tirto.id - Dalam wawancaranya dengan Ben Anderson yang tertuang dalam "The World of Sergeant-Major Bungkus" di jurnal Indonesia Nomor 78 (Oktober 2004), mantan salah seorang penculik dalam Gerakan 30 September 1965 (G30S) Sersan Mayor Bungkus mengaku dirinya anggota pasukan Andjing Laut di sekitar Bondowoso waktu Revolusi Kemerdekaan.
Komandan dari Batalyon Andjing Laut itu adalah Mayor Ernest Julius Magenda. Ben bertanya kepada Bungkus, apakah Magenda orang Manado?
“Bukan. Dia dari Sangihe-Talaud (Sangir, Sulawesi Utara). Dia terlihat seperti peranakan Portugis atau Belanda. Cukup tinggi,” jelas Bungkus yang kini sudah almarhum. Rusdi Thamrin, dalam obituari "Magendara" di harian Republik (21/10/1972), menggambarkan bagaimana Magenda mengelabui orang-orang yang telah dipengaruhi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1948. Magenda tahu orang-orang ini buta politik. Mereka bersenjata golok dan meminta Magenda untuk berperang melawan Sukarno.
“Baik-baik kamu semua akan saya pimpin untuk menyerbu Militer Belanda dan Soekarno. Bertiaraplah kamu semua…” Magenda memberi perintah. Orang-orang itu menuruti Magenda tanpa ragu, tiarap berjam-jam. Satu per satu dari mereka dilucuti. Setelah itu, orang-orang buta politik yang katanya dipengaruhi PKI itu malah disuruh pulang oleh Magenda dan stafnya.
Magenda dan Andjing Laut-nya pun memutuskan, “ketimbang ikut serta dalam perang saudara, kami harus pergi, dan kembali ke "kantong" (gerilya),” kata Bungkus. Mereka kembali ke sekitar Besuki dan bergerilya lagi melawan Belanda.
Tak hanya Bungkus, pelaku G30S lain, Dul Arif juga merupakan anggota pasukan Andjing Laut pimpinan Magenda.
Waktu Bungkus masih berpangkat prajurit rendahan, Dul Arif—yang juga berdarah Madura seperti Bungkus—sudah jadi kopral. Sama-sama pernah bertempur di Besuki, Bondowoso dan Jember. Begitu juga Djahurup dari Bondowoso. Di tahun 1965, Dul Arif sudah jadi Letnan Satu, Djahurup jadi Pembantu Letnan Dua (Pelda), sedangkan Bungkus baru sersan mayor. Selain di zaman revolusi dibawah pimpinan Magenda, tiga orang Madura itu bersama-sama menjadi pasukan pengawal Presiden Sukarno, Cakrabirawa, di paruh pertama tahun 1960an.
Daerah tapal kuda, yang meliputi sekitar Besuki, Bondowoso, Jember, juga Banyuwangi, kebanyakan dihuni orang-orang Madura dan Jawa. Mereka mayoritas beragama Islam. Uniknya, di masa Revolusi dia bisa diterima anak buahnya yang kebanyakan Islam. Dari namanya, Ernest Julius Magenda, dia setidaknya akan dikira beragama Kristen. Dia juga bukan orang Jawa, melainkan Sangir Talaud. Atas aksinya di Jawa Timur era Revolusi, tak heran namanya disebut di buku sejarah perjuangan daerah Jawa Timur.
Sejak kecil, anak petani kelapa ini diadopsi oleh dokter Umar, paman dari pahlawan nasional dokter Muwardi. Menurut Rusdi Thamrin, dia dibesarkan di daerah Pati. Di masa sekolahnya, dia pernah dikeluarkan dari sekolah dasar elit untuk anak-anak Eropa, Europeesche Lagere School (ELS), di Cilacap, karena menyanyikan Indonesia Raya bersama empat teman sekelasnya. Selain itu, dia selalu bolos sekolah tiap 31 Agustus, hari perayaan kelahiran Ratu Belanda.
Kenakalan itu membuatnya harus melanjutkan sekolah di sekolah dasar elit pribumi Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Cilacap. Lulus HIS, dia masuk sekolah menengah pertama, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Lulus MULO, setelahnya dia pernah kursus analis kimia di Lembaja Eijkman dan Middelbaar Landbouw School Bogor. Menurut cerita Magenda, dia pernah bekerja di pabrik gula Asembagus, sekitar Besuki.
Setelah Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) dibentuk Jepang, E.J. Magenda ikut latihan calon komandan peleton (Shodancho) di Rensentai Bogor. Beres pelatihan, dia ditempatkan di Bondowoso. Di awal Revolusi 1945, dia menjadi kapten di Jawa Timur. Sempat di Kediri, lalu di sekitar Besuki. Di tahun 1946, dia muncul dengan seragam sisa militer Jepang di Pati mengunjungi keluarganya.
Setelah itu, ia lama tak muncul karena Revolusi. Magenda memunculkan batang hidungnya lagi setelah bertahun-tahun tanpa kabar ketika baru menikahi Nurhaya Danukusumo, anak seorang asisten wedana, pada 21 April 1950. Di mana setelah pernikahannya dia dikirim ke Sulawesi Selatan, menumpas KNIL-KNIL dalam Peristiwa Andi Azis. Setelahnya, dia menjadi perwira Provost di Ambon lalu pimpinan di Resimen 23 di Sulawesi. Setelah ditarik dari Sulawesi, dia menjadi perwira di Kementerian Pertahanan yang mengurusi bekas tentara.
- Baca: Si Tampan Daan Mogot
Menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD? (1989), Magenda pernah ikut serta dalam operasi militer penumpasan PRRI/Permesta (1958-1959). Dari 1959-1962 dia menjadi Asisten I/Intelejen Kepala Staf Angkatan Darat. Tahun 1961, dia menjabat Direktur Intelijen Angkatan Darat lalu Direktur Intelijen Staf Angkatan Bersenjata, ketika Nasution menjadi Menteri Pertahanan.
Magenda adalah perwira intelijen kepercayaan Abdul Haris Nasution. Ketika PRRI bergolak di Riau, “Kolonel Magenda Wakil Asinten I (Intelejen), sedang melakukan hubungan dengan komandan pasukan setempat dan diadakan pula penyusupan ke daerah Bangkalis dan Selat Panjang,” demikian tercatat dalam autobiografi berseri Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 4 Masa Pancaroba II (1984).
Saat itu, dia menjadi pemimpin Operasi Sapta Marga III. Ketika pimpinan militer, khususnya AD, berseteru dengan PKI, Magenda berdiri di pihak Nasution. Magenda juga ikut serta dalam operasi penghabisan PKI sekitar 1966. Ketika Nasution masih jadi KSAD, terbentuk Badan Kerja Sama (BKS), di mana Magenda dan beberapa perwira menengah lain dan anggota organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas) berada di dalamnya.
Setidaknya, menurut Nasution, pernah ada BKS Militer-Buruh, BKS Ulama-Militer, BKS Angkatan 45 dan BKS Wanita-Militer. Menurut Nasution, Magenda dia pernah sekolah sebentar di AMS Yogyakarta. “Magenda sewaktu di AMS Yogyakarta bayar makan di Bausasran, rumah Bu Gondo, bibi dari istri saya. Waktu mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ia aktif membantu saya. Dengan kesemua itu hubungan kami seperti saudara saja,” aku Nasution di catatan kaki Memenuhi Panggilan Tugas: Jilid 4 Masa Pancaroba II.
Magenda yang lebih muda dari Nasution tutup usia pada 15 Oktober 1972 karena pendarahan di otak. Mayor Jenderal TNI ini sudah pensiun sejak 1970. Dia dimakamkan dengan penuh hormat oleh negara di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani