tirto.id - Sikka melahirkan Frans Seda.
Kalimat di atas terngiang-ngiang di pikiran saya ketika pesawat baling-baling tipe ATR 72 milik salah satu perusahaan penerbangan swasta lepas landas dari Bandara Eltari, Kupang, menuju Bandara Frans Seda, Maumere, Senin sore (6/5/2024).
Saya bayangkan bagaimana tokoh dengan nama lengkap Franciscus Xaverius Seda itu tumbuh dari keluarga seorang pendidik. Ia hidup berpindah-pindah sampai ke negeri Belanda melanjutkan pendidikan, ikut menjadi laskar dalam masa perjuangan, tiga kali menjadi menteri, hingga mendirikan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Unika Atma Jaya).
Sikka melahirkan Frans Seda.
Dengung pesawat baling-baling tipe ATR 72 terdengar ke dalam kabin. Dari ketinggian jelajah 15.000 kaki, Laut Sawu alangkah biru. Sebelum mendarat di Maumere, saya masih membayangkan perjalanan hidup Frans Seda.
Di zaman Presiden Soekarno, pada masa Demokrasi Terpimpin, ia menjabat sebagai Menteri Perkebunan (1964-1966) dan Menteri Pertanian (1966). Lalu pada era kepemimpinan Presiden Soeharto, ia didapuk menjadi Menteri Keuangan (1966-1968). Di sinilah kiprahnya moncer dan banyak disebut orang.
Kala itu, kondisi perekonomian Indonesia mengalami kemunduran akibat didera inflasi 650%. Frans Seda ditunjuk untuk membalik keadaan. Sang Putra Flores berupaya mewujudkan stabilitas ekonomi dengan mula-mula menertibkan anggaran dan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara Barat untuk menarik masuk modal asing.
Alhasil, kebijakan yang diambilnya mampu menstabilkan perekonomian bangsa, mengarahkan Indonesia kembali dalam pergaulan masyarakat internasional.
“Frans Seda sebagai nasionalis tulen,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani suatu ketika, “adalah generasi teknokrat pertama Indonesia yang membangun fondasi perekonomian dan keuangan negara.”
Lepas dari kontribusi Frans Seda terhadap pembangunan ekonomi, pendidikan merupakan fondasi lain yang diupayakannya juga bagi bangsa Indonesia. Frans Seda lahir dari keluarga guru, paham akan pentingnya pendidikan, dan setelah mendirikan Unika Atma Jaya, ia rutin memberikan beasiswa bagi mereka yang kesulitan.
Transformasi Pendidikan Kabupaten Sikka
Ketika ada agenda mengunjungi provinsi Nusa Tenggara Timur, saya dan tim menetapkan Kabupaten Sikka sebagai salah satu tujuan utama.
Saya ingin tahu bagaimana pendidikan di kampung halaman Frans Seda itu bertransformasi cukup signifikan beberapa tahun belakangan, terutama terkait dukungan ekosistem pendidikannya terhadap gerakan Merdeka Belajar.
Sebagai gambaran, dari 700-an satuan pendidikan di Kabupaten Sikka, lebih dari 600 sekolah sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. Persentase yang lebih dari 84% itu mencakup satuan pendidikan tingkat PAUD, SD, SMP, sampai SMA.
Kabupaten Sikka juga punya 319 orang Guru Penggerak dari Angkatan 1 sampai 10. 26 orang di antaranya bahkan telah naik jabatan menjadi kepala sekolah, dan 10 orang lainnya diangkat menjadi pengawas sekolah oleh Pemda setempat. Pengangkatan tersebut merupakan amanat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 40 Tahun 2021.
Selain itu, kebijakan anggaran di daerah ini juga mendukung peningkatan kompetensi guru dalam bidang literasi, numerasi, dan karakter. Pemda Sikka mendorong para guru untuk berproses, memanfaatkan, serta mempelajari fitur-fitur teknologi pendidikan yang telah disediakan oleh Kemendikbud Ristek.
Praktik-praktik baik yang dilakukan Guru Penggerak di Kabupaten Sikka juga menarik disimak, terutama karena dampak langsungnya bagi masyarakat.
Jauh sebelum menginjakkan kaki di Sikka, saya pernah membaca pemberitaan mengenai Likormas, kependekan dari program Di Balik Kotor Ada Emas. Likormas diinisiasi oleh Ibu Maria Imakulata, Guru Penggerak Angkatan 9 dari SMKN Talibura, bersama murid-muridnya.
Menyadari tingginya angka stunting di wilayahnya, Ibu Maria pun melakukan koordinasi dengan desa-desa di Kecamatan Talibura untuk penyediaan ayam kampung super. Bersama sekolah, ia berkomitmen menekan angka stunting melalui makanan bergizi.
Ibu Maria dan murid-muridnya membuat berbagai olahan ayam kampung dengan menggunakan bahan-bahan organik dari daerah sekitar. Mereka juga membuat pupuk organik dari kotoran ayam, dan meluncurkan berbagai program lain yang berdampak langsung terhadap masyarakat.
Adapun kemajuan pendidikan di Kabupaten Sikka terlihat dari peningkatan indeks Standar Pelayanan Minimal (SPM). Pada 2023, asesmen Rapor Pendidikan kabupaten tersebut meningkat dari level “Rendah” ke “Tuntas Muda”. Kemajuan itu tentu bukan tanpa sebab, dan hal inilah yang ingin saya lihat dan saya cari tahu. Gerakan seperti apa yang sebenarnya dilakukan oleh pelaku ekosistem pendidikan di sana?
Saling Menguatkan
Di Maumere, ibukota Kabupaten Sikka, apa yang saya bayangkan tentang transformasi pendidikan terbukti benar adanya. Dari dua kali pertemuan dengan puluhan Guru Penggerak, saya mendengarkan berbagai cerita praktik baik pendidikan.
Ada guru yang membawa hasil Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), bagian dari Kurikulum Merdeka, ke konferensi internasional. Ada juga Guru Penggerak yang menularkan praktik baik penggunaan Platform Merdeka Mengajar (PMM) kepada guru-guru sekolahnya yang sebagian besar masih honorer. Ia berusaha membuat para guru agar senang belajar serta mengajak mereka menerapkan nilai-nilai dan peran Guru Penggerak.
“Di sana, guru-gurunya honor semua, tapi saya bangkitkan semangat mereka. Ada spirit dari Guru Penggerak yang memampukan saya untuk mengajak dengan senang hati guru-guru honor itu tentang Kurikulum Merdeka,” cerita Ana Aprila, Guru Penggerak yang saya maksud.
Dari pertemuan dan diskusi intens dengan para Guru Penggerak Kabupaten Sikka itu, saya tahu bahwa mereka telah membangun kolektif yang saling menguatkan, saling mendorong, dan saling memajukan.
Dari pertemuan itu pula saya melihat bahwa guru-guru Sikka menyadari betapa tujuan seorang guru bagi peserta didik selalu lebih besar daripada tujuan diri sendiri atau kelompok. Mereka ingin menghadirkan pendidikan terbaik bagi murid-murid. Ketulusan untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak bangsa menjadi ciri para guru di daerah ini. Hal yang sama saya yakini juga berlaku di setiap ekosistem pendidikan antero Indonesia.
Hubungan antara guru, khususnya Guru Penggerak, juga terlihat sangat dekat dengan Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (PKO) Kabupaten Sikka. Tidak terlihat adanya “relasi kuasa” ketika berlangsung percakapan antara Kadis PKO Germanus Goleng dengan para guru.
Dari percakapan tersebut, kami mengetahui bagaimana dinas terkait menjadi tumpuan semangat bagi para guru dalam banyak hal. Termasuk ketika para guru ditempatkan di sekolah-sekolah daerah terpencil. Dinas memberi semangat bahwa penempatan mereka sangat dibutuhkan demi mewujudkan perubahan. Dengan cara pandang demikian, penempatan adalah tugas mulia.
Kebijakan APBD pun berusaha berpihak pada usaha peningkatan kompetensi guru, terutama peningkatan kompetensi literasi, numerasi, dan karakter. Pemda Sikka terus mendorong para guru untuk berproses dengan memanfaatkan fitur-fitur teknologi pendidikan. Mereka sadar bahwa dunia terus berkembang, dan teknologi akan menjadi medium alternatif untuk mendorong perbaikan pendidikan.
Tidak lupa, apresiasi akan hasil karya para guru terus diberikan oleh Pemda melalui hal-hal kecil, semisal mengunjungi hasil panen karya mereka. Tampak sepele, memang, tapi itu sangat berdampak untuk merawat semangat para guru.
Kolaborasi antara Dinas PKO, satuan pendidikan, dan komunitas masyarakat adat juga dijalin. Salah satunya dengan memberdayakan beberapa komunitas adat agar membantu P5 di sekolah. Kesadaran bahwa generasi hari ini akan menjadi pewaris kekayaan budaya Sikka menjadi pendorong untuk melakukan sejumlah proyek. Misalnya, mempelajari kembali proses pengerjaan tenun, kesenian tradisi, masakan khas daerah, hingga tatanan hidup masyarakat adat.
Guru Penggerak di Sikka menunjukkan pada kita bahwa proses pemajuan pendidikan tidak bisa dilakukan secara sepihak. Proses itu membutuhkan ekosistem yang sehat, saling mendukung, saling mempercayai, dan saling memajukan satu sama lain.
Secara fisik, jarak antara Maumere dan Jakarta berkisar di hitungan 1.709 kilometer. Namun, saya percaya, kolaborasi dan gotong royong membuat berbagai jarak dan ketimpangan bisa pelan-pelan kita pangkas.
Jika praktik baik pendidikan semacam itu dirawat secara intens, saya yakin di masa depan nanti Tanah Sikka akan kembali melahirkan Frans Seda-Frans Seda anyar demi mewarnai kehidupan di tanah air.
*Penulis adalah Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Ristek.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.