tirto.id - Debat calon presiden putaran kedua berjalan cukup menarik. Kedua kandidat bermain sportif dan saling membuahkan gol. Tapi, di luar kompetisi kedua kubu, apa yang sesungguhnya dipertaruhkan dalam debat itu belum tampak jelas.
Beberapa catatan berikut bisa dipertimbangkan agar debat mendatang bisa lebih tajam.
Sejak debat putaran pertama, aturan permainan debat terlalu ribet, bertele-tele, bahkan norak. Aturan main memang harus transparan dan ketat untuk memastikan fairness, efisiensi waktu dan efektifitas forum agar setiap kandidat bisa maksimal mendemonstrasikan kualitas kepemimpinan kepada publik.
Tapi bukan berarti setiap detil prosedur harus dipertontonkan, seperti undian pertanyaan, amplop tersegel, lebih-lebih bunyi timer yang berisik pada debat pertama. Debat capres bukan lomba cerdas cermat P4.
Prosedur bertele-tele justru memperlihatkan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pengelola kurang percaya diri. Serba takut disalahkan, takut tekanan. Selain membuat keseluruhan debat jadi kaku, formalisme yang berlebihan bisa mengaburkan substansi. Tanpa demonstrasi aturan yang njelimet, debat capres di negara-negara lain justru berjalan efisien, efektif, elegan dan enjoyable!
Itu baru yang pertama.
Kedua, moderator idealnya adalah tokoh publik yang dikenal luas menguasai isu-isu besar yang menjadi topik perdebatan dan memiliki perspektif berimbang, non-partisan. Itulah sebabnya di negara-negara seperti Amerika Serikat, Perancis dan Inggris, moderator debat kebanyakan adalah jurnalis handal yang sangat berpengalaman. Moderator adalah pemandu, bukan cuma pembaca pertanyaan.
Dalam perkara sebesar dan sepenting kompetisi calon pemimpin negara, tugas moderator pertama-tama bukanlah menjadi timer pemberi aba-aba: “Waktu habis…”, “Masih ada waktu…”, atau menenangkan penonton (yang memang norak!).
Moderator debat kedua kemarin tampak tidak diberi kewenangan untuk memastikan arah, fokus dan substansi perdebatan tereksplorasi secara maksimal sehingga visi, gagasan dan keunggulan masing-masing kandidat muncul lebih cemerlang.
Ketiga, keluasan perspektif para kandidat ketika menjajaki isu belum tergambar jelas. Sejarah bangsa yang kaya sebagai latar belakang dan situasi global yang sangat menantang sebagai latar depan nyaris tidak muncul. Kedua kandidat selalu menekanankan keberpihakan kepada rakyat tanpa pernah menyebut nama dan gagasan-gagasan penting Bung Karno, Bung Hatta atau tokoh bangsa lainnya. Ketika bicara energi, lingkungan, pangan, atau unicorn, peta dan konstelasi geopolitik global yang menjadi setting serta bagaimana kebijakan yang ditawarkan seorang kandidat akan memiliki posisi strategis bagi kepentingan nasional juga tidak begitu tampak.
Akibatnya, keempat, selain jadi tampak “lepas konteks”, akhirnya kedua kandidat lebih sering berputar-putar adu strategi teknis tanpa mengungkap prinsip-prinsip moral-ideologis yang mestinya menjadi pertaruhan lebih mendasar dalam perdebatan. Padahal peluang-peluang untuk itu cukup banyak. Ungkapan semacam “pertanyaan fundamental dalam pilpres ini adalah…” yang menjadi dasar tawaran kebijakan seorang capres pun tidak terdengar.
Perdebatan tentu akan lebih mendalam dan mencerahkan jika dalam mengkritik kebijakan Jokowi tentang impor, pengelolaan hutan, atau infrastruktur, misalnya, Prabowo bukan cuma menyatakan tidak setuju secara teknis atau menunjukkan problem teknis kebijakan Jokowi. Prabowo juga perlu mengungkap apa problem moral dan ideologis di balik kebijakan-kebijakan Jokowi dan bagaimana pelaksanaan kebijakan itu bertentangan secara serius dengan cita-cita kehidupan bangsa menurut pandangannya. Yang lebih penting, bagaimana ia akan merevisi atau menggantinya dengan tawaran kebijakan yang berbeda.
Begitu juga sebaliknya, dengan data dan angka yang solid (sebagian sudah disebut), Jokowi perlu menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yang telah ditempuhnya adalah pelaksanaan amanat konstitusi dan perwujudan cita-cita kemerdekaan bangsa sebagaimana diyakininya dan bahwa tawaran kebijakan Prabowo adalah pilihan yang secara prinsip berseberangan, bahkan berisiko besar bagi arah kehidupan bangsa.
Kelima, para kandidat perlu menjelaskan kerangka kebijakannya secara sederhana dan lugas agar mudah dipahami publik. Janji Prabowo untuk menurunkan harga, menaikkan gaji pegawai, menyediakan kebutuhan dasar sebagai komitmen keberpihakan kepada rakyat kecil, misalnya, memang terdengar sangat manis. Tetapi jika tanpa dibarengi dengan rancangan “gambaran besar” bagaimana itu semua mau dilakukkan, dengan cara apa, dari mana sumber dananya, publik akan kesulitan menangkap wujudnya.
Jokowi pun perlu menjelaskan gambaran besar di balik proyek infrastruktur, impor, pengelolaan sumber daya alam, dll. Sehingga publik tidak cuma disodori angka pertambahan panjang jalan tol, jumlah pelabuhan atau lahan kelapa sawit. Yang lebih penting adalah bagaimana angka-angka itu “bunyi” dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak secara sustainable. Bahwa kebijakannya bukan cuma dinikmati segelintir orang, apalagi memperbesar jurang sosial, bahkan mengundang kebangkrutan bersama di masa depan.
Dengan memahami “kerangka” atau “gambaran besar” kebijakan yang dibangun di atas prinsip moral dan ideologis, publik bisa melihat seberapa jernih, serius dan efektif seorang calon hendak memperjuangkan kehidupan bersama bangsa ini. Kerangka kebijakan berfungsi menghubungkan strategi teknis dan pijakan ideologis.
Sekadar contoh, di Amerika Serikat, skema perpajakan, pendidikan murah dan sistem jaminan kesehatan bukan cuma merupakan topik perdebatan teknis kebijakan. Di balik model tawaran kebijakan yang berbeda adalah kontestasi prinsip moral-ideologis yang sangat serius sebagai pertaruhan utama.
Kandidat presiden Partai Demokrat, misalnya, memiliki tawaran kebijakan biaya kuliah murah dengan skema yang sudah disiapkan. Juga jaminan kesehatan yang luas. Dengan kesempatan pendidikan yang sama dan kesehatan yang baik, setiap warga negara akan memiliki akses yang setara terhadap peluang menuju sukses.
Tetapi untuk itu Pemerintah membutuhkan dana amat besar. Dari mana? Orang-orang kaya yang selama ini telah menikmati keuntungan dan privilese melimpah harus membayar pajak besar. Siapa yang menerima lebih banyak harus menyumbang lebih banyak!
Bagi Partai Republikan, persis di sinilah soalnya. Para pengusaha dan orang kaya adalah tulang punggung ekonomi negara. Jangan sampai mereka terlalu dibebani pajak besar, supaya bisnis mereka lancar. Jika bisnis lancar, ekonomi kuat. Lapangan kerja makin luas, upah buruh kian baik. Dengan demikian, orang-orang mampu membiayai anak-anak mereka kuliah dan membeli asuransi kesehatan sendiri. Negara tidak perlu repot-repot menggali sumber dana besar dengan cara yang justru akan membuat sistem perekonomian terperosok. Seluruh warga negara akan rugi, bahaya!
Para kandidat di Pilpres Amerika memperdebatkan tawaran kebijakan teknis, tapi yang menjadi pertaruhan utama adalah prinsip-prinsip ideologis dan moral yang berbeda. Itulah juga jenis perdebatan yang dulu digumuli para tokoh seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dll.
Keenam, di mana wajah manusia nyata yang hendak dilayani oleh tawaran kebijakan capres-capres ini? Jika politik mau ditempatkan sebagai bagian nyata dari kehidupan sehari-hari, perdebatan kebijakan harus ditampilkan melalui contoh pengalaman yang dekat dan kongkret.
Ketika mengkritik Jokowi, Prabowo perlu mengangkat contoh faktual, seseorang dengan nama, alamat, dan problematika riil yang bisa langsung nyambung dengan publik, untuk memperlihatkan masalah mendasar yang diakibatkan oleh kebijakan Jokowi. Sekaligus, bagaimana tawaran kebijakannya akan mengoreksi problem itu menurut visi yang dituju.
Begitu juga Jokowi perlu mengangkat contoh ‘etnografis’ agar publik bisa menyaksikan wajah manusia nyata sebagai bukti efektifitas dan keberhasilan kebijakannya. Bahwa kebijakannya memang benar-benar mengangkat kehidupan ekonomi dan martabat petani, pedagang kecil, nelayan, guru, dll. Bahwa kebijakannya terbukti menjamin setiap warga negara untuk memiliki kesempatan yang sama guna mencapai hidup layak dan bermartabat
Dengan begitu, perdebatan teknis kebijakan yang berpijak pada prinsip-prinsip ideologis dan moral bisa menemukan wajah manusia yang nyata dan menyapa setiap warga negara. Perdebatan bisa lebih tajam dan mendalam.
Politik pun menjadi lebih kongkret, relevan, penting dan hidup.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.