tirto.id - Tidak semua jasa pendidikan akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Nantinya, jasa pendidikan yang akan dikenai PPN hanyalah yang bersifat komersial jika RUU KUP disahkan.
“Yang namanya jasa pendidikan itu rentangnya luas sekali dan yang dikenakan PPN tentunya yang mengutip iuran dalam jumlah batasan tertentu yang nanti harusnya dia dikenakan PPN,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor dalam media briefing secara daring di Jakarta, Senin (14/6/2021), seperti dilansir Antara.
Ia menyatakan jasa pendidikan yang mengemban misi sosial, kemanusiaan dan dinikmati oleh masyarakat banyak pada umumnya tidak akan dikenakan PPN.
“Misalnya masyarakat yang bersekolah di SD negeri dan sebagainya tentunya ini tidak akan (dikenakan) PPN,” tegasnya.
Namun, Neilmaldri menyatakan belum dapat menjelaskan secara detail mengenai tarif PPN tersebut mengingat Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) masih perlu dibahas bersama DPR RI.
“Berapa batasannya, ini kita masih akan melewati pembahasan oleh karena itu kita tunggu. Yang jelas jasa pendidikan yang bersifat komersial dalam batasan tertentu ini akan dikenakan PPN,” ujarnya.
Ia memastikan rencana kebijakan pengenaan dalam RUU KUP bertujuan untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah termasuk di bidang pendidikan.
Menurutnya, pada umumnya masyarakat menengah ke bawah akan menyekolahkan anak mereka di sekolah yang tidak berbayar atau berbayar namun tidak mahal yakni misalnya di sekolah negeri.
“Saya rasa kalau dia tidak dapat beasiswa misalnya masyarakat lapisan bawah dia tidak akan pergi ke sekolah yang berbayar karena sekolah yang tidak berbayar juga banyak yang bagus,” katanya.
Rencana kebijakan pengenaan PPN pada bidang pendidikan menerapkan aspek ability to pay yaitu kemampuan yang mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Ia menjelaskan fasilitas pengecualian barang atau jasa kena PPN selama ini kurang tepat sasaran karena ternyata masyarakat golongan atas juga menikmatinya padahal ditujukan untuk masyarakat menengah ke bawah.
Pemerintah ingin masyarakat berpenghasilan tinggi atau golongan atas dapat memberikan kontribusi pajak lebih besar daripada masyarakat menengah ke bawah.
“Pengaturan seperti ini yang ingin kita coba agar pemajakan ini jadi lebih efisien, lebih baik lagi,” tegasnya.
Ia memastikan pemerintah tidak mungkin memberikan beban kepada masyarakat di tengah kondisi seperti saat ini terutama untuk golongan menengah ke bawah. Oleh karena itu, rencana pengenaan PPN terhadap bidang pendidikan merupakan upaya gotong royong dalam mengatasi permasalahan yang ada.
“Ini bukan pendidikan seperti yang disampaikan selama ini misalnya wah ini bisa putus sekolah. Tentu bukan pendidikan seperti itu. Ini pendidikan yang dikonsumsi masyarakat dengan daya beli jauh berbeda sesuai ability to pay,” jelasnya.
Perluasan Objek PPN
Neilmaldrin juga menjelaskan soal perluasan objek kena PPN. Menurutnya, pemerintah ingin menciptakan sistem pemungutan PPN yang lebih efisien dan less distortion mengingat distorsi ekonomi terjadi seiring adanya tax incidence sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor.
Dibandingkan dengan negara lain ternyata tarif PPN di Indonesia termasuk relatif rendah karena rata-rata tarif PPN negara OECD mencapai 19 persen sedangkan negara BRICS sebesar 17 persen.
Selanjutnya, C-efficiency PPN Indonesia sebesar 0,6 atau 60 persen dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut sedangkan Singapura, Thailand dan Vietnam sudah lebih tinggi 80 persen.
Ia menjelaskan terdapat pergeseran kondisi pengenaan perpajakan PPN secara global pada beberapa tahun terakhir yang disebabkan oleh tingginya tax expenditure.
“Tarif standar PPN di 127 negara yaitu sekitar 15,4 persen dan juga banyak negara yang kemudian meninjau ulang tarif PPN dalam rangka menjaga prinsip netralitas,” katanya.
Penulis: Antara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti