Menuju konten utama

16 Negara Resmi Ban TikTok, Indonesia Pilih Pantau Situasi

Berikut daftar negara yang resmi melarang TikTok dan sikap Indonesia dalam polemik ini.

16 Negara Resmi Ban TikTok, Indonesia Pilih Pantau Situasi
Ilustrasi tiktok. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Dengan keistimewaannya di bidang artificial intelligent, tak butuh waktu lama bagi TikTok untuk merebut hati pengguna media sosial. Sejak resmi meluncur ke pasar global pada Mei 2017, ia sudah diunduhlebih dari tiga miliar kali.

TikTok bukan sekadar populer, namun juga satu-satunya digital platform asal Cina yang berhasil menaklukkan pasar Amerika Serikat (AS).

Kesuksesan TikTok diraih berkat kejelian serta strategi jitu ByteDance, induk perusahaan yang berbasis di Beijing.

Pada November 2017, mereka mengakuisisi musical.ly dan meleburkannya ke TikTok setahun kemudian. Sebelum dibeli seharga USD1 miliar atau setara Rp15 triliun (kurs Rp15.000 per USD). Untuk diketahui musical.ly adalah aplikasi konten video yang sudah lebih dulu tenar di AS.

Keputusan ByteDance berbuah manis. Faktanya, jumlah pengguna TikTok langsung bertambah drastis.

Mengacu pada data Statista, TikTok merupakan aplikasi seluler terpopuler di dunia pada 2022. Tahun lalu saja, ia diunduh 672 juta kali, lebih banyak dibanding Instagram, WhatsApp hingga Facebook.

Terlebih lagi, pada tahun ini jumlah pengguna aktif TikTok tercatat sudah melampaui pengguna aktif platform chat milik Meta, yakni Facebook Messanger.

Meskipun baru meretas industri media sosial sekitar 5 tahun, jumlah users yang secara aktif mengakses TikTok tiap bulannya sudah lebih dari 1 miliar dan menempatkannya di peringkat 6 sosial media dengan pengguna aktif bulanan terbanyak.

Seiring popularitas yang melesat, pundi-pundi cuan yang dihasilkan pun ikut bertambah. Tahun lalu, pendapatan TikTok diestimasi melesat ke level USD11 miliar atau setara Rp165 triliun. Nilainya naik lebih dari dua kali lipat (140%) jika dibandingkan dengan capaian tahun 2021 yang tercatat sebesar USD4,6 miliar.

Dianggap Mata-mata China

Di balik keberhasilannya, TikTok tergolong aplikasi seluler yang penuh dengan kontroversi. Ia kerap dikaitkan dengan pemerintah Tiongkok, sehingga acap kali kecipratan getah dan menjadi korban dari pasang surut hubungan diplomatik negara tersebut.

Dengan jumlah pengguna mencapai 113 juta orang, AS adalah pangsa terbesar bagi TikTok. Tapi di sisi lain, Washington menganggap hal itu sebagai ancaman serius dari Beijing. TikTok menjadi bulan-bulan AS saat negara tersebut mendeklarasikan perang dagang terhadap Cina pada 2018.

Langkah mereka mengakuisisi musical.ly bahkan diungkit kembali dan diusut melalui investigasi. Teranyar, Kongres AS memanggil Chief Executive Officer (CEO) TikTok Chew Shou Zi dan mencecarnya dengan setumpuk pertanyaan pada Kamis (23/3/2023) lalu. Drama pun terjadi.

TikTok menjawab semua tuduhan, namun legislatif tetap keberatan jika aplikasi tersebut masih beroperasi di wilayah AS. Selain membahayakan keamanan data, dampak buruknya terhadap anak-anak juga jadi alasan.

Menurut laporan Euronews, lebih dari setengah negara bagian AS telah melarang aplikasi tersebut di perangkat pemerintah.

Sejatinya, AS ingin memperluas pembatasan tersebut tidak hanya di pemerintahan, tapi pada penggunaan publik. Namun, tindakan tersebut tentu akan bertolak belakang dengan ideologi demokrasi yang memberikan kebebasan bersuara dan bereskpresi.

Tidak hanya Negeri Paman Sam, pemerintahan Australia, Kanada, Inggris, beberapa negara di Eropa dan Asia juga mengambil langkah yang sama. Mereka, terutama, memutuskan untuk melarang penggunaan aplikasi TikTok pada perangkat yang digunakan oleh aparatur negara masing-masing.

Alasan utamanya, serupa dengan AS, yakni untuk cybersecurity atau proteksi keamanan data pemerintahan yang mungkin bocor saat mengakses aplikasi tersebut.

“Ini adalah langkah pencegahan. Kamu tahu bahwa sudah ada pembatasan penggunaan TikTok di pemerintahan, tetapa ini juga merupakan pembersihan dunia maya yang baik,” ujar Sekretaris Negara Inggris, Oliver Dowden

Pemerintahan Perancis juga menyuarakan argumen yang serupa.

“Aplikasi rekreasi tidak menghadirkan keamanan cyber dan perlindungan data yang memadai untuk digunakan pada peralatan administrasi. Oleh karena itu, aplikasi ini dapat menimbulkan resiko terhadap perlindungan data administrasi dan pejabat publik mereka,” ujar pemerintah Perancis dalam sebuah pernyataan resmi.

TikTok juga dilarang di Afghanistan sejak pemerintahan dikontrol Taliban pada 2021. Berdasarkan laporan New York Times, parlemen AS dan sejumlah sekutu telah meningkatkan upaya pembatasan akses sejak beberapa bulan terakhir. Alasannya keamanan nasional. Aplikasi ini dicurigai alat propaganda dan mata-mata Beijing.

Sementara itu, India melarang warga menggunakan TikTok pada tahun 2019 karena alasan moral.

Konten yang berseliweran di aplikasi itu dianggap vulgar dan tidak mendidik. Tak lama berselang, larangan tiba-tiba dicabut. Namun India kembali memblokirnya saat bersitegang dengan Cina soal perbatasan wilayah pada pertengahan 2020.

Status TikTok di Ibu Pertiwi

Menurut catatan Statista, terdapat 109 juta pengguna TikTok di Indonesia pada Januari 2023, menjadikannya terbanyak kedua setelah AS. Dengan pemakai internet mencapai 215 juta orang dari total penduduk 275 juta jiwa, negara kita adalah santapan lezat bagi perusahaan teknologi seperti ByteDance.

Berbeda dengan AS, Pemerintah RI condong menyoroti konten tidak mendidik alih-alih khawatir terhadap sisi keamanan negara.

Indonesia sempat memblokir TikTok pada 2018 silam, namun hanya sementara dan bisa digunakan lagi oleh warganet sepekan kemudian.

Meskipun saat ini aksesnya telah dibuka, namun pada awal tahun ini penggunaan aplikasi besutan ByteDance tersbeut tidak diperbolehkan diakses oleh remaja dengan usia di bawah 13 tahun.

Kemudian terkait potensi kecurangan atau pemalsuan umur, Dirjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani mengungkapkan terdapat teknologi pengenalan wajah yang akan memindah wajah pengguna. Jika terdektsi masih di bawah usia minimal, maka akunnya akan otomatis ditutup.

Lebih lanjut, terkait dengan tindakan beberapa negara yang melarang TikTok pada perangkat pemerintah karena indikasi mata-mata, pemerintah Indonesia memilih untuk memantau situasi terlebih dahulu.

Hal ini dikarenakan, Kominfo belum menemukan indikasi pencurian data atau aksi spionase pada aplikasi tersebut.

Mempertimbangkan beberapa paparan resiko keamanan dan konten saat mengakses TikTok, pengguna sebenarnya dapat menghindari resiko tersebut. Misalnya dengan tidak memberikan akses terhadap lokasi dan kontak. Atau untuk lebih amannya, hanya sebatas menonton video tanpa membuat akun individual.

Baca juga artikel terkait TIKTOK atau tulisan lainnya dari Nanda Fahriza Batubara

tirto.id - Bisnis
Penulis: Nanda Fahriza Batubara
Editor: Dwi Ayuningtyas