Menuju konten utama

Masyarakat Rentan Miskin, Pengenaan PPN Sembako Harus Hati-hati

Pemerintah harus hati-hati menerapkan pajak sembako ini mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang rentan miskin.

Masyarakat Rentan Miskin, Pengenaan PPN Sembako Harus Hati-hati
Sejumah wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wajib Pajak Besar di Jakarta, Senin (1/3/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

tirto.id - Ekonom senior Faisal Basri mengingatkan agar pemerintah hati-hati dalam menerapkan kebijakan pajak baru, terutama soal skema pengenaan pajak penambahan nilai (PPN) sembako dan 17 sektor lain.

Faisal mengingatkan, pemerintah harus hati-hati menerapkan pajak sembako ini mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang rentan miskin. Ia menjelaskan, dari sisi angka kemiskinan memang sudah turun menjadi 10 persen. Namun, Faisal menggarisbawahi bahwa yang tidak miskin kondisinya masih jauh dari sejahtera. Faisal menyebut 52,8 persennya merupakan penduduk yang posisinya insecure alias rentan miskin.

“Kalau ada shock sedikit mereka akan miskin kembali 52,8%, tinggi sekali. Kalau saya enggak salah jumlahnya 143 juta [orang] ya itu lebih tinggi dari jumlah orang yang miskin 27 juta dan jauh lebih tinggi dari penerima PBI JKN sebanyak 96,8 juta jiwa. Masyarakat rentan itu jauh lebih besar, jadi hati-hati menerapkan peningkatan PPN,” kata Faisal dalam diskusi virtual, Minggu (7/4/2021).

Faisal menegaskan, rencana pengenaan PPN untuk sembako dan 17 sektor lainnya ini perlu ditolak karena penerimaannya tidak untuk memberikan subsidi yang masyarakat butuhkan, melainkan untuk pembayaran utang.

“Inilah yang paling meningkat belanjanya bukan untuk rakyat, yaitu untuk bayar bunga utang, kedua belanja barang, kemudian belanja pegawai, baru belanja modal. Ini [pengenaan PPN] patut kita tolak,” terang dia.

Kebijakan ini perlu dikaji karena kondisi Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan Eropa yang sudah duluan menerapkan skema multi tariff sejenis PPN.

“Jangan sekali-kali kita bandingkan dengan OECD [Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan], jangan kita bandingkan dengan negara Eropa, karena di antara negara-negara emerging dan negara negara berkembang lainnya pun Indonesia ini kondisinya masih sangat parah rakyatnya itu,” kata Fasial Basri

Faisal menyoroti paparan pemerintah yang menyebut penerapan PPN multitarif di 14 negara. Misalnya Austria 13-20 persen, Kolombia 5-19 persen, Republik Ceko 15-21 persen, Prancis 10-20 persen, Yunani 13-24 persen, Hungaria 5-27 persen, Irlandia 4,8-23 persen, Italia 10-22 persen, Latvia 5-21 persen, Polandia 5-23 persen, Portugal 6-23 persen, Slovenia 10-22 persen, Spanyol 4-21 persen, dan Turki 8-18 persen.

"Mereka itu mengenakan pajak tinggi tapi rakyat tidak pernah protes karena pelayanan pemerintah juga sebanding dengan pajak yang dibayar," terang Faisal.

"Sekolah gratis, perguruan tinggi gratis, rumah sakit gratis, tidak ada kelas-kelas-an. Jadi mereka ikhlas. Jangan dibandingkan, tidak apple to apple," ucap Faisal.

Ia juga menggarisbawahi rencana pemerintah mengenakan pajak untuk pengusaha kecil.

“Pajak perusahaan, ini berburu di kebun binatang karena yang bayar pajak yang besar dan medium, sementara sebagian besar usaha kita adalah mikro. Boro-boro dipajakin, wong badan usahanya enggak ada. Ayo transformasikan dulu agar mikronya naik kelas, jadi bikin bibit unggul baru pajaknya datang secara otomatis,” terang dia.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengungkapkan rencana pemerintah menerapkan PPN multitarif. Rencana itu dimasukkan dalam revisi RUU KUP, yang bertujuan melakukan reformasi fiskal. Menkeu mengatakan reformasi perpajakan dilakukan dengan tujuan untuk membuat basis pajak yang kuat dan merata. Hal itu diharapkan bisa mendorong APBN yang sehat dan berkelanjutan, yang pada akhirnya mendorong ekonomi tumbuh tinggi.

Pengenaan multitarif PPN dilandasi C-Efficiency PPN Indonesia sebesar 63,58%, yang artinya Indonesia hanya bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut. Selain itu, pemerintah menilai terlalu banyak pengecualian atas barang dan jasa (4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa) dan terlalu banyak fasilitas (PPN dibebaskan dan PPN tidak dipungut) sehingga menyebabkan distorsi dan terjadinya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada PDB dan PPN DN.

Tarif PPN 10% yang selama ini dikenakan juga dinilai jauh lebih rendah dari tarif rata-rata dunia 15,4% 4. Tarif tunggal ini dinilai kurang mencerminkan keadilan.

Dalam catatan Kementerian Keuangan, kinerja PPN Indonesia masih berada di bawah Thailand dan Singapura. 
Jika dibandingkan rata-rata negara Mexico (37,88%) dan Turki (46,96%), Indonesia lebih baik. Namun, jika dibandingkan dengan Afrika Selatan (70,24%%) dan Argentina (83,71%), maka kinerja PPN Indonesia masih berada di bawah. 


"Untuk barang konsumsi masyarakat banyak kebutuhan pokok jasa pendidikan kesehatan dikenakan PPN tarif PPN lebih rendah atau dapat tidak dipungut PPN serta bagi masyarakat yang tidak mampu dan dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi," jelas Sri Mulyani saat memaparkan tentang RUU KUP di DPR pada akhir Juni lalu.

Baca juga artikel terkait PPN SEMBAKO 2021 atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti