Menuju konten utama

Mega dan Taufiq Kiemas, Senyawa Cinta-Politik dari Kandang Banteng

Nama pertama cenderung kaku, nama kedua lebih luwes dalam berpolitik. Dengan cara yang berbeda, keduanya saling mendukung.

Mega dan Taufiq Kiemas, Senyawa Cinta-Politik dari Kandang Banteng
Ilustrasi HL Valentine Megawati Kiemas

tirto.id - Aktivitasnya di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) membuat Taufiq Kiemas dua kali dibui pada awal pemerintahan Orde Baru.

Saat itu, Orde Baru gencar melakukan persekusi dan permusuhan terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), juga organisasi dan individu yang dianggap melekat dengan Sukarno. GMNI menjadi salah satu yang diwaspadai karena menjadi onderbouw Partai Nasional Indonesia (PNI), partai pendukung utama Sukarno.

Namun, jeruji besi punya andil tersendiri dalam mempertemukan Taufiq dengan tokoh-tokoh gerakan pada waktu itu. Kelak orang-orang itu pun menjadi saksi bagaimana asmara bersemi dalam sanubari laki-laki kelahiran 31 Desember 1942 itu.

Berkat Comblang Guntur Soekarnoputra

Pada 1968, Taufiq dipenjara di Rumah Tahanan Militer (RTM) Boedi Oetomo, Jakarta. Di sana dia berkenalan dengan Panda Nababan, pegiat Gerakan Mahasiswa Bung Karno.

"Di penjara itulah kita berkenalan, bergaul, dan waktu itu terus terang saja dia banyak menaruh perhatian orang lain karena putih, ganteng, tinggi, dan kemudian dia santun. Tutur bahasanya baik sekali. Karena dia GMNI, di situlah dia bertemu dengan Guntur Soekarnoputra," ujar Panda Nababan dalam suatu wawancara.

Guntur adalah putra pertama Soekarno dan Fatmawati. Pada Juli 1971—sekitar dua tahun setelah dibebaskan pada awal 1969—Taufiq, Guntur, dan Nababan mengunjungi makam Soekarno di Blitar, Jawa Timur. Dari sana, mereka mampir ke Kompleks Perumahan TNI Angkatan Udara Madiun untuk menengok adiknya, Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri.

"Di situ saya berkenalan dengan Megawati," kenang Taufiq, seperti ditulis dalam laporan Tempo berjudul "Tiga Cinta Putri Istana" (29 Juni 2009).

Ternyata, Guntur ternyata tidak sekadar ingin memperkenalkan Taufiq kepada Mega, tapi juga ingin menjodohkan mereka.

"Adalah keinginan dari Guntur waktu itu untuk menjodoh-jodohi (Taufiq dengan Megawati). Mana lagi ini (Taufiq) anak ganteng. Di kalangan kawan-kawan dia disapa si Bule karena dia memang seperti Bule," ujar Nababan.

Kehendak Guntur itu pun seperti menjadi jalan pembuka impian Taufiq. Lima tahun sebelumnya, tepat pada 1966, Taufiq mendekam di rumah tahanan militer Kodam Sriwijaya, Palembang. Di sana, dia bertemu aktivis GMNI lain, Adjis Saip. Suatu kali, sembari menunjuk foto Megawati yang dimuat suatu majalah, Taufiq berkata kepada Adjis, “Djis, ini calon ayu, kakak perempuan, kau.”

Adjis menanggapinya dengan ringan, “Ah, Kak Taufiq, jangan mimpilah. Kita ini hanya rakyat biasa. Dia itu anak presiden.”

“Kalau kau tak percaya, lihat saja nanti,” balas Taufiq.

Kelakar Taufiq kepada Adjis dan jasa comblang Guntur berbuah manis. Akhirnya, Taufiq dan Megawati menikah pada Maret 1973. Pernikahan itu berlangsung di Panti Perwira Angkatan Laut (sekarang Graha Marinir) di Jalan Kwitang, Jakarta Pusat.

Ini adalah pernikahan ketiga Megawati. Sebelumnya, Megawati menikah dengan tentara AU, Surindro Supjarso. Megawati-Surindro punya dua anak: Muhammad Prananda Prabowo dan Muhammad Rizki "Tatam" Pratama. Namun, musibah terjadi.

"Suaminya, atau sering dipanggil Mas Pacul bersama tujuh orang awak pesawat Skyvan T-701 jatuh di Biak, Papua, tahun 1970 tak lama setelah Bung Karno mangkat," demikian tertulis dalam laporan mingguan Tempo (25 Desember 1993).

Kemudian, Megawati menikah lagi dengan diplomat Mesir yang bertugas di Jakarta. Pria itu bernama Hassan Gamal Ahmad Hassan. Pernikahan itu berlangsung di Kantor Urusan Agama (KUA) Sukabumi pada 27 Juni 1972. Namun, pernikahan itu kandas. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta membatalkan pernikahan Mega-Hassan dua minggu setelahnya, karena kabar Mas Pacul belum jelas.

"Perkawinannya itu oleh pengadilan agama dinilai fasid atau rusak, sehingga harus dibatalkan," sebut Ahmad Bahar dalam Biografi Politik Megawati Soekarnoputri 1993-1996 (1996, hlm. 17).

Infografik HL Indepth Valentine

Menjaga Banteng Tetap Menanduk

Kegiatan politik pun tidak bisa dilepaskan dari pasangan yang melahirkan putri bernama Puan Maharani pada 6 September 1973 tersebut.

Keduanya mengawali karier politik dengan masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI) jelang Pemilihan Umum 1987. Awalnya, Megawati didapuk sebagai Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang PDI Jakarta Pusat sekaligus menjadi juru kampanye PDI di berbagai daerah.

"Salah satu hal yang dianggap mampu menjadi perhatian khalayak waktu itu adalah dengan memunculkan dan memanfaatkan nama besar Bung Karno. Maka diajaklah Megawati untuk membantu PDI guna lebih menambah bobot serta kualitas partai berlambang banteng tersebut," sebut Bahar (hlm. 31).

Alhasil, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan PDI memperoleh 40 kursi di DPR. Angka tersebut lebih besar dari perolehan PDI di Pemilu 1982 yang sebesar 30 kursi. PDI pun mengutus Mega dan Taufik untuk menjadi anggota DPR pada 1988. Megawati dan Taufiq adalah satu-satunya pasangan yang sama-sama menjadi anggota DPR.

Setelahnya, relasi Mega-Taufiq dengan PDI semakin kuat. Salah satu momen politik penting dalam hidup keduanya adalah Kongres Luar Biasa (KLB) PDI. Pada 1993, PDI menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) dua kali. Pertama di Medan, lalu di Surabaya. Panda Nababan mengatakan Taufiq berperan mengusulkan nama Megawati sebagai ketua umum PDI dalam KLB tersebut.

"Maka, dia mengumpulkan sejumlah kawan, termasuk saya, untuk menggalang dukungan bagi Megawati di arena KLB. Saat itu saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Sukses Pemenangan Megawati," sebut Panda Nababan dalam Empat Pilar untuk Satu Indonesia (2011, hlm. 65-66).

Namun, kalangan lain menentang. Ahmad Bahar mengatakan bahwa semasa itu Megawati dinilai belum berpengalaman di dunia politik, termasuk dalam mengurus organisasi.

"Apa orang yang tidak punya pengalaman di organisasi berarti mesti goblok? Apa saya dianggap begitu rupa, hingga tak ada yang baik? Mari kita lihat kenyataannya," ujar Megawati, seperti dikutip Bahar (hlm. 34).

Setelah melalui Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta, akhirnya Megawati diangkat sebagai ketua umum PDI pada 1993, sampai Kongres Medan, yang memilih Soerjadi menjadi ketua umum, mendongkelnya tiga tahun kemudian. Tak lama, meletuslah penyerangan atau perebutan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996.

Peristiwa yang disebut sebagai Kudatuli itu menjadi titik balik karier politik Mega. Setelah Soeharto mundur lewat Reformasi 1998, PDI Perjuangan pun didirikan pada 1999 dan Mega menjadi ketua umum hingga sekarang.

Ia juga menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Sidang Istimewa MPR 1999, setelah tak meraih suara mayoritas untuk menjadi presiden. Dua tahun kemudian, Mega dilantik sebagai presiden karena Gus Dur dimakzulkan.

Sementara Megawati menjabat ketua umum, suaminya menduduki kursi Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDI Perjuangan.

Semasa itu, Taufiq terpilih sebagai anggota DPR 2004-2009 dan periode setelahnya. Putra begawan Sumatera Selatan, Tjik Agus Kiemas dan Hamzathoen Roesyda, itu diangkat sebagai Ketua MPR pada 2009.

Selain dalam bidang politik, Taufiq dan Megawati juga mengelola bisnis pom bensin. "Taufik pun mengerahkan segenap kekuatan dana bagi kesuksesan Mega. Sebagian besar keuntungan dari pompa bensin miliknya di Jakarta bahkan dimanfaatkan untuk mendukung keberhasilan Megawati, istri tercintanya itu," sebut Bahar (hlm. 59).

Jurus dan Manuver Politik Taufiq Kiemas: Memang Lidah Tak Bertulang (2013) yang disusun Derek Manangka menyebutkan penjualan bensin milik Taufiq-Mega tidak kurang dari 100 ribu liter per hari. Total pemasukan per bulan sebanyak Rp150 miliar.

Hukumonline melansir, pada 2001 Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) mengemukakan total harta bersih Megawati, yang saat itu menjadi wakil presiden, mencapai sekitar Rp60 miliar. Mega dan suaminya Taufik Kiemas memiliki usaha 8 SPBU dan lain-lain senilai Rp32 miliar. Kekayaan yang juga berasal dari usaha sendiri meliputi 14 bidang tanah senilai Rp24,309 miliar dan dan 22 mobil senilai Rp1,553 miliar.

Lobi-Lobi Pak TK

Akhir masa jabatan presiden Megawati adalah awal perseteruan Mega-Taufiq dengan SBY. Gesekan berawal dari komentar SBY kepada pers yang merasa tidak dilibatkan dalam rapat-rapat pengambilan pengambilan kebijakan di bidang politik dan keamanan.

Pada 1 Maret 2004, Taufiq yang akrab disapa Pak TK itu menyebut SBY sebagai "jenderal kekanak-kanakan.” Sepuluh hari kemudian, pada 11 Maret 2004—bertepatan dengan hari pertama kampanye pemilu legislatif (Pileg 2004)—SBY mundur dari kabinet Gotong Royong Megawati.

Partai Demokrat pimpinan SBY mendapat 7,45 persen perolehan suara Pileg 2004. Sedangkan SBY-Jusuf Kalla keluar sebagai calon presiden dan wakil presiden pemenang dalam Pilpres 2004 dengan perolehan suara sebesar 60,62 persen.

"Sejak dikalahkan Yudhoyono, Mega tak pernah berkomentar ke media massa tentang kehidupan sosial ekonomi rakyat Indonesia. Mega seperti 'menghindar' dari hiruk pikuk polemik, sama dengan sikapnya yang tetap berusaha menghindar bertemu atau dipertemukan dengan Presiden (SBY)," sebut Derek.

Kala Megawati menghindar, Taufiq justru bertemu SBY sebanyak tiga kali pada 2005. Pertemuan pertama berlangsung saat peresmian perluasan terminal Bandara Palembang. Lalu, SBY datang membesuk Taufiq yang sedang menjalani perawatan di RS Harapan Kita. Pertemuan ketiga terjadi saat keduanya hadir dalam Kongres Persatuan Alumni GMNI di Hotel Sahid Jaya.

Dua Jalan Mega dan Taufiq

Dalam suatu wawancara kepada JakTV, Puan Maharani mengatakan Taufiq Kiemas adalah seorang yang memperhatikan detail, termasuk urusan pakaian yang dikenakan Megawati.

"Kalau Ibu mau pergi ke suatu acara itu sebenarnya terserah Ibu mau pakai baju apa, warnanya apa. Kalau acaranya itu tidak bersamaan dengan acaranya Pak Taufiq atau Pak Taufiq tidak ikut mendampingi, Bapak akan mengatakan, 'kok cantik banget sih pakai baju warna biru atau warna oranye, tumben biasanya ngga pakai baju warna ini. Baru ya?'," Puan Maharani menceritakan momen tersebut.

Menurut Puan, Megawati menanggapi komentar Taufiq itu dengan santai, "Papah aja yang belum lihat aku pakai baju ini. Ini baju lama yang aku modifikasi."

Tatam, anak Mega dari suami pertama, juga punya testimoni tentang hangatnya hubungan Taufiq dan ibunya. "Tak ada yang menyangka kan bahwa sebelum ke kantor Bapak suka mencium kening Ibu," katanya, dalam laporan Tempo "Dari Ende Taufiq Berpamit" (16 Juni 2013).

Namun, Taufiq tidak selalu sependapat dengan Megawati. "Jika sudah begitu, hubungan mereka seperti bumi dan langit," ujar Puan kepada Tempo. "Tujuan biduk keduanya sama, hanya beda cara mengayuh."

Pada akhir Agustus 2006, Taufiq memberikan pernyataan: Megawati bakal maju kembali dalam Pemilihan Presiden 2009. Pernyataan itu amat mengejutkan karena Pilpres masih 3 tahun lagi. PDI Perjuangan pun belum menyatakan calon yang bakal diajukannya dalam Pilpres 2009.

Nyatanya, Megawati memang maju sebagai calon presiden didampingi Prabowo Subianto sebagai calon wakil presidennya. Pasangan calon ini kalah dari pasangan calon SBY-Boediono.

Pada 2011, Taufiq malah menunjukkan sinyal tak mendukung Megawati maju dalam Pilpres 2014. Menurutnya, harus ada kaderisasi dalam PDI Perjuangan dan partai lain secara umum.

"Lebih baik Ibu mikir dulu untuk maju (dalam Pilpres 2014) ke depan. Sebab usianya mulai 68 tahun 2014. Kaderisasi lebih penting daripada kita maju sendiri," ujar Taufik, seperti dilansir Kompas. Sikap Taufiq memunculkan spekulasi bahwa dirinya sedang menyiapkan Puan Maharani, meski ia menampiknya.

Harapan Taufiq soal tokoh muda, dibarengi perhitungan politik PDI Perjuangan, terwujud. Pada Pilpres 2014, PDI tidak mengajukan Megawati—tidak juga Puan—melainkan Joko Widodo sebagai calon presiden didampingi Jusuf Kalla. Pasangan itu menang dengan perolehan suara 53,15 persen.

Namun, Taufiq tidak berkesempatan menyaksikan peristiwa itu. Ia meninggal pada 8 Juni 2013.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani