Menuju konten utama

Marak LPG Oplosan, DPR Minta Pertamina Ubah Kebijakan untuk Agen

Kebijakan untuk agen ini diperlukan karena gudang-gudang oplosan muncul seiring banyaknya agen yang sering menimbun pasokan gas, utamanya gas 3 kilogram.

Marak LPG Oplosan, DPR Minta Pertamina Ubah Kebijakan untuk Agen
Pekerja mengisi LPG ke tabung Elpiji 3 kg di Depot LPG Tanjung Priok, Jakarta, Senin (21/5/2018). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sebuah gudang pengoplos LPG di Jalan Cargo Permai, Denpasar, Bali, meledak pada Minggu (9/6/2024). Akibatnya, 3 orang meninggal dunia dan 15 lainnya mengalami luka bakar hingga 18 persen.

Anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Parta, mengungkapkan gudang yang meledak itu bukan satu-satunya gudang pengoplos. Di Bali saja, pihaknya telah menemukan sebanyak 21 gudang yang mengoplos LPG.

"Kenapa oplosan laku di Bali? Karena usaha berkembang di Bali, Pak,” beber Nyoman dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR RI bersama PT Pertamina (Persero), di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Selain di Bali, gudang-gudang pengoplos LPG juga banyak ditemukan di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Alasannya sama, menjamurnya gudang pengoplos LPG terjadi karena banyak permintaan dari masyarakat.

Biasanya LPG oplosan dijual lebih murah dari rata-rata harga pasaran. Nyoman mencontohkan, untuk LPG 50 kilogram yang biasa dijual di kisaran harga Rp950 ribu - Rp1 juta menjadi hanya Rp700 ribu, pun dengan gas LPG 12 kilogram yang biasa dijual di harga sekitar Rp210 ribu menjadi hanya Rp150 ribu.

"Jadi gas 3 kilogram dipindah ke 12 kilogram, dipindah ke 50 kilogram. Yang 50 kilogram ini dijual Rp700, harga komersialnya adalah Rp950 ribu-Rp1 juta. Sehingga gas 3 kilogram untuk rakyatnya jadi habis," kata Nyoman.

Dengan kondisi ini, menurutnya, Pertamina harus bersikap tegas dengan memberikan hukuman berat kepada pemilik usaha LPG oplosan. Pertamina juga bisa mengubah kebijakan untuk para agen.

Nyoman menambahkan, kebijakan untuk agen ini diperlukan karena gudang-gudang oplosan muncul seiring banyaknya agen yang sering menimbun pasokan gas, utamanya gas 3 kilogram. Selain itu, oknum-oknum pengoplos juga sering kali membeli gas dari pangakalan gas milik Pertamina.

"Kenapa di pangkalan? Karena ketika gas tidak habis di pangkalan, ada sisa, itu langsung diambil. Oleh karena itu, jangan gas itu lama-lama nginep di pangkalan. Gas itu harus disebar lebih cepat agar sampai ke konsumen," jelas Politikus PDIP tersebut.

Kebijakan yang bisa diterapkan, imbuhnya, salah satunya dengan memperluas atau memperbanyak jumlah agen atau pangkalan. Namun di sisi lain, pasokan gas untuk satu agen atau pangkalan harus dikurangi setidaknya setengahnya, untuk mempercepat habisnya pasokan gas.

"Yang kedua, agar Bapak memperbanyak gas 5,5 kilogram, walaupun itu agak komersil," lanjut Nyoman.

Menurut Anggota DPR Dapil Bali itu, kendala pembelian gas 12 kilogram atau yang lebih besar ada pada berat masanya. Bahkan, ketika tabung gas dalam kondisi kosong, berat tabung gas tersebut jauh lebih berat dari gas 3 kilogram.

Hal inilah menurutnya yang membuat banyak orang membeli gas 3 kilogram, selain karena harganya yang juga jauh lebih murah.

"Kalau yang 5,5 kilo ini diperbanyak tabungnya, itu sampai ke desa-desa, saya pikir bisa terurai masalahnya. Ya dua itu, pangkalannya diperluas, perbanyak di setiap tempat, walaupun yang bersangkutan tetap menjadi pemiliknya, agar kita tidak merugikan mereka. Yang kedua adalah buat gas tabung 5,5 kilo yang lebih banyak," kata Nyoman.

Baca juga artikel terkait TABUNG GAS atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Flash news
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi