Menuju konten utama

Masyarakat Adat di Sumut dan Kaltim Masih Sulit Ikut Pemilu

Banyak masyarakat adat yang tidak memiliki e-KTP dan jauh dari Disdukcapil terdekat.

Masyarakat Adat di Sumut dan Kaltim Masih Sulit Ikut Pemilu
Petugas KPU memeriksa logistik Pemilu 2019 yang baru datang di gudang KPU, Malang, Jawa Timur, Kamis (1/11/2018). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/wsj.

tirto.id - Masyarakat adat di Sumatera Utara (Sumut) dan Kalimantan Timur (Kaltim) masih sulit untuk ikut pemilihan umum (pemilu) . Menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada beberapa alasan yang membuat masyarakat adat di kedua wilaya itu tak bisa ikut pemilu, salah satunya e-KTP.

"Karena permasalahan utamanya untuk UU Pemilu harus punya KTP elektronik [e-KTP], sedangkan banyak masyarakat adat yang enggak punya e-KTP karena hidup di hutan lindung," kata salah satu peneliti Perludem, Mahardhika kepada reporter Tirto pada Jumat (16/11/2018).

Secara hukum, mereka tidak diperbolehkan untuk tinggal di hutan lindung. Persoalan konflik lahan tempat tinggal ini salah satunya dialami Komunitas Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di Kampung Menteng, Desa Amplas, Sumatera Utara yang berada dalam kawasan konflik dengan Hak Guna Usaha (HGU) ex-Perkebunan Nusantara (PTPN) II.

Negara tidak mau mengakui domisili masyarakat adat karena berada dalam kawasan HGU ex-PTPN II. Kondisi ini menyebabkan pemerintah Desa Amplas menolak untuk melakukan pendataan penduduk sebab dianggap sebagai penduduk ilegal. Berdasarkan penelitian Perludem, tercatat sebanyak 147 orang masyarakat adat Kampung Menteng tidak terdata sebagai pemilih.

Selain itu, persoalan lain yaitu masyarakat adat sulit untuk mengakses pelayanan administrasi kependudukan yang dilakukan di Kantor Kecamatan maupun Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).

Masyarakat Kampung Jontai, Kutai Barat, Kaltim harus menempuh jarak sekitar 30 kilometer untuk ke Disdukcapil Kabupaten Kutai Barat. Mereka mesti berjalan kaki atau mengendarai motor, menyeberangi sungai, dan sebagainya. Sulitnya akses menjadi hambatan khususnya untuk masyarakat dengan usia lanjut.

"Akses yang jauh itu bikin masyarakat adat, khususnya orang-orang tua, belum terekam datanya. Ada juga yang sudah merekam, tapi KTP elektroniknya belum selesai karena terhambat di birokrasi, padahal akses ke sananya saja sudah sulit," kata Mahardhika.

Persoalan lain yang juga ditemui Perludem adalah konflik antara masyarakat adat dan perusahaan. Salah satu wilayah yang memiliki persoalan ini adalah Kampung Muara Tae, Kecamatan Jempang, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Komunitas masyarakat adat Ohokng Sangokng konflik lahan dengan wilayah perkebunan sawit milik PT Borneo Surya Mining Jaya dan PT Munte Waniq Jaya Perkasa.

Di Kampung Muara Tae terdapat sejumlah nama yang terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT), padahal mereka sudah tidak berdomisili di wilayah tersebut. Ada pula sejumlah nama yang terdaftar berulang. Nama-nama anomali dalam daftar pemilih tersebut disalahgunakan melalui surat pemberitahuan memilih (Form C6) yang diberikan pada pemilih lain.

Sementara untuk masyarakat adat yang menentang perusahaan, tidak dibagikan Form C6. Karena mendapat distorsi informasi terkait pemilu, beberapa pihak menganggap C6 merupakan syarat mutlak untuk menggunakan hak pilihnya, sehingga yang tidak punya C6 tak bisa memilih.

Modus semacam itu telah dilakukan di pemilihan kepala desa (pilkades) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk memenangkan petahana yang biasanya dekat dan properusahaan.

Mahardhika mengatakan, ia belum lama ini menyampaikan temuan-temuan dari penelitian Perludem ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). "Kami berharap dua sampel ini jadi warning untuk KPU agar bisa mendata lagi permasalahan masyarakat adat di tempat lain," katanya.

Atas temuan tersebut, komisioner KPU Hasyim Asyari menyampaikan akan berkomunikasi dengan pemerintah daerah setempat. Mereka pun akan mengakomodir masyarakat adat yang sulit mendapatkan akses tersebut.

"Jadi jangan sampai permasalahan data kependudukan menjadi hambatan untuk mengikuti pemilu," kata Hasyim saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (16/11/2018).

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Politik
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Dipna Videlia Putsanra