tirto.id - Ketua Umum Partai PDI-Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyayangkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) dalam Sidang Paripurna DPR tidak dilakukan dengan musyawarah mufakat.
Megawati menilai, hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila yakni permusyawaratan perwakilan dalam sila keempat.
"Kalau di TV saya lihat itu, pembahasan apa-apa voting," ungkapnya saat memberikan pidato pembekalan kepada Taruna/Taruni TNI di Aula Gatot Subroto, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (21/7/2017).
Padahal, kata Mega, musyawarah mufakat adalah cara yang baik untuk menghasilkan keputusan yang jernih dan objektif dalam berdemokrasi.
"Musyawarah mufakat membuat kita berpikir jernih, objektif, berbeda pendapat kita coba makin lama makin didekat menjadi hal-hal yang berbeda kita singkirkan. Yang kita kumpulkan menjadi satu adalah hal-hal yang sama," tuturnya.
Presiden ke-lima Republik Indonesia itu juga mengatakan bahwa sila keempat menggambarkan jati diri kepribadian bangsa dalam berdemokrasi.
"Bagaimana tradisi musyawarah ini dipraktikan sebagai demokrasi khas ala Indonesia. Karena itulah kita tidak mengenal demokrasi menang-menangan, atau demokrasi voting sebagaimana terjadi di Barat," imbuhnya.
Seperti diketahui, RUU Penyelenggaraan Pemilu telah disahkan menjadi UU lewat paripurna DPR melalui mekanisme voting, Kamis (20/7/2017).
Dalam pembahasan yang diwarnai aksi walk out sejumlah fraksi tersebut, salah satu hal krusial yang diputuskan melalui mekanisme voting adalah ambang batas presiden atau presideniial threshold.
Partai yang mendukung keputusan ambang batas presidential threshold 20-25 persen atau Paket A adalah partai-partai yang tergabung di dalam koalisi, seperti Golkar, PPP, Hanura, Nasdem, PKB dan partai pemenang PDIP.
Sebaliknya, PAN yang juga partai koalisi pemerintah sejak reshuffle jilid dua tahun lalu, menolak Paket A dan memilih sejalan dengan Gerindra, PKS, dan Demokrat.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Yuliana Ratnasari