tirto.id - Baca Bagian I: "Dari Sosrowijayan ke Ciburial, Pengalaman Menyimak Mata Irlandia"
Apa yang dikatakan oleh para kurator Mata Irlandia tentang "...hal-ihwal yang membentuk identitas individu sekaligus identitas kolektif di dunia kontemporer yang terpolarisasi" itu kentara betul dalam serial tiga lukisan “Potret Diri” karya Vanessa Jones.
Vanessa Jones adalah perupa keturunan Amerika-Korea yang menekuni lukisan-lukisan potret klasik Barat. Dalam amatan Vanessa, lukisan-lukisan potret Barat sering kali mengobjektifikasi perempuan dan sarat dengan atmosfer feminin.
“Saya tidak mengikuti cara tersebut,” katanya.
Namun demikian, semakin suntuk ia mempelajari tradisi lukisan potret klasik Barat, ia merasa ada semacam koneksi yang aneh namun indah yang kemudian mendorongnya untuk melukis diri sendiri.
“Ada hubungan yang istimewa yang saya temukan dalam melukis figur melalui potret diri yang membuat saya merasa terhubung dengan diri saya serta dengan tradisi potret bagi perempuan,” sambung Vanessa.
Hasilnya: serangkaian potret diri yang memadukan tradisi potret klasik Barat dengan identitas Vanessa sebagai peranakan Amerika-Korea, tapi dalam penggambaran yang jauh dari kesan feminin.
“Saya selalu menyukai lukisan potret Liotard (Jean-Étienne Liotard, 1702-1789) dan hal itu merupakan permulaan untuk mengambil beberapa foto asli diri saya sambil memegang sebilah arit, sedangkan Marie Antoinette memegang gulungan benang,” ujar Vanessa.
Arit atau bajak tangan yang dimaksud Vanessa adalah arit Korea, perkakas yang membuatnya merasa terhubung dengan kebudayaan sang ibunda.
“Ini adalah referensi bagi sesuatu yang sedikit istimewa pada diri saya dalam potret ini,” katanya, merujuk lukisan persegi dengan latar langit cerah dan kebun bunga, dan seorang perempuan—tentu saja Vanessa sendiri—mengenakan atasan putih tanpa lengan serta bawahan sepotong celana dalam merah muda. Gambaran yang tidak bakal kita temukan dalam tradisi potret klasik Barat semisal Monalisa.
Karya lain yang juga membuat saya betah memandanginya adalah foto-foto bikinan Louis Haugh dan Jamie Cross. Haugh memamerkan foto sebentang lanskap hutan sitka spruce alias cemara sitka (Picea sitchensis) dalam ukuran kurang lebih 2x3 meter, tampak seperti wallpaper. Di negeri asalnya, karya itu (atau karya-karya Haugh yang setema dengan itu) tidak hanya ditampilkan di dalam galeri, tapi juga di halte dan tembok bangunan.
Cemara sitka merupakan salah satu pohon tertinggi di dunia, jangkungnya bisa mencapai 100 meter dengan diameter bisa lebih dari 5 meter. Riset Haugh mengenai pohon yang lazim dijumpai di Irlandia ini menuntun Haugh pada sejarah kolonial lanskap Irlandia yang belum pernah ia ketahui sebelumnya. Ya, cemara sitka adalah warisan pendudukan Inggris di Irlandia, ditanam sebab berabad-abad sebelumnya Irlandia mengalami deforestasi.
“Sepertinya Ratu Elizabeth I yang menyatakan bahwa hutan Irlandia adalah tempat persembunyian bagi para pemberontak Irlandia, jubah pelindung bagi perlawanan Irlandia,” terang Haugh soal penyebab deforestasi yang melanda negerinya dulu. Naasnya, setelah hutan ek Irlandia dibabad demi menghalau perlawanan Irlandia terhadap pendudukan Inggris, perintah untuk mereboisasi lahan-lahan di Irlandia juga tidak muncul dari kesadaran akan pentingya oksigen atau menjaga lingkungan, tapi dari naluri bisnis bangsa penjajah bahwa lahan-lahan itu akan membawa keuntungan finansial bila dijadikan hutan industri.
“Pohon ini adalah jenis pohon yang sangat aneh untuk dilihat di lanskap Irlandia, tetapi orang-orang telah terbiasa dan bahkan sangat terbiasa sampai-sampai pohon cemara sitka ini tidak lagi diperhatikan orang. Tidak ada yang mengetahui pohon ini, tidak ada yang mengerti bagaimana pohon ini ada di sini dan bagaimana bisa dia tumbuh di sini,” sambung Haugh.
Di tengah wallpaper hijau itu Haugh juga memamerkan tiga foto monokrom berbingkai hitam yang materinya masih berhubungan dengan cemara sitka: sepotong lengan dengan jemari (tepatnya jempol dan telunjuk) menjepit sehelai bulu daun tersebut. Sekilas, bulu daun tersebut terlihat seperti jarum, tipis dan tajam, sedangkan fotonya sendiri tampak seperti lukisan hitam putih jika dipandang dari kejauhan. Sungguh sebuah sajian yang lembut dan menawan, sekalipun bulu daun yang mirip jarum itu seakan-akan menyiratkan sesuatu yang menusuk dan menyakitkan.
“…pohon-pohon yang bukan berasal dari Irlandia ini, pohon-pohon dengan tipe Skandinavian yang menyelimuti Irlandia, menimbulkan persoalan tertentu dalam lanskap Irlandia,” terang Mark Joyce, kurator pameran.
Adapun enam foto Jamie Cross—satu dicetak biasa sedangkan lima sisanya dipajang dengan bingkai neon box—kental dengan nuansa minimalis dan elegan. Objek yang ditampikan Jamie terlihat asing dan abstrak, padahal sumbernya berasal dari benda-benda yang biasa ditemui di rumah atau ruang pribadi seseorang: aneka bentuk yang dihasilkan cahaya lampu, pelindung kabel, (mungkin) siluet kembang, dan seterusnya.
Jamie adalah seorang perupa dan fotografer yang selama dua tahun terakhir—lebih-lebih saat pandemi Covid-19—mulai melakukan pendekatan seni patung ke dalam karya-karya fotografinya. Hanya, ia tidak memotret patung, tapi memotret gejala-gejala di ruang domestik yang dianggapnya memenuhi komponen seni patung.
“Ia fokus pada material, permukaan, dan realitas fisik di mana kita berada, serta bentuk-bentuk yang berada dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Mark.
Jamie sendiri mengakui, saat ia menyimak momen-momen tertentu, mengamati hal-hal di sekitar dirinya, rasa ingin tahunya selalu muncul sehingga ia lekas-lekas mengabadikan semua itu lewat ponselnya. Kebiasaan itu seolah menjadikan folder galeri di ponsel Jamie tak ubahnya buku catatan atau katalog karya. “Saya memikirkan sesuatu yang spesifik pada foto atau video yang saya ambil. …saya merasa bahwa saya berpikir seperti membuat patung—saya cukup terlatih dengan seni patung—dan di sisi lainnya saya mempunyai aspek digital,” ungkap Jamie.
Hasilnya, pinjam ungkapan Rita Widagdo, beberapa karya Jamie terlihat muncul “sebagai wujud baru yang telah berhasil melepaskan diri dari ‘tuntutan represional’ yang pernah ada sebelumnya.” Ciri yang lazim pada karya-karya modernis.
Secara harfiah, Mata Irlandia (Ireland’s Eye) adalah nama sebuah pulau tak berhuni yang bisa dijangkau dengan perjalanan 15 menit menggunakan feri dari dermaga Howth, 15 kilometer di timur laut kota Dublin. Dari pulau karang inilah, yang juga menjadi habitat burung-burung, para pengunjung bisa menatap lanskap Irlandia—hal yang secara metaforis menjadi tujuan diselenggarakannya pameran “Mata Irlandia” di Indonesia. Ya, untuk melihat dan mengenal, sekalipun selintas lalu, situasi dan perkembangan (seni kontemporer) Irlandia sekarang.
“Mata Irlandia” , berlangsung pada 17 Juni-31 Juli 2022, terselenggara atas kerja sama antara SSAS dan ISA Art and Design, Jakarta, serta didukung oleh Culture Ireland dan Kedutaan Besar Irlandia di Jakarta. Keenam perupa yang memamerkan karyanya di pameran itu adalah lulusan pascasarjana dua kampus seni di Dublin: The National Collage of Art and Design serta Institute of Art, Design, and Technology.
Jika tujuan seni adalah membersihkan debu kehidupan sehari-hari dari jiwa kita—begitulah kata Pablo Picasso—mendatangi pameran “Mata Irlandia” memang lumayan membuat saya merasa terbebas dari kejumudan. Meski sebentar, pengalaman itu bernilai.
Editor: Nuran Wibisono