tirto.id - Minggu malam kemarin, sembilan anak muda yang pernah jadi wartawan kampus di universitas yang sama berkumpul di sebuah kafe, Jakarta. Rentang umurnya juga berbeda, mulai dari 22-28 tahun. Mereka tak bisa kompak membahas satu hal jika sudah kongkow keasyikan. Posisi kursi yang memanjang membuat pembahasan tema obrolan jadi terpecah-pecah.
Di satu titik, ada beberapa orang di antara mereka yang membahas investasi termasuk soal reksa dana. Tiga di antaranya yang tampak antusias mendengar. Satu orang ada yang terlihat celingak-celinguk mencari kursi kosong untuk pindah.
“Kenapa pindah kau?” tanya seorang dari mereka.
“Nggak ngerti aku. Hahaha… Investasi itu nanti-nanti dululah,” jawabnya sambil terkekeh.
Obrolan anak muda itu seakan sedang menggambarkan sebuah hasil riset yang dilakukan Manulife. Belum lama ini, perusahaan asuransi ini mengeluarkan studi tentang milenial Asia yang terancam masa tuanya ketika memasuki masa pensiun. Laporan itu menyebutkan, 3 dari 10 milenial diprediksi akan kekurangan uang di masa pensiun dan hampir 4 dari 10 akan membawa-bawa utang hipoteknya sampai masa pensiun.
Ancaman bagi masa pensiun milenial Asia ini disebabkan karena jumlah tabungan mereka lebih sedikit dari seharusnya. Survei dari Scwhab Retirement Plan Services Agustus lalu cukup klop dengan data tersebut. Dari saran para ahli untuk menabung 10-15 persen dari pemasukan, hampir semua milenial bahkan kepayahan untuk menyimpan separuh dari target yang disarankan para perencana keuangan.
Padahal menurut Manulife, rata-rata milenial menginginkan jumlah tabungan pensiunnya mencapai 8,2 kali dari pendapatannya per tahun. Sementara rata-rata tabungan pensiun milenial Asia cuma 7,5 kali dari pendapatannya per tahun.
Khayalan tinggi para milenial ini sejalan dengan survei Scwhab. Seperti generasi lainnya, terutama Generasi X yang ada di atas mereka, para milenial juga memperhitungkan tabungan masa pensiun dalam pendapatannya. Bahkan menjadikannya fokus utama dari tabungan-tabungan lain. Namun, di saat yang sama, milenial juga membagi penghasilannya untuk menjadi tabungan-tabungan lain, berupa: biaya sekolah lagi, tagihan kartu kredit, dan keamanan kerja.
Khayalan ini berbanding lurus dengan kenyataan. Menurut temuan Schroders Global Investor pada 2016 lalu, sebanyak 41 persen milenial mengaku berinvestasi cuma dalam jangka waktu kurang dari setahun. Hal inilah yang membuat jumlah tabungan mereka jadi tak sampai target seharusnya. Rata-rata milenial cuma menabung sepertiga dari yang seharusnya ditabung untuk masa tua ketika pensiun.
Menurut laporan tersebut, hal ini dapat dimaklumi karena milenial umumnya memang lebih suka memenuhi kebutuhan terdekatnya, seperti menabung untuk rumah, atau membiayai kebutuhan anak.
Kebiasaan ini yang menjauhkan mereka dari niatnya yang juga memikirkan tabungan untuk masa pensiun.
Dari data terbaru yang dikumpulkan Transamerica Institute, sebuah lembaga profit yang bergerak di jasa simpanan masa pensiun, perbandingan simpanan dana masa tua generasi milenial di Amerika Serikat memang paling sedikit ketimbang dua generasi sebelumnya. Rata-rata milenial cuma menyimpan $31 ribu. Sedangkan Generasi X $69 ribu, dan generasi Baby Boomer rata-rata sampai $147 ribu.
Perolehan rata-rata simpanan pensiun itu sudah ditotal dari semua tabungan yang mungkin mereka simpan semasa bekerja. Mulai dari tabungan pribadi, jaminan sosial, dan program 401(k)—sebuah program tabungan masa pensiun yang disisihkan pekerja dari gajinya untuk diambil di masa pensiun, tanpa dikenakan potongan pajak sebelum tabungan itu diambil. Mirip seperti program Jaminan Hari Tua, di Indonesia.
Hasil survei-survei terhadap milenial jadi pesan yang perlu dipertimbangan bagi Anda kaum milenial yang ingin melangkah ke masa depan. Sudah bukan lagi memikirkan slogan "muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga!" tapi berpikir bagaimana menyiapkan masa pensiun agar tak jadi suram.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra