertemu kembali.
"Ya, saya memang memperbaiki mobil dan tukang las, tapi saya tidak tahu apa-apa tentang aborsi. Bagaimana mungkin saya bisa melakukan hal itu dengan tangan yang penuh bekas luka? Jika dia kembali ke sini, saya akan memukul kepalanya dengan palu!” ujar Ciorbea.
Masih dalam berita yang dilansir ABC News, salah seorang putera Ciorbe yang bernama Ion, juga memiliki pesan serupa kepada Cohen: “Saya tercengang. Bagaimana dia bisa memperkenalkan ayah saya dengan cara seperti itu? Jika saya melihat Borat, saya akan membunuhnya dengan tangan saya sendiri.”
Kendati demikian, Cohen pun juga turut mendapat simpati, bahkan dari kalangan petinggi Kazakhstan sendiri, negara yang dimanipulasi Borat dalam filmnya. Seperti yang diucapkan Rakhat Aliyev, wakil Menteri Luar Negeri Kazakhstan. Dilansir BBC pada 19 Oktober 2006, Aliyev mengatakan:
“Saya mengerti bahwa banyak orang yang tersinggung dengan film Cohen. Tapi kita harus memiliki kepekaan humor dan menghormati kebebasan pihak lain. Saya ingin mengundang Cohen ke sini. Dia dapat menemukan banyak hal.”
Cohen adalah seorang komedian, aktor, penulis, dan juga pengisi suara. Ia lahir di Hammersmith, London pada tanggal 13 Oktober 1971. Selain berperan sebagai Borat, di film tersebut ia juga penulis skenario utama. Sementara sutradara Borat adalah Larry Charles: pria sinting lain yang bersama komedian Bill Maher pernah membuat sebuah film dokumenter bertemakan olok-olok terhadap berjudul Religulous.
Cohen terlahir dalam keluarga Yahudi. Ayahnya, Gerald Baron Cohen, seorang keturunan Yahudi dari EropaTimur. Sementara ibunya, Daniella Weiser, lahir di Israel dan juga memiliki darah Yahudi Jerman. Kemampuan akting Cohen sudah diasah sejak ia masih bersekolah di Christ's College. Ia makin menekuni akting ketika memasuki universitas dan bergabung dengan kelompok Cambridge University Amateur Dramatic Club. Pada masa itu, Cohen sempat memainkan lakon "Cyrano de Bergerac" dan "Fiddler on the Roof".
Pada tahun 1995, ketika salah satu stasiun televisi di Inggris, Channel 4, membuka lowongan presenter, Cohen mengirimkan rekaman dirinya yang tengah berakting sebagai seorang reporter asal Albania. Inilah prototipe awal sosok Borat yang fenomenal itu. Cohen pun diterima dan diberikan program khusus berjudul “Youth TV”.
Memasuki tahun 1998, Cohen sempat tampil dalam sebuah serial berjudul “The 11 O'Clock Show” dan memerankan sosok Ali G: Seorang rapper kulit putih dengan latar belakang dan gaya bicara faux-streetwise ala kaum kulit hitam. Dalam serial tersebut, Ali G kerap mewawancarai berbagai politikus dan pesohor dengan pertanyaan super nyeleneh yang membuat mereka malu tak karuan. Donald Trump, Jacob Rees-Mogg, Boutros Boutros-Ghali, Noam Chomsky, hingga David Beckham adalah di antaranya.
Dapat dikatakan, sejak memerankan Ali G tersebutlah nama Cohen mulai melambung sebagai aktor pilih tanding. Ali G kemudian dibuatkan tayangan sendiri pada tahun 2000, Da Ali G Show. Dua tahun setelahnya, sosok tersebut kemudian difilmkan dengan judul Ali G Indahouse. Namun demikian, Ali G bukannya sepi dari kritik. Beberapa orang menganggap Cohen secara tidak langsung sudah mengejek kultur jalanan kaum kulit hitam.
“Dia (Cohen) terlalu bersikap stereotipe. Saya merasa hal ini sangat merendahkan dan bahwa itulah yang menarik perhatian orang membuat saya kecewa. Saya tidak suka konsep di mana pria kulit putih memainkan pria kulit hitam, dan semua makin buruk ketika dia menonjolkan steretotipe yang bodoh tersebut,” ujar Curtis Walker, salah seorang penyiar BBC2 yang memiliki program acara berjudul Urban Heat, yang dilansir The Guardian pada awal 2000 silam.
Sementara itu, Felix Dexter, komedian kulit hitam asal Inggris, menganggap apa yang dilakukan Cohen semata hanyalah bentuk lain dari olok-olok kaum liberal kulit putih terhadap kultur kaum kulit hitam. Kepada Guardian dalam berita yang sama, Dexter mengatakan: “Banyak lelucon yang menertawakan kultur kulit hitam dan hal tersebut selalu dirayakan oleh para kelas menengah liberal karena mereka berada dalam wilayah politik yang cenderung istimewa.”
Apapun yang terjadi, sejak membintangi Ali G, Cohen pun mulai memasuki industri perfilman Hollywood. Pada awalnya ia menjadi pengisi suara Julien--seekor lemur dalam film Madagascar --pada 2005. Tahun berikutnya, ia memerankan Jean Girard dalam film Will Ferell berjudul Talladega Nights: The Ballad of Ricky Bobby. Ia juga berperan sebagai korban pembunuhan dalam film Tim Burton berjudul Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street, serta dalam film Hugo yang disutradarai oleh Martin Scorsese.
Pada tahun 2012, Cohen juga bermain dalam film The Dictator sebagai seorang diktaktor yang berpenampilan selayaknya Moamar Ghadafi. Film tersebut merupakan parodi yang tema besarnya mengolok-olok para diktator dunia. Puncak ketenaran Cohen tentu saja ketika ia bermain sebagai Borat. Berkat perannya tersebut, Cohen pun diganjar penghargaan Golden Globe sebagai “Best Actor in a Comedy/Musical”.
Pada 2018 ini, Cohen kembali hadir lewat serial televisi terbarunya berjudul “Who is America”. Konon, serial ini diprediksi akan menjadi serial paling berbahaya sepanjang sejarah pertelevisian
Mengolok-olok (Politikus) Amerika Lewat ‘Who is America’
Konsep yang ditawarkan Cohen dalam Who is America sejatinya tak jauh berbeda dengan Borat atau Ali G: mewancarai (sekaligus mengolok-olok) para pesohor--terutama politikus--di Amerika dengan berbagai pertanyaan konyol dan sensitif. Soal jenis humor juga jangan ditanya: masih tetap super ofensif.
Pihak Showtime yang memegang lisensi penayangan “Who is America” mengatakan bahwa serial ini akan mengeksplorasi berbagai macam individu dari spektrum politik dan kebudayaan di Amerika Serikat. Cohen sendiri akan menjadi seorang undercover journalist yang memiliki banyak karakter di serial ini.
Dalam teaser-nya, “Who is America” sudah mengundang rasa penasaran penonton karena sempat menayangkan Dick Cheney, figur terhormat yang merupakan mantan wakil presiden Amerika Serikat. “Saya harap Anda dapat hadir minggu depan untuk mewawancarai saya,” ujar Cheney dalam cuplikan yang kini sudah ditonton lebih dari satu juta kali itu.
Di episode pertama “Who is America”, Cohen mendatangi 11 narasumber dan menanyakan mereka berbagai macam topik sensitif. Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Bernie Sanders, Jane Page Thompson dan Mark Thompson, Christy Cones, Matt Gaetz, Dana Rohrabacher, Trent Lott, Joe Wilson, Joe Walsh, Philip van Cleave, dan Larry Pratt. Sebagian dari mereka adalah politikus kesohor di Amerika.
Salah satu kekonyolan paling tragis di episode 1 muncul ketika Cohen mendatangi Van Cleave dan membicarakan soal senjata. Cleave selama ini dikenal sebagai pendukung kebijakan kepemilikan senjata api di Amerika sekaligus presiden dari Virginia Citizens Defense League. Saat bertemu dengannya, Cohen yang menyamar sebagai bekas agen Mossad, Kolonel Erran Morad, menjelaskan sebuah program bernama “Kinder-Guardian”: pelatihan pertahanan diri untuk anak-anak dengan menggunakan senjata api.
“Kursus Kinder-Guardian akan berlangsung intensif selama tiga minggu. Anak-anak akan diseleksi berdasarkan usia mereka, mulai dari 12 hingga 4 tahun. Mereka akan dilatih menggunakan pistol, senapan laras panjang, senjata semi otomatis, serta pengetahuan dasar mortir. Dalam waktu kurang dari sebulan, anak kelas satu dapat menjadi ahli peledak,” ujarnya kepada Cleave.
Dengan wajah yang terpana, Cleave langsung menyatakan setuju dengan ide tersebut. Sambil menggoyangkan sebuah pistol yang disamarkan dengan memakai boneka kelinci, ia pun turut menyanyikan potongan anthem song dari Kinder-Guardian: “Aim at the head, shoulders not the toes, not the toes.” Mereka menyebut pistol tersebut dengan istilah: “Puppy Pistol”.
Tapi kedegilan itu belumlah seberapa jika dibanding ketika Cohen bertemu dengan Larry Pratt. Mantan Direktur Gun Owners for America dan pelobi paling keras mengenai undang-undang kepemilikan senjata api di Amerika tersebut sukses menunjukkan sisi kebinatangan dirinya dengan cara sevulgar mungkin.
Adapun di episode kedua Who is America, Cohen bertemu dengan lima narasumber: Ted Koppel, Corinne Olympios, Dick Cheney, The Arizona Mosque Focus Group, dan Jason Spencer. Ketika Cohen menemui Spencer, yang merupakan salah seorang anggota dewan dari Georgia, dapat dipastikan Anda akan tertawa terbahak-bahak.
Sebagaimana sebelumnya saat bertemu dengan Cleave dan Pratt di episode 1, Cohen kali ini juga menyamar sebagai Kolonel Erran Morad di hadapan Spencer. Namun kali ini ia memiliki tiga topik yang berbeda: (1) Bagaimana cara mengidentifikasi seorang teroris ISIS yang memakai burka; (2) Bagaimana cara menghindari penculikan dari ISIS; (3) Bagaimana cara menakut-nakuti seorang teroris ISIS.
Di topik pertama, Kolonel Erran Morad mengajarkan Spencer untuk mengelabui teroris dengan menggunakan tongsis. Mulanya Spencer diminta untuk berpura-pura menjadi seorang turis Cina demi mengalihkan perhatian, lalu tongsis tersebut diarahkan ke bawah burka untuk memotret apa yang ada di balik jubah tersebut. Spencer yang percaya saja anjuran Kolonel Erran Morad tersebut dengan antusias mempraktikkannya sembari asal berbicara bahasa Cina.
Berlanjut di topik kedua, Spencer diajarkan untuk menghindari penculikan ISIS dengan cara meneriakkan kata-kata yang tak senonoh. Lagi-lagi, tanpa merasa curiga sedikitpun, Spencer dengan lugunya mengikuti saja nasehat Kolonel Erran Morad. Ia pun menjerit sekencang mungkin: “Nigger! Nigger! Nigger! Nigger!”. Belakangan, Kolonel Erran Morad justru menegurnya: “Anda sudah gila? Bukan kata itu yang saya maksud, tapi Nooni.”
Di topik terakhir, yakni bagaimana cara menakut-nakuti ISIS, Kolonel Erran Morad mengatakan sesuatu yang sudah tentu bohong belaka: bahwa para teroris itu sangat takut jika menjadi homoseksual. Maka cara efektif untuk melakukannya adalah dengan menyentuh mereka menggunakan bokong sendiri.
Spencer, yang barangkali diberkahi ukuran otak sebesar kacang polong, mengikuti saja saran tersebut. Ia pun memelorotkan kolornya hingga selutut, lalu dengan cara berlari mundur ke belakang, ia menyodorkan bokongnya sembari berteriak: “USA! USA! If i touch you, you will become a homosexual!”
Setelah episode 2 Who is America tersebut tayang, Spencer segera mendapat banyak kecaman dari berbagai. Tak dapat menyembunyikan rasa malu, ia pun mengajukan surat pengunduran diri sebagai anggota dewan. Pengunduran dirinya tersebut baru akan aktif pada tanggal 31 Juli 2018 mendatang.
Sementara itu, Cohen dan serial Who is America masih unggul dari para narasumber yang dikerjainya.
Editor: Nuran Wibisono