tirto.id - Sekitar 50-an orang yang mengatasnamakan diri Masyarakat Adat Independen menggelar demonstrasi di Bundaran Timika Indah, Timika, Papua, Senin, menuntut penutupan segera PT Freeport Indonesia.
Juru bicara demonstran Vinsen Oniyoma mengatakan sejak masuk ke Timika setelah mendapat legalitas dari undang-undang penanaman modal asing pertama tahun 1967 di Indonesia, Freeport tidak pernah melibatkan dan menghargai hak-hak masyarakat adat Amungme dan Kamoro, dua suku besar pemilik hak ulayat.
Menurut dia, Freeport baru mengucurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan setelah aksi warga di Timika yang merenggut nyawa tahun 1996.
"Dana satu persen yang diberikan pun tidak membuahkan kesejahteraan, melainkan menimbulkan konflik internal di kalangan masyarakat akar rumput dikarenakan para elit memanfaatkan untuk kepentingannya sementara masyarakat akar rumput tidak pernah merasakan dampak CSR itu hingga saat ini," tuturnya, seperti dikutipd ari Antara.
Ia juga mengatakan bahwa perusahaan sudah menyebabkan kerusakan lingkungan, melanggar hak asasi manusia, dan menimbulkan konflik sosial yang melukai hati masyarakat adat.
"Banyak persepsi dan kepentingan di kalangan elit Nasional Indonesia sampai ke Papua, di mana mereka tidak pernah berbicara tentang situasi yang sebenarnya terjadi di masyarakat akar rumput yang mengalami dampak langsung dari keberadaan PT Freeport," katanya.
Oleh karena itu, dalam aksi yang dikawal belasan polisi bersenjata, Masyarakat Adat Independen menuntut penutupan Freeport dan pengauditan Freeport.
Mereka juga meminta Freeport dan pemerintah lndonesia bertanggung jawab mengembalikan kerugian akibat kerusakan alam yang terjadi akibat aktivitas penambangan perusahaan di Timika.
Sejak diterbitkannya peraturan mengenai Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK), PT Freeport Indonesia terkena imbasnya karena harus mengganti perjanjian Kontrak Karya (KK) dengan IUPK dalam kegiatan produksi konsentrat (emas, perak dan tembaga).
IUPK tersebut memposisikan pemerintah sebagai pemberi izin kegiatan produksi dengan posisi yang lebih kuat daripada korporasi sebagai pemegang izin sekaligus mewajibkan pemegang izin untuk mendivestasi 51 persen sahamnya kepada pemerintah.
PT Freeport kembali bisa mengekspor konsentrat tembaga sebesar 1.113.105 metrik ton setelah pemerintah meneken Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017 kepada PT Freeport tertanggal 17 Februari 2017.
Sedangkan Freeport McMoRan Inc, induk perusahaan PT Freeport Indonesia (PTFI), menilai pemerintah Indonesia telah memutuskan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada 1991 secara sepihak dengan mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Terkait hal tersebut, PT Freeport Indonesia telah mengirimkan surat kepada pemerintah dengan memberikan waktu 120 hari untuk melakukan perundingan terkait status Freeport. Apabila masih belum ada titik terang, PT Freeport akan membawa perkara ini ke arbitrase mahkamah internasional.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri