tirto.id - Proses mediasi antara warga RW 12 dengan PT KAI tentang rencana penggusuran 11 bangunan untuk proyek kereta api double double track (dua rel ganda) Jakarta-Cengkareng berjalan alot.
Setelah berdialog hingga pukul 10.00 WIB, wacana penertiban masih belum jelas. Padahal, KAI telah mengagendakan untuk menertibkan bangunan pada Rabu (26/4/2017). KAI justru kembali meminta melaksanakan dialog, Rabu (26/4/2017).
Perwakilan PT KAI Prasetyo menegaskan, mereka belum menentukan sikap tentang kemungkinan penertiban atau tidak. Sampai saat ini, mereka hanya mendengarkan aspirasi.
"Belum ada kesepakatan. Permohonan mereka sudah kami dengar dan keinginan mereka juga sudah kami sampaikan, cuma nanti tinggal lewat humas aja nanti," ujar Prasetyo saat diwawancarai usai pertemuan di Jalan Saharjo 1, Manggarai, Jakarta, Rabu (26/4/2017).
Prasetyo mengaku belum mengiyakan bahwa mereka akan batal mengeksekusi lahan RW 12 untuk proyek kereta api Jakarta-Cengkareng. Ia mengaku akan melaporkan terlebih dahulu hasil pertemuan antara dirinya dengan warga bersama aparat berwajib. Oleh karena itu, ia enggan menjawab kemungkinan penggusuran akan tetap berlanjut atau tidak.
"Saya belum tahu. Hasil ini akan saya laporkan ke pimpinan. Belum ada apa-apa, hanya saling menyampaikan pendapat masing-masing begitu aja," ujar Prasetyo.
Kapolsek Tebet Kompol Nurdin AR mengaku belum bisa mengatakan proses penertiban akan ditunda, Rabu (26/4/2017). Ia menunggu hasil pembicaraan PT KAI usai dialog.
"Permintaan warga ini kan kita tampung dulu kemudian kita bicarakan," kata Nurdin saat ditemui di Jalan Saharjo 1, Manggarai, Jakarta.
Dirinya enggan berspekulasi apakah penggusuran berhenti atau tidak setelah dialog tadi. Akan tetapi, berkaca dari kondisi di lapangan, tidak tertutup kemungkinan proses penertiban untuk ditunda.
"Kalau memang bisa kita tunda, kita tunda dulu. Lihat hasil pembicaraan seperti apa," kata Nurdin.
Nurdin mengaku, PT KAI akan melakukan dialog kembali dengan warga saat ini. Dialog tersebut rencananya akan dihadiri dari tim 11 RW 12, PBHI selaku penasihat warga RW 12, bagian operasi KAI, dan dirinya. Selama proses mediasi, Nurdin mengaku sudah menyiagakan sekitar 500 personel untuk menjaga ketertiban daerah sekitar.
Penasihat hukum warga RW 12 Nasrul Dongoran mengaku enggan melakukan pertemuan dengan KAI. Ia justru meminta agar Komnas HAM maupun Ombudsman untuk memediasi pertemuan.
"Untuk pertemuan lagi dari kita kita lihat kalau kita difasilitasi Polri nggak mau. Yang berwenang itu Komnas HAM atau setidaknya Ombudsman," ujar Nasrul saat ditemui di Jalan Saharjo 1, Manggarai, Jakarta.
Pria yang juga menjabat sebagai Anggota Divisi Advokasi PBHI ini tetap bersikukuh bahwa warga berhak tinggal di RW 12. Ia beralasan, sertifikat tanah KAI bernomor SHP No 47 Tahun 88 sudah tidak berlaku karena sudah 25 tahun. Dengan kata lain, warga boleh tinggal dan sudah bisa mengajukan sertifikat kepemilikan hak milik.
Jika PT KAI tetap ingin mediasi, warga ingin bertemu dengan pejabat tinggi PT KAI. Bahkan, Nasrul meminta agar Presiden Jokowi untuk turun tangan dalam permasalahan lahan tersebut. Mereka beralasan, proyek kereta api Jakarta-Cengkareng merupakan proyek nasional.
"Kami nggak mau ketemu pejabat ecek-ecek. Kami mau ketemu dirutnya langsung presiden," ujar Nasrul.
Apabila tidak, mereka akan melakukan gugatan hukum kepada PT KAI. Ia yakin, warga bisa memenangkan gugatan karena alas hak yang dimiliki PT KAI sudah tidak berlaku. Selama proses hukum berjalan, Nasrul memastikan warga akan tetap bertahan.
"Warga akan bertahan karena nggak punya rumah lagi," tegas Nasrul.
Sekadar informasi, penertiban ini merupakan bagian dari pelaksanaan proyek kereta api double double track Jakarta-Soetta. Sekitar 11 bangunan itu, menurut KAI seluas 1.050 meter persegi, empat bangunan hunian dan satu bengkel di RT 1 RW 12 dan enam bangunan di RT 2 RW 12 akan dirobohkan untuk proyek pembangunan perlintasan kereta dengan konsep double-double track itu.
PT KAI melakukan penertiban berdasarkan surat Direksi PT KAI nomor KEP.U/JB.312/IV/11/KA-2013 dan lembar sertifikat kepemilikan tanah SHP No 47 Tahun 88. Bagi warga yang tinggal di daerah tersebut, mereka diberikan ganti rugi sebesar Rp 250.000 untuk bangunan tembok sementara bangunan tanah dihargai Rp 200.000 per meter persegi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri