tirto.id - Toby Kendall adalah lulusan Oxford. Pria 23 tahun tampil beda dibandingkan hari-hari sebelumnya. Ia mengenakan kostum bajak laut. Tapi bukan pesta kostum yang mau ia hadiri melainkan demonstrasi di dekat kantor sebuah perusahaan multinasional di London.
Aksi demonstrasi itu menyasar perusahaan multinasional yang merampok minyak Irak di tengah konflik, sebuah pengerukan sumber daya alam yang telah dikecam oleh serikat pekerja minyak Iran hingga komunitas internasional termasuk masyarakat Inggris.
Sambil berjalan membawa spanduk bertuliskan “hands off Iraqi oil,” dan beberapa logo perusahaan minyak seperti Shell dan BP, Kendall dan kawan-kawan menggebuk drum. Anggota band samba Rhythms of Resistance dan Barking Samba juga turut serta dalam demonstrasi tersebut.
Namun begitu, tujuan Kendall terjun dalam demonstrasi itu bukan karena keberpihakannya kepada rakyat Irak. Kendall sesungguhnya tengah menjalankan misi memata-matai kelompok demonstran dan melaporkannya kepada perusahaan tempat ia bekerja—sebuah perusahaan keamanan bernama C2i International yang selanjutnya bakal diserahkan ke perusahaan minyak yang didemo.
Baca juga:Misi Rahasia Mata-Mata di Indonesia
Laporan Kendall meliputi berbagai informasi terkait aksi yang dia hadiri, mulai dari pemimpin demonstran, agenda demonstrasi, hingga rencana kelompok aksi di waktu mendatang.
Kisah ini terjadi pada Februari 2008 dan dilaporkan The Guardian pada Selasa (12/12/2017) setelah Bureau of Investigative Journalism dan harian Inggris tersebut menemukan ratusan bocoran dokumen dari dua perusahaan keamanan yang kerap digunakan oleh bisnis-bisnis raksasa untuk memata-matai para aktivis.
Dalam laporan lain yang dimuatThe Guardian, aksi spionase yang dilakukan perusahaan-perusahaan raksasa dunia juga pernah menarget Rachel Corrie, seorang aktivis pro-Palestina yang meregang nyawa pada 2003 setelah dilindas buldoser. Saat itu, Corrie tengah menghadang buldozer milik Israel yang sedang menghancurkan pemukiman warga Palestina.
Bisnis Pensiunan
Perusahaan-perusahaan besar semakin membutuhkan informasi terkait aksi atau kampanye yang menentang kegiatan mereka. Informasi itu dapat digunakan untuk menentukan langkah yang harus diambil untuk merespon kampanye di lapangan.
Terkadang, korporasi memaksa para aktivis untuk menyetop kampanye mereka, bahkan menyebarkan informasi palsu untuk mendiskreditkan para aktivis. Ketakutan korporasi-korporasi ini bersumber dari fakta bahwa tak sedikit kampanye aktivis yang berhasil menyasar konsumen produk dari perusahaan-perusahaan bermasalah.
Porsche misalnya. Produsen mobil mewah ini menyewa C2i International untuk memantau kelompok aktivis lingkungan yang menentang bisnisnya. Pada 2008 lalu, C2i melakukan penyusupan, melaporkan rencana demonstrasi sedetil mungkin, mulai dari tanggal dan tempat pelaksanaan aksi.
Selain Porsche, ada juga perusahaan pengembang properti Donald Trump, Royal bank of Scotland, British Airways yang memanfaatkan layanan C2i untuk memata-matai para aktivis. Sedangkan Perusahaan energi RWE Npower memilih perusahaan Inkerman untuk mengintai aktivis yang dianggap berseberangan.
Baca juga:Jejak CIA di Indonesia
Aksi spionase ini dilakukan oleh perusahaan swasta. Pihak kepolisian Inggris mengklaim bahwa jumlah mata-mata dari perusahaan swasta lebih tinggi dibanding petugas kepolisian. Sejak 1968, polisi yang menyamar untuk memata-matai kelompok advokasi hanya berjumlah sekitar 144 orang.
Sedangkan mata-mata dari pihak intelijen swasta diperkirakan terjun dalam 25 persen organisasi aktivis. Dalam tiap diskusi isu lingkungan, sebagaimana disebut Stephen Armstrong dalam "The New Spies", mungkin ada satu mata-mata swasta.
Tingginya aktivitas spionase swasta tak lepas dari kehadiran bekas personel intelijen mulai dari CIA, FBI atau pensiunan militer. Beckett Brown International (BBI) misalnya, sebuah perusahaan detektif yang dibangun oleh pensiunan CIA. Regulasi CIA dan badan-badan federal lainnya pun tak melarang seorang agen untuk bekerja sebagai mata-mata di perusahaan swasta, dengan aturan yang ketat dan izin atasannya.
Ada dua keunggulan yang diperoleh ketika perusahaan menyewa agen intelijen swasta yang merekrut pensiunan CIA, FBI dan agen lainnya. Pertama, mereka sudah terlatih dan berpengalaman. Kedua, dengan menggunakan embel-embel pensiunan lembaga intelijen, nama besar lembaga terdahulu bisa menjadi tameng untuk lolos dari jeratan hukum jika sang agen tertangkap.
Berbagai perusahaan spionase sangat berhati-hati dalam menyampaikan informasi terkait perusahaan di situs web, sebab mereka tak hanya memberi layanan pengintaian namun juga jasa lainnya seperti memberi pengamanan pejabat publik atau korporasi asing.
Pada umumnya ada dua cara memata-matai para aktivis. Pertama dengan menyusup sebagai sukarelawan, pendukung atau sebagai jurnalis guna mengumpulkan data atau informasi, misalnya yang dilakukan Kendall, dengan menggunakan identitas palsu.
Baca juga:Bagaimana CIA Merekrut Ilmuwan Asing Secara Rahasia
Kedua, dengan menggunakan teknologi pengintaian yang mampu menembus telepon dan meretas data para aktivis. Para mata-mata juga dapat merekam berbagai komunikasi verbal yang terjadi di sekitarnya, bahkan mencuri komputer atau laptop untuk menggali data.
Di berbagai belahan dunia, aktivitas spionase terhadap para aktivis sesungguhnya bukanlah hal baru. Dalam laporan New Matilda, perusahaan asbes asal Kazakhstan bahkan mengintai para penggerak kampanye anti-asbes antara 2012-2016. Sasaran pengintaian meliputi para anggota badan-badan kesehatan dunia hingga gerakan anti-asbes internasional di Inggris hingga Australia.
Di Indonesia, dalam wawancara Tirto dengan As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara era Presiden Megawati Soekarnoputri, menyampaikan bahwa banyak intelijen asing yang bergerak di Indonesia. Ada banyak agen menyebar mata-matanya untuk bertukar informasi soal ISIS dan kelompok-kelompok radikal, hingga bekerja sama dengan pemerintah. Namun, belum diketahui secara persis adakah bisnis-bisnis keamanan swasta menarget area aktivisme setempat.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf