tirto.id - Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dinilai masih belum cukup untuk mengatasi tingginya prevalensi perokok di Indonesia. Faktanya, masyarakat masih memiliki banyak pilihan produk rokok dengan berbagai variasi harga.
Pemerintah sendiri resmi menaikkan tarif cukai rokok hasil tembakau (CHT) sebesar 10 persen pada 2023 dan 2024. Kenaikan tarif CHT dilakukan pada golongan sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT) dengan besaran berbeda-beda di tiap golongan.
Sekalipun terjadi kenaikan harga rokok akibat kebijakan cukai, perokok dinilai masih dapat berpindah ke produk rokok yang lebih murah. Tidak heran jika perusahaan rokok pun akhirnya memilih menjual produk rokok murah dari golongan II.
Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI), Olivia Herlinda mengatakan, kenaikan cukai belum cukup untuk mengatasi tingginya angka perokok di Indonesia.
“Opsi rokok murah juga masih sangat banyak sehingga masyarakat punya banyak pilihan. Fenomena downtrading dan maraknya rokok murah seharusnya menjadi dasar pemerintah menaikkan harga cukai,” ujarnya kepada wartawan, Kamis (24/11/2022).
Oleh karenanya, CISDI mendorong kebijakan kenaikan cukai yang optimal, yang masih menunggu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Apalagi, perusahaan rokok pun tampaknya terus berupaya menjual rokok dengan harga murah. Perusahaan kini berlomba-lomba memproduksi rokok kelas dua dengan tarif cukai yang lebih murah.
“Pengusaha juga masih bisa memilih atau mengakali agar bisa menggunakan tarif cukai yang lebih rendah,” ujarnya.
Sampoerna, misalnya, memproduksi rokok merek Marlboro Crafted yang dijual hanya Rp7 ribuan per bungkus. Sama halnya dengan Nojorono Tobacco International yang meluncurkan rokok Minak Djinggo Rempah yang harganya hanya Rp10 ribuan, menambah lini produksi rokoknya.
Djarum juga tak kalah, perusahaan ini meluncurkan rokok Djarum 76 Madu Hitam seharga Rp12 ribuan. Sementara itu, Gudang Garam juga meluncurkan Gudang Garam Patra, dan Sriwedari yang dibanderol Rp11-12 ribuan.
Jika menilik kebijakan cukai yang berlaku di Indonesia, eksistensi rokok murah ini seharusnya diwaspadai. Olivia mengatakan, untuk meminimalkan maraknya jumlah dan jenis rokok murah ini diperlukan terobosan pada struktur tarif cukai saat ini.
"Setiap golongan memiliki 2-3 tarif cukai yang berbeda. Dengan begitu, opsi rokok murah akan selalu ada. Simplifikasi tarif cukai itu kebijakan yang penting untuk memimalkan ketersediaan rokok murah di pasaran,” katanya.
Senada, Peneliti Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD), Roosita Meilani mengatakan, bahwa selisih tarif cukai rokok antargolongan masih sangat lebar dan memicu masalah seperti downtrading.
Dia mengatakan, selisih tarif ini memicu perusahaan rokok memainkan produksi di golongan lebih rendah dengan beragam merek.
“Dari sisi pengendalian konsumsi, ini sangat merugikan karena adanya penurunan golongan sehingga menurunkan juga harga jual eceran terendahnya. Sehingga dengan HJE di golongan II harga transaksi pasarnya (HTP) nya lebih rendah dan mengganggu pengendalian konsumsi masyarakat,” kata Roosita.
Dia menjelaskan bahwa perusahaan yang turun golongan ini memicu perpindahan preferensi juga di kalangan masyarakat, karena downtrading mempengaruhi HJE dan HTP.
“Selisih tarif ini sebaiknya didekatkan, dijadikan satu saja tidak perlu ada golongan. Tahapannya dapat melalui PMK yang terbit tiap tahun tarif cukainya didekatkan, dan yang sudah selisih kecil dijadikan satu. Bahkan kalau bisa hanya sesuai jenisnya saja, tanpa ada golongan,” katanya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang