Menuju konten utama

Masa Penahanan Syafruddin Arsyad Diperpanjang hingga 20 Maret 2018

KPK memperpanjang masa penahanan Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Masa Penahanan Syafruddin Arsyad Diperpanjang hingga 20 Maret 2018
Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung berjalan meninggalkan gedung KPK seusai diperiksa di Jakarta, Rabu (3/1/2017). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id -

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan tersangka korupsi Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Hari ini dilakukan perpanjangan penahanan selama 30 hari, 19 Februari 2018 sampai dengan 20 Maret 2018 untuk tersangka SAT," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (15/2/2018).

Syafruddin merupakan tersangka kasus dugaan suap pemberian surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Dia dijerat sebagai tersangka lantaran diduga menyalahgunakan kewenangan terkait penerbitan SKL tersebut. KPK menduga Syafruddin telah menguntungkan sejumlah pihak dan merugikan keuangan negara mencapai Rp 4,58 triliun.‎

Perpanjangan penahanan Mantan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2002-2004 itu merupakan perpanjangan penahanan kedua. Syafruddin mulai ditahan, Kamis (21/12/2017). Lembaga antirasuah pun menahan Syafruddin selama 20 hari.

KPK pun kemudian memperpanjang penahanan Syafruddin. KPK memperpanjang penahanan pada Selasa (9/1/2018). KPK memperpanjang penahanan hingga 40 hari atau jatuh pada Minggu (18/2/2018).

Penyelidikan kasus SKL BLBI ini telah berlangsung sejak 2014 silam. Selama tiga tahun penyelidikan dan pemeriksaan terhadap banyak mantan pejabat di era Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri, KPK baru menemukan dua alat bukti yang bisa menjerat Syafruddin.

SKL BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat keluar dari krisis. Namun, penggunaan pinjaman itu merugikan negara hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana tidak bisa dikembalikan oleh para obligor penerima BLBI.

Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Dalam konteks kasus ini, KPK menduga Syafruddin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara. Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017, terkait kasus SKL BLBI ini, kerugian keuangan negara adalah Rp4,58 triliun. Nilai kerugian negara ini lebih tinggi daripada yang sebelumnya diperkirakan KPK sebesar Rp3,7 triliun.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Agung DH